[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 2, Mei 2022]
Oleh Arif Hukmi (Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Makassar)
Wacana poskolonial hadir di berbagai ruang, baik ruang kota, teks, bahasa, maupun pada bentuk ruang lain. Poskolonial itu sendiri merujuk suatu era saat berakhirnya masa kolonialisme bersamaan dengan kemerdekaan negara-negara bekas jajahan di awal abad 20 (Sugawara & Nikaido, 2014). Cikal bakal kelahiran wacana poskolonial tersebut diawali dengan terbitnya buku Edward W. Said yang berjudul Orientalisme (1978).
Dalam buku tersebut, Said (1978) menggunakan pendekatan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Said (1978) menjelaskan bahwa apa yang disebut Timur (Orient) merupakan produk pengetahuan dan definisi dari kaum orientalis Barat (Occident). Kaum orientalis adalah orang-orang Barat (Occident) yang mempelajari dunia Timur (Orient) dan akhirnya merumuskan apa artinya Timur (Orient) itu (Amalia, 2021).
Namun demikian, studi mengenai Timur (Orient) itu tidaklah didasari atas hasrat pengetahuan tetapi lebih kepada hasrat penguasaan terhadap ruang (Putranto, 2011). Menjadi menarik karena poskolonial hadir tidak semata-mata sebagai sesuatu yang alamiah atau hadir begitu saja. Poskolonial tidak hanya dapat mengkaji teks, ia juga bisa mengakaji ruang dalam hal ini sebuah kota yang pernah dijajah (Furqon & Busro, 2020).
Wacana poskolonial tidak hanya sekadar menyalahkan apa yang terjadi selama masa kolonial. Poskolonial bukanlah seni mengutuk kejahatan kaum imperialis, tetapi sebuah interogasi aktif atas sistem hegemonik yang telah diciptakan Barat (Occident) untuk menguasai subjek kolonial Timur (Orient) (Putranto, 2011).
Studi poskolonial menempatkan dirinya sebagai suatu kajian yang tidak ingin terlepas dari segala bentuk konteks historis yang menaungi bangsa-bangsa yang merasakan dampak-dampak penjajahan. Dampak-dampak tersebut belum usai dan bahkan masih kita rasakan sampai saat ini.
Ruang Kota Poskolonial
Salah satu pemikir poskolonial pada ranah ruang kota yaitu Sara Upstone, dalam Spatial Politics in the Postcolonial Novel (2016) menekankan pada politik ruang suatu wilayah yang pernah ditempati dan dikontrol oleh kolonial. Bagi Upstone (2016) daerah-daerah bekas jajahan dianggap masih memiliki ruang-ruang kolonial yang ditinggalkan pada wilayah jajahan itu, meskipun secara fisik kolonial sudah tidak bercokol lagi pada ruang terjajah. Ruang-ruang tersebut oleh Upstone (2016) distratifikasikan dalam bangsa (nation), perjalanan (journey), kota (city), rumah (home) dan tubuh (body). Pada setiap level ruang tersebut terdapat unsur politik yang diungkap (Atikurrahman, 2014).
Identitas arsitektur, kolonialisme Jepang, dan Belanda mewariskan jejak yang berbeda di Indonesia. Dalam masa kolonialisasi yang singkat, Jepang meninggalkan bangunan yang berfungsi sebagai benteng atau bunker pertahanan, keamanan, dan penjara. Uniknya, Jepang lebih tertarik untuk membangun di bawah permukaan tanah (sub structure), yang kemudian dikenal sebagai Gua Jepang. Struktur ini didukung oleh kondisi lingkungan, baik dari topografis maupun geologis. (Iskandar, 2007).
Sedangkan Belanda dengan masa penjajahan yang panjang, membangun benteng pertahanan seperti Fort Rotterdam di Makassar, Vredeburg di Yogyakarta, Fort Belgica di Banda Neira, dan Fort de Kock di Bukittingi. Selain membangun benteng, kolonialisasi Belanda banyak mendirikan bangunan-bangunan publik seperti gedung pemerintahan, kantor perdagangan dan perkebunan, pertokoan, serta bangunan privat seperti rumah tinggal, dan lain-lain. Warisan arsitektur ini kemudian dikenal sebagai arsitektur kolonial, sebab bangunan tersebut dibangun oleh para koloni dalam hal ini penjajah.
Ruang atau bangunan adalah saksi bisu dari berbagai kejadian pada masa lalu, pada interior maupun exterior yang melekat. Oleh karena itu, bangunan selain memiliki nilai arsitektural, ruang, keindahan, konstruksi, teknologi, dan hal lainya, ia juga memiliki nilai sejarah dan kebudayaan (Ariani, 2015). Semakin lama bangunan berdiri, semakin membuktikan tingginya nilai sejarah dan budayanya.
Yang Tersisa dari Kota Poskolonial di Makassar
Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tua dan bernilai. Hal tersebut tidak terdapat pada setiap kota di Indonesia, hanya pada kota-kota tempat koloni pernah tumbuh, berkembang dan menetap, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar, Banda Neira, Bukittinggi dan banyak kota lainnya. Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam (Ariani, 2015).
Terjadi akulturasi budaya antara budaya Belanda dan budaya masyarakat setempat, termasuk pada pembangunan suatu kota di masa kolonil tersebut. Hal ini menciptakan suatu ruang yang baru atau dapat dikatakan sebagai suatu ruang yang hybrid. Banyak kota di Indonesia dibangun dari sisa kolonialisme, mulai dari alun-alun, rel kereta api, pusat kebudayaan, kesenian dan sebagainya. .
Kita dapat menjumpai monumen atau peninggalan jejak kolonial tersebut di kota-kota di luar Pulau Jawa termasuk Makassar. Di Makassar, Sulawesi Selatan, jejak peradaban penjajahan itu masih begitu kokoh berdiri, salah satunya adalah Benteng Fort Rotterdam di pesisir pantai Makaassar yang menjadi saksi atas jejak kolonialisasi tersebut. Makassar memiliki sejarah yang cukup panjang di masa kolonialisme, beberapa bangunan kuno pada masa kolonial masih berdiri hingga saat ini, di antaranya Benteng Fort Rotterdam yang menjadi markas pasukan Kerajaan Gowa di masa lalu (Jumardi & Suswandari, 2018).
Secara historis Makassar adalah salah satu kota poskolonial yang dibangun berdasarkan apa yang terjadi di masa lalu. Awal mula kota Makassar berada di muara Sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada di bawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene. Pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, bahkan menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekitarnya (Poelinggomang, 2016).
Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memperluas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda (VOC) berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada Tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu (Poelinggomang, 2016).
Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti bahwa Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain (Poelinggomang, 2016).
Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam), benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada Tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan baru Fort Rotterdam. Pusat kota Makassar saat ini adalah di sekitar Lapangan Karebosi yang tidak jauh dari Gedung Balai Kota yang masih peninggalan kolonial. (Gani & Zaki, 2019).
Ruang kota tidak bisa dilepaskan dari satu kebudayaan dalam hal arsitektur, bahasa dan hal yang melekat pada ruang kota tersebut yang dielaborasi dengan kebudayaan penjajah sehingga menciptakan banyak jejak. Hal itu menandakan superioritas kolonial pada banyak tempat di Indonesia, salah satunya di Makassar. Pada akhirnya yang tersisa dari kolonialisasi adalah perihal arsitektur fisik, selain tentu saja peristiwa sejarah yang menyertainya. Itu menjadi ingatan yang terus hidup, terutama bagi mereka yang mengalami peristiwa bersejarah tersebut. Ingatan itu merupakan tanda bahwa sebuah peradaban yang terbangun kelak, menjadi cerita bagi generasi-generasi selanjutnya. (Editor: Rusydan Fathy)
Referensi:
Amalia, I. (2021). Representasi Praktek Perbudakan dan Penindasan dalam Puisi Negro Karya Langston Hughes: Sebuah Kajian Poskolonial. Diksi, 29(1), 51–59. https://doi.org/10.21831/diksi.v29i1.33250
Ariani, A. (2015). Perubahan Fungsi pada Museum Fatahillah Ditinjau dari Teori Poskolonial. Humaniora, 6(4), 483–495. https://doi.org/10.21512/humaniora.v6i4.3377
Atikurrahman, M. (2014). Prosa, Ruang, dan Kota Pascakolinial. Jurnal POETIKA, 2(2), 137–147. https://doi.org/10.22146/poetika.10445
Furqon, S., & Busro, N. (2020). Hibriditas Postkolonialisme Homi K. Bhabha Dalam Novel Midnight’s And Children Salman Rushdie. JENTERA: Jurnal Kajian Sastra, 9(1), 73. https://doi.org/10.26499/jentera.v9i1.494
Gani, P. J. A., & Zaki, M. (2019). Perubahan Pemanfaatan Ruang Di Kawasan Cagar Budaya Benteng Fort Rotterdam Kota Makassar. Celebes Engineering Journal, 1(1), 8–17. http://journal.lldikti9.id/CEJ/article/view/463%0Ahttps://journal.lldikti9.id/CEJ/article/download/463/301
Iskandar, M. S. B. (2007). Arsitektur Kolonial Atawa Kolonialisme Arsitektur. Seminar Situs Sejarah Dan Prasejarah Bandung, 1–6. https://ejournal.upi.edu/index.php/strategic/article/view/20225/12274
Jumardi, J., & Suswandari, S. (2018). Situs Benteng Fort Rotterdam Sebagai Sumber Belajar Dan Destinasi Pariwisata Kota Makasar : Tinjauan Fisik Arsitektur Dan Kesejarahan. Jurnal Candrasangkala Pendidikan Sejarah, 4(2), 134. https://doi.org/10.30870/candrasangkala.v4i2.4529
Koninklijk Instituut voor Taal-, L. V. (n.d.). Makassar City Architectural History. Https://Www.Kitlv.Nl/. https://www.kitlv.nl/
Poelinggomang, E. L. (2016). Makassar Abad XIX. In Makassar Abad XIX.
Putranto, I. E. (2011). Dekonstruksi Identitas (Neo)Kolonial: Sebuah Agenda Teologi Postkolonial. Melintas, 27(3), 311–324. https://doi.org/10.26593/mel.v27i3.297.311-324
Sugawara, E., & Nikaido, H. (2014). Wacana Poskolonial: Islamic Worldview dalam Studi Hubungan Internasional Kontemporer. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 58(12), 7250–7257. https://doi.org/10.1128/AAC.03728-14
Wikipedia. (2015). Colonial architecture of Makassar. Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Colonial_architecture_of_Makassar
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Arif Hukmi adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Makassar. Kini ia melanjutkan studi Magister Pendidikan Bahasa di Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Sedang mengkaji postcolonial studies pada penelitian tesisnya. Menulis buku puisi Suhu Udara (Guepedia, 2020). Penulis dapat dihubungi melalui: arifhukmi8@gmail.com.
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial