Oleh Wahyudi Akmaliah (Peneliti PMB LIPI)

Hal yang muncul saat mengingat nama Hugh Jackman adalah perannya sebagai Wolverine dalam serial film X-Man. Karakternya yang tepat dalam memerankan tersebut membuat posisinya tidak tergantikan. Karena itu, mengingat Hugh Jackman sama dengan mengingat Wolverine. Begitu juga sebaliknya. Meskipun harus diakui sebelum memerankan film laga besutan Marvel, ia sudah membintangi sejumlah film yang sukses dipasaran, seperti drama romantis komedi  Kate & Leopold (2001), aksi laga-horor Van Helsing (2004), drama dengan latarbelakang sihir The Prestige (2006), dan drama The Fountain (2006), drama romantis berlatarbelakang sejarah Australia (2008), versi film Les Misérables (2012), dan film pembunuhan dalam Prisoners (2013).

Saat muncul cuplikan dalam Youtube mengenai film The Greatest Showman (2018) dengan latarbelakang drama musikal pada pertengahan tahun 2017, saya penasaran untuk melihat aksi Hugh Jackman dalam berdansa dan bernyanyi; dua karakter yang bertolak belakang dari Wolverine. Dalam Wolverine, Jackman memainkan karakter sebagai pahlawan yang penyendiri, gelap, tidak bisa diatur, dan keingitahuannya terhadap masa lalu. Dengan tubuh kekar dengan enam cakar metal adamantium di kedua tangannya yang siap menghunus membuat karakter yang juga dikenal sebagai Logan ini paling banyak digemari dan ditunggu dalam serial film X-Man.

Sumber: https://www.screengeek.net/wp-content/uploads/2016/01/150328-news-hugh-jackman-wolverine.jpg

 

Karena itu, selepas film terakhirnya dalam Logan (2017), serial X-Man, film yang mengangkat penggalan kehidupan Phineas Taylor Barnum (P.T Barnum), ahli pertunjukkan, pebinis, dan politisi, menjadi sangat ditunggu. Dalam film ini Jackman memainkan peranan sebagai PT Barnum muda hingga sampai puncak popularitasnya. Sejak masa kanak-kanak Barnum tinggal bersama Philo Barnum (Will Swenson), ayahnya, sebagai tukang jahit keliling yang miskin. Saat mengukur baju untuk Benjamin Hallett (Fredric Lehne), salah satu bangsawan, menemani ayahnya, Barnum kecil melihat putri sang bangsawan sedang diajarkan etika meminum teh. Saat Philo Barnum sedang mengukur baju bangsawan tersebut, Barnum memperhatikan anak perempuan itu dan kemudian meliriknya dan mempraktikannya. Upaya Barnum menirunya ini membuat perempuan itu tertawa lepas. Kelakuan ini membuat anak perempuan itu, Charity Barnum (Michelle Williams) langsung dipanggil oleh ayahnya. Menurut sang ayah, tertawa lepas seperti itu bukan bagian dari etika bangsawan dan orang kaya seperti mereka.

Merasa bersalah dan berusaha melindungi Charity, Barnum kemudian angkat suara dan memberitahu kepada Benjamin bahwa dirinyalah penyebab Charity tertawa lepas. Melihat penjelasan tersebut Barnum langsung ditampar dan diultimatum untuk tidak sekalipun mendekati Charity kembali. Alih-alih tamparan dan ancaman itu membuat Barnum menjauh, justru menjadi semacam dendam dan motivasi untuk terus dekat dengan Charity. Saat Philo Barnum meninggal, kehidupan Barnum semakin tidak jelas. Ia menjadi anak terlantar yang mengais hidup dari sisa makanan sampah dan mencuri sampai ia beranjak dewasa. Meskipun demikian, kontak melalui surat antara Barnum dan Charity tetap berjalan meskipun mereka berjauhan, khususnya saat Charity harus masuk sekolah asrama di luar kota.

Upaya untuk mengubah nasib muncul saat Barnum mendengar langsung sebuah pengumuman di alun-alun kota terkait dengan panggilan untuk menjadi buruh dalam pembangunan rel kereta. Tidak hanya mendapatkan makan tiga kali sehari, ketika menjadi buruh dalam pembangunan rel kereta di luar kota itu, akan mendapatkan upah dari kerja kerasnya. Merasa sudah cukup uang yang didapatkan ini, Barnum kemudian kembali ke tempat kelahirannya. Ia kembali ke rumah besar milik keluarga besar Hallet dan meminta Benjamin agar merestui anaknya untuk ikut dengannya. Meskipun tidak rela dan yakin bahwasanya Charity akan miskin hidup dengannya, namun ia melepas kepergian Charity dengan berat.

Hidup dalam membangun keluarga dan memiliki dua anak perempuan sebagai pekerja kantoran di perusahaan ekspedisi membuat Barnum dan Charity hidup pas-pasan dan sederhana. Namun, kesederhanaan disertai rasa kasih sayang ini cukup bagi Charity yang tidak meminta lebih. Cerita kesederhanaan dan kehangatan cinta antar mereka berhenti ketika Barnum dan teman-temannya yang bekerja di perusahaan tersebut dipecat karena kapal ekspedisi tenggelam di laut Tiongkok. Ada rasa frustasi melihat kenyataannya ini, apalagi ia melihat bahwa kebutuhan rumah tangga semakin membengkak. Keahliannya sejak kecil sebagai pencuri ternyata masih bisa digunakan. Sebelum bangkrut tersebut, Barnum sudah mengambil surat akte kapal milik perusahaan tersebut. Berbekal akte itu, ia datang ke bank untuk meminjam uang. Uang inilah yang kemudian digunakan untuk mendirikan Barnum’s American Museum di antara keramaian Manhattan. Museum itu mempertunjukan beragam pertunjukkan prototipe binatang dari patung-patung lilin. Sayangnya hari pertama buka tidak ada satupun yang tertarik untuk membelinya.

Sumber: https://i.kinja-img.com/gawker-media/image/upload/s–PtvWIzNu–/c_fill,fl_progressive,g_center,h_900,q_80,w_1600/dwemgzhnkncdzg8dize8.jpg

 

Saat mengantarkan kedua anaknya menjelang tidur, ia mendapatkan inspirasi dari ungkapan anak-anaknya tersebut untuk mempertunjukkan sesuatu yang hidup dan dapat membuat sensasi. Berawal dari sini, ia kemudian membuat pengumuman di papan iklan di publik Manhattan dan juga mencari sendiri orang-orang yang dianggap “aneh” oleh masyarakat dan juga unik. Orang-orang “aneh” dan dianggap unik inilah kemudian datang dan mendaftarkan diri ke Museum Barnum. Ada juga beberapa orang yang didatangi sendiri oleh Barnum. Awalnya orang-orang yang memiliki keistimewaan ini merasa tidak percaya diri. Ini karena, mereka telah dianggap sampah dan aib bagi masyarakatnya saat itu. Namun, Barnum meyakinkan diri mereka dengan mengatakan bahwa ketimbang mereka diejek dan dihina selama ini setiap hari mengapa tidak dijadikan bahan ejekan tersebut sebagai upaya mereka untuk mencari uang juga.

Meskipun mendapatkan kecaman dan cemooh melalui demonstrasi yang menolak pertunjukkannya, perhelatan yang dilakukan oleh Barnum tetap jalan terus hingga membuat orang membludak datang untuk menonton pertunjukkan tersebut. Kecaman tidak berhenti di sini, melalui koran New York Herald, James Gordon Bennet (Paul Sparks), editor sekaligus jurnalis mengkritik pertunjukkan tersebut yang dianggap menjual seni bernilai rendah dengan pelbagai kepalsuan yang dipertunjukkan. Dari pertunjukkan ini Barnum  memang mendapatkan uang berlimpah dan mampu membeli rumah yang diimpikan. Namun bukan berarti dengan uang tersebut ia bisa naik kelas dan dianggap sebagai bagian dari orang elit, bangsawan dan kaya saat itu. Tak kehabisan akal, Barnum pun meminta Phillip Carlyle (Zac Efron), seorang sutradara sekaligus pemain drama kelas atas, untuk bergabung dalam pertunjukkan sirkusnya. Harapannya orang kelas mau menonton sirkusnya ini.

Racikan dan insting Barnum tepat, di tangan Philip Carlyle pertunjukkan mereka kemudian menjadi terkenal yang membuat Barnum dan timnya kemudian diundang bertemu dengan Ratu Victoria. Dalam pertemuan inilah ecara kebetulan Barnum bertemu dengan Jenny Lind (Rebecca Ferguson), penyanyi Swedia dengan suara yang membius. Barnum  berusaha meyakinkan Jenny untuk tampil keliling Amerika dan Barnum sebagai manajer. Pada titik inilah, popularitas dan kelas sosial Barnum  meningkat. Melalui pertunjukkan Jenny di pelbagai kota, banyak orang-orang kelas atas datang untuk menyaksikannya yang membuat pundi-pundi keuangan Barnum melesat dengan tajam.

Tingginya kelas sosial-ekonomi yang didapatkan oleh Barnum ternyata berdampak buruk, tidak hanya untuk dirinya, melainkan juga keluarga dan bisnis yang dibangunnya. Rasa dendam untuk tidak mau diremehkan dan kemudian membuktikan diri kepada orang yang menghinanya telah membawa Barnum  menjadi orang yang angkuh dan tidak peduli terhadap masukan, bahkan isterinya sendiri. Hal ini terlihat bagaimana Barnum mengajak orangtua Charity dalam pertunjukkan suara Jenny, di mana ia kemudian mengusirnya. Saat kesuksesan bisa diraih dengan mudah, di tengah perjalanan pertunjukkan mengantarkan Jenny, ia mulai sadar. Kesadaran ini muncul karena ia semakin dekat dengan Jenny dan mulai menjauh dari keluarga.

Saat kembali ke kampung halamannya inilah kerugian demi kerugian mulai menghampiri dirinya. Museum Amerika Barnum yang dibangunnya terbakar akibat perkelahian antara para pemain sirkusnya Barnum dengan masyarakat sekitar yang sejak awal tidak suka terhadap pertunjukkan tersebut. Jenifer tiba-tiba memutuskan kontrak pertunjukkan yang mengakibatkan Barnum merugi dan kemudian difitnah dengan tuduhan perselingkuhan oleh Jenny. Rumah besar yang dibelinya itu kemudian disita bank sehingga Charity dan anak-anaknya terpaksa mengungsi ke rumah orangtuanya. Dalam titik rapuh inilah kemudian teman-teman yang selama ini bekerja untuknya, khususnya dalam pertunjukkan sirkus datang kepadanya. Mereka tidak hanya datang untuk menguatkan Barnum tetapi menguatkan diri mereka sendiri. Meskipun Barnum membangun pertunjukkan untuk mendapatkan uang, secara tidak langsung, apa yang dilakukan olehnya adalah telah mengangkat derajat orang-orang dengan keterbatasan fisik dan kondisi disabilitas yang dialami menjadi sama dalam pertunjukkan sirkus.

Sumber: http://www.telegraph.co.uk/content/dam/films/2017/12/26/01-the-greatest-showman-hugh-jackman-vogue-september-issue-2017-xlarge_trans_NvBQzQNjv4Bqu1RMBkkFNzgChfcGqRoVyh5RvoMQaoimiCpCpFijC9k.jpg

 

Di sini, Barnum telah berhasil melakukan advokasi sosial kepada mereka secara tidak langsung, yang membuat mereka berarti untuk dirinya sebagai bagian dari manusia yang sama dengan yang lainnya. Apalagi, konteks yang dijalani oleh Barnum adalah tahun 1870-an, di mana kesetaraan atas nama HAM, khususnya bagi disabilitas belum menjadi standar dalam membangun interaksi sosial di masyarakat Amerika Serikat.

Melihat peran yang dimainkan oleh Jackman sepanjang film ini membuat saya terkagum. Ia tidak hanya bisa keluar dari imajinasi saya mengenai Wolverine melainkan juga bisa bernyanyi dan menggerakan tubuhnya berdansa sepanjang film ini yang memutarkan lagu-lagunya dengan representatif dari setiap adegan yang dilakukan; sebuah kemampuan yang patut untuk dijadikan pelajaran bagi pemain peran di Indonesia. Selain itu, dari penggalan kehidupan P.T Barnum ini ada satu tujuan terkait dengan nilai seni yang selama ini selalu menjadi cemooh banyak orang. Nilai seni ini yang terus dipegang oleh Barnum sehingga bisa mencapai titik kesuksesannya dan menjadi semacam mantra dalam sepanjang film ini diputar, The noblest art is that of making others happy (semulia-mulianya seni adalah yang membuat orang lain senang). P.T Barnum dan usahanya dibangun serta representasi film ini menunjukkan hal tersebut kepada saya. (Editor Ranny Rastati)

 

__________________________________________

TENTANG PENULIS

Wahyudi Akmaliah adalah peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK, sebelumnya PMB) LIPI. Ia menyelesaikan S1 di jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2003), melanjutkan jenjang S2 di dua kampus yang berbeda; bidang Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma (2008) dan International Peace Studies di University for Peace, Costa Rica. Selama di LIPI, ia mendalami dua tema riset, yaitu Kekerasan dan Politik Ingatan serta Kajian Budaya dengan memfokuskan kepada Islam, Identitas, dan Budaya Populer. Untuk korespondensi, Ia dapat dihubungi melalui surat elektronik (email), wahyudiakmaliah@gmail.com.