Oleh Wahyudi Akmaliah (Peneliti PMB LIPI)
Kehadiran media sosial memungkinkan setiap orang untuk memperkenalkan dirinya kepada publik luas. Konsistensi, kreativitas, dan inovasi yang terus menerus dilakukan diiringi dengan momentum memungkinkan setiap orang menjadi apa yang disebut sebagai mikro-selebriti. Pilihan media sosial juga berperan terhadap ceruk penonton apa sebenarnya yang dijadikan target. Ketimbang Facebook, dua media sosial (Instagram dan Youtube) merupakan ceruk yang seringkali diambil oleh anak-anak muda. Tidak hanya publisitas nama, raihan ekonomi melalui endorsement barang seperti di Instagram, melainkan juga melalui Google Adsense (sebuah program kerjasama periklanan media internet yang dilakukan oleh Google kepada pemilik situs web dan blog yang sebelumnya telah melakukan persetujuan terkait pemasangan iklan dihalaman situs mereka), termasuk Youtube. Bayu Skak adalah salah satu figur anak muda yang terlibat dalam aktivitas ini dengan menghidupi dirimya sebagai vlogger (Video Blogger), atau biasa dikenal dengan Youtubers.
Dengan menggunakan bahasa Jawa Timur-an, menggunakan nama Bayu Skak, Bayu Eko Moektito, setiap Minggu mengunggah videonya yang berisi mengenai sejumlah tips-tips kehidupan sehari-hari dengan cara yang kocak dan komikal di kanal Youtube yang dimulainya sejak 25 Juli 2010. Melalui aktivitas itulah ia kini telah menjadi salah satu mikro-selebriti dengan bayaran termahal. Melalui penghitungan Social Blade.com pada 25 Februari 2018 dengan jumlah subscribers 1.555.394 orang, 146.529.744 viewers, dan unggahan 207 video, ia setiap bulan bisa mendapatkan uang kisaran 2.000-31.400 USD (sekitar Rp27.500.000 sampai Rp432.314.77), dimana pertahunnya mendapatkan kisaran antara 23.500-376.000 USD (Rp323juta sampai Rp517juta) dari Google adsense. Selain video kocak dengan bahasa Jawa Timur-an, kepiawaiannya bermain gitar dan menciptakan lagu memperkuat tidak hanya visualitas video melainkan kapasitas dirinya sebagai salah satu Youtubers yang patut diperhitungkan.
Sejumlah pencapaian itulah yang memungkinkan dirinya bisa membuat proyek pribadi sebuah film dengan menjadi sutradara bersama Fajar Nugros dengan judul Yo Wis Ben (YWB) dengan menggaet Starvision. Sebagai seorang sutradara sekaligus pemain utama, ada satu identitas yang melekat dengan dirinya dan menjadi semacam penanda bahwasanya film itu berasal dari Bayu Skak, yaitu bahasa yang digunakan. Alih-alih menggunakan bahasa Indonesia layaknya film-film Indonesia lainnya, dalam YWB 90% percakapannya menggunakan bahasa Jawa, dengan dialek Jawa Timur-an, dikenal dengan bahasa Jawa Arekan. Percakapan bahasa Jawa Arekan dalam film ini tidak hanya menunjukkan kuatnya posisi tawar Bayu Skak melainkan juga kekuatan intervensi seorang Youtubers kepada rumah produksi besar.
Meskipun demikian, saat cuplikan film ini diputar pertama kali ada nada nyiyir yang mengatakan bahwa penggunaan percakapan bahasa daerah itu dianggap tidak nasionalis dan adanya upaya dominasi bahasa Jawa di ruang publik. Namun, hal itu ditanggapi dengan baik oleh Bayu Skak melalui ungguhan videonya di Youtube tertanggal 10 Februari 2018 dengan judul “Aku Wong Jowo”. Dalam video itu, selain mengklarifikasi sejumlah tuduhan atas filmnya yang berbahasa Jawa, ia menjelaskan dengan detail alasannya menggunakan bahasa Jawa sebagai bentuk penghargaan dirinya atas bahasa ibu sekaligus merayakan lokalitas dalam mewarnai wajah Indonesia dengan bahasa Jawa Timur-an. Lokalitas inilah yang merupakan bagian dari kekuataan tanah air dan imajinasi keindonesiaan melalui Pancasila sebagai ideologi perekat.

Film YWS sendiri bercerita mengenai anak SMA bernama Bayu (Bayu Skak) yang menyukai gadis idola di sekolahnya bernama Susan (Cut Meyriska). Kondisi hidup pas-pasan dan setiap hari membantu ibunya sebagai pengasuh tunggal dirinya berjualan pecel ke sekolah membuat rasa cintanya kepada Susan disimpan diam-diam. Namun, sebagai seorang Pecel Boy, julukan yang diberikan oleh teman-teman sekolahnya, membuat Susan mengirimkan voice chat kepada dirinya. Bagi Bayu, kiriman suara tersebut merupakan isyarat bahwasanya Susan ingin didekati. Kenyataannya, itu merupakan taktik Susan saja agar mendapatkan pecel dengan harga diskon. Pesanan pecel inilah yang diperuntukkan Susan untuk acara pengurus OSIS di sekolah. Memanfaatkan Bayu mendapatkan pecel dengan harga murah ini terlihat ketika Susan merasa tidak terjadi apa-apa saat bertemu Bayu. Bagi Bayu, saat memberikan pesanan paket pecel dengan harga diskon itu berharap ada simpati yang didapatkan. Apalagi, ia sebelumnya sudah berdandan ala Boyband K-Pop dengan menggunakan lipstik dan kemeja berwarna cerah atas usulan Cak Jon (Arief Didu); seorang pamannya yang sudah paruh baya tapi tak kunjung menikah.
Bersama dengan Doni (Joshua Suherman) sahabatnya yang anak orang kaya, mereka bersepakat membuat grup band. Ini dilakukan untuk mengimbangi popularitas gebetan Susan, Roy (Indra Wijaya), gitaris dan anak band terkenal di sekolah. Sementara itu, bagi Doni, ini bentuk meraih penghargaan di tengah minimnya perhatian dan apresiasi orangtua kepadanya yang sering dianggap remeh. Mereka lalu membuat sayembara di sekolah untuk menjadi anggota grup band. Di antara sekian pengumuman yang mereka tempel di dinding sekolah hanya satu yang tertarik yaitu Yayan (Tutus Thomson) anak Rohis yang piawai sebagai drummer. Meskipun demikian, ada representasi yang dirasa kurang, yaitu kegantengan. Mereka berdua sadar bahwa faktor kegantengan itu penting agar grup band yang dibuatnya dilirik oleh teman-teman sekolahnya, khususnya kaum perempuan. Dengan membuat perangkap di depan kamar mandi, mereka bertiga lalu menyembur dengan air yang sudah dibaca doa-doa kepada Nando (Brando Salim) agar terhipnotis mau ikut gabung dalam band mereka. Ya, Nando akhirnya mau bergabung, meskipun jurus sembur air yang direkomendasikan oleh Yayan sebenarnya tidak mempan.
Sebagai grup band pemula, menyamakan visi dengan berlatih merupakan keharusan. Saat pertama mendaftarkan diri untuk latihan ke studio inilah justru nama Yo Wis Ben ini terbentuk dari pertengkaran atas pilihan nama yang tepat. Saat mereka tidak saling setuju dengan pilihan nama-nama band yang diajukan dan kemudian menyudahi pertengkaran tersebut dengan kata Yo Wis (Ya Sudah), justru nama itu yang tertulis dalam daftar antrian untuk latihan di studio musik. Percobaan pertama YWB tampil di publik adalah saat mengikuti festival band se-Malang. Namun, Dengan judul lagu Mangan Pecel di kanal tersebut, perlahan-lahan secara pasti nama YWB kemudian dikenal oleh publik luas, termasuk di sekolahnya sendiri. Popularitas Bayu ini membuat Susan yang haus eksistensi untuk meningkatkan followersnya di Instagram mendekati dirinya. Kedekatan dengan Susan ini menjadi titik perpecahan YWB.

Sebagai film karya pertama, dengan memanfaatkan sejumlah materi yang sebelumnya sudah populer di kanal akun Youtube-nya, Bayu Skak berhasil mengemas cerita yang menarik sekaligus membawa orang tertawa dengan menyuguhkan potret-potret realitas keseharian yang dialami kebanyakan orang dalam film ini. Kontribusi peran komedian senior Jawa Timur seperti Cak Kartolo dan Cak Sapari hadir sebagai tokoh cameo, kerap memancing gelak tawa yang mewarnai sepanjang 99 menit film. Pisuhan kata jancuk yang kerapkali keluar dari percakapan film ini juga menunjukkan keakraban dan sesuatu yang biasa dalam keseharian masyarakat Jawa Timur. Meskipun arti kata itu sebenarnya bermakna negatif, yaitu berasal dari dua kata dasar ‘Jan’ (Jange) yang berarti akan atau sedang dan ‘cuk’ (encuk) yang bermakna senggama atau melakukan hubungan seks.
Pisuhan inilah yang membuat sensor tidak bisa mengguntingnya karena menjadi salah satu penanda kuat latarbelakang film ini. Jumlah penonton YWB yang meraih 763.298 penonton, menempati urutan film ketiga terlaris ketiga sepanjang bulan Februari-Maret setelah Dilan 1990 dan Eiffel… I’m in Love 2 (www.filmindonesia.co.id, 13 Maret 2018), Bayu Skak menunjukkan bahwa kekayaan lokalitas yang dibawa oleh film ini dengan menggunakan latar belakang kota Malang, khususnya Kampung Warna-warni Jodipan, menjadi salah satu unggulan visual yang layak diacungi jempol. Melalui lokalitas, baik secara geografi, percakapan, dan kehidupan sehari-hari, Bayu Skak telah melakukan penggerusan budaya dominan film Indonesia yang kadang terlalu Jakarta sentris. Keseimbangan antara lokalitas dengan kemasan yang tetap menarik bagi pasar menjadi artikulasi idealisme sosok Bayu Skak di tengah tarikan pasar yang kerap menuntut jumlah penonton tapi mengabaikan cerita film yang mampu merepresentasikan keseharian pengalaman masyarakat Indonesia. (Editor Ibnu Nadzir/ Penyelaras akhir: Ranny Rastati)
_____________________________________
Referensi
www.filmindonesia.co.id
Gambar unggulan: https://www.youtube.com/watch?v=irb1MH8snEU
socialblade.com
_____________________________________
TENTANG PENULIS
Wahyudi Akmaliah adalah peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK, sebelumnya PMB) LIPI. Ia menyelesaikan S1 di jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2003), melanjutkan jenjang S2 di dua kampus yang berbeda; bidang Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma (2008) dan International Peace Studies di University for Peace, Costa Rica. Selama di LIPI, ia mendalami dua tema riset, yaitu Kekerasan dan Politik Ingatan serta Kajian Budaya dengan memfokuskan kepada Islam, Identitas, dan Budaya Populer. Untuk korespondensi, Ia dapat dihubungi melalui surat elektronik (email), wahyudiakmaliah@gmail.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah