[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 13, Februari 2022]
Oleh Muhammad Retsa Rizaldi Mujayapura (Pengajar Sosiologi SMAN 4 Bandung)
Para orang tua yang telah dan sedang menyiapkan anaknya memasuki sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah selalu disibukkan dengan pencarian sekolah terbaik untuk pendidikan anaknya. Ketika sekitar 5-6 tahun lalu orang tua mencari sekolah “terbaik”, kini orang tua hanya perlu mencari sekolah “terdekat” untuk anaknya. Kebijakan yang dinamakan sebagai Sistem Zonasi Sekolah setidaknya telah berlangsug sejak tahun ajaran 2017/2018 yang terus mengalami penyesuaian setiap tahunnya. Sistem zonasi sekolah dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) dimulai sejak tahun 2017 berdasarkan Permendikbud Nomor 17 tahun 2017 Pasal 11 ayat 1 tentang penerimaan peserta didik baru pada TK, SD, SMP, SMA, SMK sederajat. Peraturan di atas mencantumkan bahwa sekolah wajib menerima paling sedikit 90% peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah berdasarkan kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB (Andina, 2017). Namun, apakah zonasi sekolah mampu menjawab permasalahan pendidikan? bagaimana kaitannya dengan permasalahan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman? Tentunya kebijakan ini berupaya mengatasi satu permasalahan mendasar sistem pendidikan nasional namun mengangkat satu topik permasalahan baru yang dapat menjadi bahan diskusi publik.
Prinsip dari kebijakan PPDB berbasis zonasi ialah pemerataan akses dan kualitas pendidikan (Pradewi & Rukiyati, 2019). Melalui zonasi pendidikan, semua sekolah memiliki kedudukan, peran, dan fungsi yang sama dalam melayani peserta didik (Perdana, 2019). Implikasi dari sistem zonasi sekolah dengan semangat pemerataan akses dan kualitas pendidikan ialah pudarnya status “sekolah unggulan” dan “sekolah favorit” yang menyebabkan adanya “kasta” dalam sistem pendidikan di Indonesia (Unspecified, 2018). Selama ini, label “sekolah favorit” telah melekat di masyarakat karena sistem penerimaan peserta didik sebelumnya yang menitikberatkan pada hasil nilai ujian nasional sehingga “anak terbaik” akan masuk ke “sekolah terbaik”.
Prinsip yang diperlukan dalam menghapus label “sekolah favorit” ialah dengan peningkatan kualitas sekolah lainnya untuk meningkatkan daya saing. Sistem zonasi sekolah dinilai menjadi pondasi yang baik dalam peningkatan kualitas pendidikan. Namun, permasalahan baru ditemukan dari kebijakan yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan era kepemimpinan Muhadjir Effendi. Salah satu permasalahan utamanya ialah pemerintah belum mampu menghapus disparitas kualitas antar sekolah. Ketimpangan sumber daya manusia sekolah masih belum mencapai standar yang diharapkan mengingat baru 49% guru yang sudah mendapatkan sertifikasi (Andina, 2017). Maka, tak mengherankan ketika para orang tua masih berharap untuk dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ‘favorit’ agar anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Sekolah yang dianggap favorit biasanya terletak di pusat kota. Artinya, anak yang tinggal di pusat kota lebih berpeluang belajar di sekolah idaman seluruh warga. Bagi warga yang tinggal di pinggiran kota, orang tua mesti mengikhlaskan anaknya belajar di sekolah yang dipandang non-favorit atau merogoh kocek lebih untuk belajar di sekolah swasta, tentunya bagi keluarga yang mampu. Sehingga, salah satu hal yang perlu disadari dalam pengembangan dan pemerataan kualitas pendidikan ialah kondisi pertumbuhan penduduk dan mahalnya harga properti di pusat kota sehingga terciptanya area-area pemukiman baru yang terletak di pinggiran kota.
Sub-Urban dan Akibat dari Urban Sprawl
Sub-urban merupakan Kawasan pinggiran perkotaan yang terletak di wilayah yang memiliki karakteristik kombinasi antara daerah perkotaan dan pedesaan (Jupri & Mulyadi, 2017). Pada suburbanisasi, tatanan perkotaan meluas ke pinggirian seiring dengan peningkatan populasi dan kegiatan ekonomi (Keil, 2018). Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan mengakibatkan ketidakseimbangan ketersediaan lahan dengan kebutuhan dan nilai harga lahan (Firdaus et al., 2018). Kawasan pinggiran kota mendukung dinamika kota karena transformasi fisik dan sosial sebagai akibat dari alih fungsi lahan dari pertanian ke pemukiman (Jupri & Mulyadi, 2017). Akhirnya, aktivitas perekonomian semakin melebar, bermekaran, menyebar, dan acak (sprawl).
Sub-urban terjadi pada berbagai kota besar di Indonesia. Penulis mengambil contoh aktivitas perkotaan yang semakin melebar dari Kota Bandung, tempat di mana penulis dibesarkan. Dalam sejarahnya, pembangunan di Bandung diawali pada abad 18 dengan pertumbuhan pemukiman yang sederhana dan pertumbuhan pesat dimulai dari tahun 1915 dengan merumuskan konsep “Master Plan Gemeente Bandoeng 1918-1923” (Rusnandar, 2010). Kota Bandung mengalami perluasan wilayah dalam beberapa periode. Kota Bandung yang pada tahun 1906 hanya seluas 900 Ha dengan luas yang ditempati hanya 240 Ha, pada tahun 2005 luas Kota Bandung bertambah secara signifikan menjadi sebesar 16.729,65 Ha dengan 2.270.970 jiwa (Rusnandar, 2010). Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2006, terdapat pemekaran 6 kecamatan yakni Kecamatan Cicadas, Arcamanik, Ujungberung, Cibiru, Rancasari, dan Margacinta dengan pembentukan 4 kecamatan baru yakni Kecamatan Gedebage, Panyileukan, Cinambo, dan Mandalajati. Dalam pengamatan penulis, kecamatan yang dimekarkan itu semula merupakan area pesawahan nan sepi menjadi pemukiman padat penduduk. Pada wilayah Gedebage, rata-rata peningkatan perkembangan area perumahan setelah pemekaran menjadi sebesar 212.003,7 m2 per tahun yang semula 17.369 m2 per tahun (Maman Hilman, 2004). Saat ini, lahan pertanian yang masih tersisa di Kota Bandung jumlahnya sangat sedikit dan hanya tersisa beberapa hektar saja yang terletak di timur Bandung (Prihatin, 2016). Perkembangan area pemukiman di wilayah Gedebage mendekati pola urban sprawl yang tidak terorganisir dengan baik dan cenderung mengikuti kalangan “swasta” (Maman Hilman, 2004). Fenomena seperti ini sangat memungkinkan terjadi di kota besar lainnya.
Semakin melebarnya tatanan perkotaan ke wilayah pinggiran kota dipandang sebagai salah satu permasalahan dari suburbanisasi sebagai urban sprawl. Urban sprawl yang dikenal dengan perluasan kota secara fisik sebagai akibat dari tingginya arus urbanisasi yang dideskripsikan sebagai pembangunan yang tidak terencana, menyebar, kepadatan rendah, dan tidak terstruktur di Kawasan pinggiran (Firdaus et al., 2018). Salah satu konsekuansi penting dari pembangunan urban sprawl ialah pengurahan lahan pertanian dan daerah alam (Ramlan & Rudiarto, 2015). Berbagai kajian telah menemukan berbagai fenomena urban sprawl ditemukan di berbagai kota besar di Indonesia.
Pembangunan urban sprawl yang melebar dan menciptakan lahan pemukiman baru menjadikan fasilitas kebutuhan mendasar warga menjadi tidak terintegrasi. Salah satu dampak lainnya dari urban sprawl ialah diperlukan pembangunan infrastruktur baru (Wicaksana & Putra, 2019). Ketersediaan sarana kebutuhan dasar, ketersediaan fasilitas publik, ketersediaan ruang publik, keamanan, dukungan fungsi ekonomi, sosial, dan budaya, dan sanitasi menjadi perhatian pemerintahan setempat untuk menjadi area yang layak huni.
Tantangan Pemerataan Akses Pendidikan
Percepatan pertumbuhan area pemukiman di wilayah sub-urban perlu ditunjang dengan percepatan pembangunan pendidikan pada wilayahnya. Apabila tidak berjalan beriringan, maka esensi dari sistem zonasi sekolah akan luntur. Warga sub-urban harus mencari sekolah di pusat kota. konsekuensi fenomena urban sprawl ini menuntut pemerintah untuk dapat menyediakan infrastruktur pendidikan di wilayah pemukiman baru ini untuk memudahkan akses layanan pendidikan. Selain itu, sekolah di area sub-urban mesti mengejar ketertinggalan dari “sekolah favorit”. Maka, kesadaran terhadap fenomena urban sprawl menjadi faktor penting untuk mewujudkan sistem zonasi sekolah yang berkualitas.
Sederhananya, kesuksesan pemerataan kualitas pendidikan dalam sistem zonasi sekolah dapat terjewantahkan apabila orang tua merasa tidak keberatan menyekolahkan anaknya dimanapun. Jaminan ‘sekolah dimanapun sama saja’ menjadi bukti kepercayaan publik bahwa pendidikan sudah merata. Menghapus istliah sekolah ‘favorit’ yang telah melekat pada berbagai sekolah unggulan dapat dilakukan melalui revitalisasi sekolah sub-urban. Sebagai wilayah dengan karakteristik yang bersinggungan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan, sekolah di sub-urban perlu menyadari karakteristik sosial wilayahnya sebagai wilayah sub-urban. Hal ini penting mengingat area urban sprawl merupakan area padat baru yang kebanyakan dihuni oleh pendatang sehingga perlu menjalin komunikasi dengan stakeholder sekolah dan melatih budaya multikultural kepada peserta didik.
Secara struktural, menciptakan lulusan yang kompeten dan penyesuaian kembali sistem masuk perguruan tinggi dapat mengikis istilah sekolah ‘favorit’ secara perlahan. Bagaimana tidak, untuk jenjang SMA, salah satu pertimbangan orang tua dalam memilih sekolah ialah memperhatikan lulusan sekolahnya, yang mana pada saat ini jalur seleksi SNMPTN menjaidkan latar belakang sekolah sebagai pertimbangan diterimanya peserta didik di PTN. Menciptakan sekolah yang berkualitas di area sub-urban merupakan komitmen untuk mewujudkan keadilan dalam mengakses pendidikan. Fenomena urban sprawl perlu menjadi perhatian oleh institusi pendidikan untuk sebagai tantangan baru dalam mewujudkan cita-cita pendidikan. (Editor: Rusydan Fathy)
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Andina, E. (2017). Sistem Zonasi dan Dampak Psikososial Bagi Peserta Didik. Majalah Info Singkat Bidang Kesejahteraan Sosial Puslit Badan Keahlian DPR, IX(14), 9–12.
Firdaus, F., Asteriani, F., & Ramadhani, A. (2018). Karakteristik, Tipologi, Urban Sprawl. Jurnal Saintis, 18(2), 89–108. https://doi.org/10.25299/saintis.2018.vol18(2).3191
Jupri, J., & Mulyadi, A. (2017). Suburban Zoning of Bandung Raya Area. Jurnal Geografi Gea, 17(2), 105. https://doi.org/10.17509/gea.v17i2.6888
Keil, R. (2018). Extended urbanization, “disjunct fragments” and global suburbanisms. Environment and Planning D: Society and Space, 36(3), 494–511. https://doi.org/10.1177/0263775817749594
Maman Hilman. (2004). Perkembangan Lokasi Perumahan Di Wilayah Gedebage Kota Bandung Akibat Pemekaran Kota. DIMENSI (Jurnal Teknik Arsitektur), 32(2), 157–160. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/view/16187
Perdana, N. S. (2019). Implementasi PPDB Zonasi Dalam Upaya Pemerataan Akses Dan Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan Glasser, 3(1), 78. https://doi.org/10.32529/glasser.v3i1.186
Pradewi, G. I., & Rukiyati, R. (2019). Kebijakan Sistem Zonasi Dalam Perspektif Pendidikan. Jurnal Manajemen Dan Supervisi Pendidikan, 4(1), 28–34. https://doi.org/10.17977/um025v4i12019p028
Prihatin, R. B. (2016). Alih Fungsi Lahan Di Perkotaan (Studi Kasus Di Kota Bandung Dan Yogyakarta). Jurnal Aspirasi, 6(2), 105–118. https://doi.org/10.22212/aspirasi.v6i2.507
Ramlan, N., & Rudiarto, I. (2015). Pengendalian Urban Sprawl di Wilayah Pinggiran (Studi Kasus: Perkembangan Kota di Indonesia dan Perancis). Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 11(4), 444. https://doi.org/10.14710/pwk.v11i4.11596
Rusnandar, N. (2010). Sejarah Kota Bandung Dari ”Bergdessa” (Desa Udik) Menjadi Bandung ”Heurin Ku Tangtung” (Metropolitan). Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 2(2), 273. https://doi.org/10.30959/patanjala.v2i2.219
UNSPECIFIED, ed. (2018) Sistem zonasi : strategi pemerataan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan. Pusat Data dan Statistik Pendidkan dan Kebudayaan, Setjen, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Wicaksana, G. B. A., & Putra, I. B. G. P. (2019). Compact City: Menuju Sustainabilitas Terhadap Fenomena Urban Sprawl. Undagi : Jurnal Ilmiah Jurusan Arsitektur Universitas Warmadewa, 7(1), 29–35.
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Penulis merupakan freshgraduate program Magister Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia. Penulis tertarik pada isu dan fenomena seputar Islam Populer, Post-Truth, dan masyarakat sub-urban. Penulis dapat dihubungi melalui surel: retsa98@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial