Oleh Rusydan Fathy (Kandidiat Peneliti PMB LIPI)
“Water is life, and clean water means health” — Audrey Hepburn.
Bagi manusia, air memiliki peran yang signifikan untuk berbagai aktivitas. Air merupakan hak dasar yang harus terpenuhi untuk masyarakat bertahan hidup. Untuk itulah, menjaga ketersediaan dan kualitas sumber daya air di muka bumi adalah wajib hukumnya. Fakta menunjukkan bahwa terdapat masalah serius baik menyangkut kualitas dan ketersediaan air maupun pengelolaannya. United Nations memprakarsai Hari Air Sedunia (World Water Day) yang jatuh setiap tanggal 22 Maret. Tujuan dasar prakarsa tersebut yaitu sebuah kampanye agar manusia di bumi bertindak nyata mengelola dan melestarikan sumber daya air yang ada (www.worldwaterday.org). World Water Day pun hadir untuk memberi perhatian tentang pentingnya air.
Tema World Water Day yang diangkat sejak 2015 ini memperlihatkan benang merah dengan kerangka pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam Goal 6: Ensure Access to Water and Sanitation for All yaitu menjamin akses terhadap air dan sanitasi bagi semua orang (www.un.org). Untuk tema tahun 2018, berangkat dari beberapa fakta yaitu 2,1 milyar orang tidak memiliki akses ke layanan air minum yang dikelola dengan aman padahal, populasi dunia akan terus bertambah (www.unenvironmental.org). Lebih lanjut, menurut UN Environmental (22 Maret 2018) pada 2050 diperkirakan permintaan air global meningkat sebesar 30%. Sementara itu, sektor pertanian menggunakan air paling banyak yakni 70%. Fakta lainnya adalah sebanyak 1,8 milyar orang menggunakan sumber air minum yang terkontaminasi kotoran manusia, lebih dari 80% air limbah dibuang ke lingkungan tanpa dipergunakan dan dikelola, 1,2 milyar orang beresiko terkena banjir, dan 1,8 milyar orang terkena dampak degradasi lahan. Melihat hal tersebut, jelas bahwa harus ada paradigma pembangunan yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai sesuatu yang patut diperjuangkan.
Sementara itu, di Indonesia kita dihadapkan pada beberapa persoalan lingkungan perihal sumber daya air dalam konstelasinya dengan pembangunan berkelanjutan. Banjir melanda beberapa kota-kota di Indonesia, krisis air bersih terus merajalela dan terbatasnya akses air di beberapa daerah merupakan sedikit gambaran tentang krisis ekosistem dan kerentanan sumber daya air yang terjadi di Indonesia.
Secara umum, ada tiga masalah utama dalam tata kelola air di Indonesia. Pertama, privatisasi atau swastanisasi air. Privatisasi pengelolaan air dimulai pada tahun 1991, ketika Bank Dunia menawarkan pinjaman USD 92 juta kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastrukturnya (www.tirto.id). Lebih lanjut, dalam Tirto (29 Maret 2016), dijelaskan bahwa pada 1999, Bank Dunia memberikan pinjaman lagi di sektor sumber daya air atau Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) sebesar USD 300 juta untuk penataan kembali kebijakan sektor air di Indonesia. Penataan ini untuk memberikan peluang partisipasi sektor swasta (privatisasi) dalam pengelolaan layanan air. Namun, privatisasi air terutama gagal dinilai gagal dalam mendistribusikan air secara merata. Air pun menjadi komoditas untuk meraup keuntungan pribadi. Menyerahkan pengelolaan air kepada pihak swasta terbukti tidak berhasil menciptakan tata kelola air yang baik bagi masyarakat.
Kedua, perihal kebencanaan. Di Jakarta misalnya, Ciliwung kembali meluap pada Februari 2018. Jakarta memang tak pernah lepas dari bayang-bayang banjir sebagai kebencanaan rutin. Menurut Ketua Ciliwung Institute, Sudirman Asun (2018), pendekatan kultural sangat diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam rangka menciptakan ketahanan air Jakarta. Selain itu, pengerukan air tanah di Jakarta secara terus-menerus terjadi tanpa memperhatikan akibatnya. Beberapa kota lain di Indonesia pun tak luput dari bencana banjir.
Ketiga, pencemaran air. Limbah industri yang dibuang begitu saja ke sungai seperti yang terjadi pada sungai Citarum juga menarik untuk disorot. Pemerintah sedang berupaya keras merevitalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Menurut Peneliti Ekologi Sosial Kesejahteraan Masyarakat dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI), Prof. Dr. Henny Warsilah, DEA, revitalisasi DAS Citarum harus menerapkan prinsip inklusifitas dalam tata kelola sungai atau air yang memadukan tiga faktor yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan (www.staging-point.com).
Dengan diperingatinya World Water Day diharapkan ada perbaikan dan solusi bagi masalah kerentanan air di Indonesia. Bukan hanya bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melainkan seluruh elemen masyarakat mulai dari tataran global sampai pada ranah lokal, mulai dari negara sampai satuan komunitas terkecil. Ketahanan sumber daya air merupakan permasalahan yang kompleks menyangkut faktor kultur dan struktur yang di dalamnya harus melekat dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang inklusif.
Selain itu, diperlukan perubahan paradigma bagi manusia dalam melihat sungai. Sungai merupakan sumber daya air yang memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat tersebut akan diperoleh tentu saja jika tata kelola sungai seperti yang diungkapkan oleh Henny Warsilah harus mencerminkan inklusifitas. Dengan demikian, DAS dapat dijadikan zona wisata alam, kuliner, dan berbagai kegiatan ekonomi kreatif serta menghasilkan produk-produk budaya dan lain-lain yang tentunya ramah lingkungan (www.staging-point.com). Namun sebaliknya, sumber daya air jika tidak dikelola dengan baik dan benar akan membawa kerugian yang besar bagi masyarakat terutama krisis ekosistem dan bahaya kebencanaan yang senantiasa mengintai.
Saya rasa, tidak ada keraguan lagi jika penerapan pembangunan berkelanjutan yang sudah barang tentu inklusif harus terus diupayakan. Ini menyangkut dinamika sumber daya air di Indonesia yang mengalami kerentanan. Esensi World Water Day tentu harus dimanifestasikan oleh semua pihak. Selain peran sivitas dari berbagai disiplin ilmu untuk berkontribusi dalam rangka science for society, perlu juga disorot pentingnya peranan komunitas yang bergerak dalam pelestarian lingkungan seperti Ciliwung Institute sebagai wujud dari organisasi masyarakat sipil. Seperti kita ketahui, kehadiran mereka seyogyanya bersinergi dengan tujuan World Water Day dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan tata kelola air dalam rangka menciptakan ketahanan air. (Editor Ranny Rastati)
REFERENSI
Alwino, Fens. 2018. Empat Program Strategis Revitalisasi DAS Citarum. https://www.staging-point.com/read/2018/03/14/195219/Empat.Program.Strategis.Revitalisasi.DAS.Citarum diakses pada tanggal 15 Maret 2018.
Maryono, Agus. 2013. Manfaat Transportasi Sungai di Jakarta: Pelestari Ekologi https://nationalgeographic.co.id/berita/2013/02/manfaat-transportasi-sungai-di-jakarta-pelestari-ekologi diakses pada tanggal 19 April 2018.
Asun, Sudirman. 2018. Kompromi Manusia Sungai dan Ketahanan Jakarta. Presentasi disampaikan pada seminar Universitas Tarumanegara Jakarta 7 Maret 2018.
Reja, Hidayat. 2016. Menggugat Privatisasi Air di Indonesia. https://tirto.id/menggugat-privatisasi-air-di-indonesia-v9n diakses pada tanggal 22 Mai 2018.
UN Environment. 2018. World Water Day 2018: The Answer is in Nature. https://www.unenvironment.org/events/un-day/world-water-day-2018-answer-nature diakses pada tanggal 22 Mei 2018.
UN SDGs. 2017. Sustainable Development Goals: 17 Goals to Transform Our World. http://www.un.org/sustainabledevelopment/water-and-sanitation/ diakses pada tanggal 19 April 2018
UN World Water Day. 2018. The Answer is in Nature. http://worldwaterday.org/ diakses pada tanggal 22 Mei 2018.
Sumber gambar unggulan: http://www.suarasurabaya.net/print_news/Kelana%20Kota/2015/149458-Sudah-Saatnya-Pemerintah-Mengelola-Sumber-Daya-Air-Sendiri
TENTANG PENULIS
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah