Home Artikel Upaya Merajut Toleransi di Kalangan Warga Nahdliyin

Upaya Merajut Toleransi di Kalangan Warga Nahdliyin

0

Jakarta, Humas-LIPI. Isu terkait intoleransi dan radikalisme masih menjadi topik yang menarik untuk diikuti. Hal ini disebabkan adanya paradoks atau perbedaan, yang mana Indonesia dalam pergaulan dunia terkenal akan bangsa yang ramah dan multi etnik. Namun dalam keseharian di masyarakat, walau tidak banyak dan tidak meluas, ada atau kadang kita temui sejumlah praktek yang tidak mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa besar yang ramah terhadap perbedaan atau bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Kenapa itu semua terjadi dan bagaimana upaya menumbuhkan toleransi di keseharian warga Nahdliyin, menjadi bahan diskusi  menarik yang di selenggarakan oleh Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), pada Senin 28/6 lalu.

Pada diskusi daring bertajuk “Intoleransi dan Politik Identitas Kontemporer di Indonesia”, menghadirkan sejumlah pembicara diantaranya M. Saifullah Rohman, seorang peneliti di PMB-LIPI yang melakukan kajian terkait isu intoleransi dan radikalisme di Jawa Timur. Diskusi yang pada hakikatnya membedah buku dengan judul yang sama, Saiful menyoroti pergulatan pemikiran di kalangan Nahdliyin dan upaya konkrit membangun toleransi di kalangan “akar rumput” di Jawa Timur.

“Sebutan sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU), yaitu ormas Islam terbesar di Indonesia, yang dikenal toleran dan dekat dengan kalangan minoritas agama selain Islam, seakan tercoreng dengan beberapa kejadian penyerangan terhadap kalangan tersebut di sejumlah wiilayah di Jawa Timur”, demikian papar Saiful. Peristiwa penyerangan terhadap komunitas Syiah di Pasuruan dan Sampang pada tahun 2011 dan 2012, menjadi salah satu catatan buruk praktik toleransi di Jawa Timur. “Peristiwa peledakan sejumlah gereja di Surabaya tahun 2018 lalu, oleh sejumlah orang yang diduga penganut paham ekstrim, menambah buruk citra Jawa Timur sebagai basis NU yang toleran”, tutur Saiful.

Banyak pengamat yang mengulas dua peristiwa tersebut. Dalam pengamatan Saiful, hal tersebut di atas dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga seseorang atau kelompok orang bisa atau tega berbuat hal itu. “Faktor pemahaman atau cara memahami ajaran agama menjadi salah satu yang berpengaruh”, papar beliau. Dalam konteks peledakan gereja di Surabaya, Saiful melihat faktor kondisi global perjuangan Umat Islam di sejumlah negara yang bergejolak, dimana video-video metode perlawanan mereka menjadi inspirasi yang salah, untuk kemudian mereka terapkan di Indonesia, belum lagi perasaan inferior, di mana perasaan bahwa Umat Islam yang termarjinalkan di banyak sektor, membuat mereka sesat jalan.

Pergulatan di internal umat Islam, khususnya antar aliran pemikiran dan sekte, juga tak kalah kerasnya. Menurut kajian yang dilakukan Saiful dan tim-nya, akibat penyerangan terhadap Sekte Syiah di Pasuruan dan Sampang sekitar 10 tahun lalu tersebut, menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik luka termasuk korban jiwa. “Belum lagi masalah pengungsi yang ditimbulkan masih membekas sampai saat ini”, tutur Saiful.

Dalam pengamatan Saiful, di kalangan internal Nahdliyin sendiri saat ini muncul fragmentasi yang mengemuka terutama di media sosial, di mana satu pihak menisbatkan diri sebagai NU Garis Lurus, sementara yang lainnya dianggap liberal dalam pemikiran. “Mereka menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram sebagai alat menyebarkan propaganda mereka”, ujar Saiful. Yang dianggap menyedihkan bagi penyaji, narasi yang diusung saling menyudutkan / menohok pihak lainnya. Dalam pandangan Saiful, misi yang diusung NU Garis Lurus ini, yaitu meng-counter propaganda Islam Nusantara dan Islam Liberal juga mengajak pemurnian NU ke arah rel-nya, yaitu Ahlu Sunnah Wal Jamaah.

Dalam simpulan ulasan-nya, Saiful mendorong para aktivis Islam di media sosial untuk lebih aktif mengkampanyekan narasi Islam yang lebih positif, sejuk, dan toleran. Hal ini tidak hanya untuk meng-counter narasi yang tidak ramah, namun juga bisa menjadi contoh dan pelajaran bagi Umat Islam yang awam.  “Kita bisa belajar bertolersnsi dari masyarakat Balun di Lamongan, yang sudah menerapkan toleransi dalam praktik keseharian,” sebutnya.  “Mereka bekerjasama untuk urusan yang disepakati bersama, seperti saling membagi makanan dan berkunjung di kala ada perayaan hari besar agama, namun dengan tidak mengorbankan aqidah masing-masing,” pungkas Saiful. (bn/ ed: mtr)

_____________________

*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

*) Ilustrasi: Shutterstock

 

 

NO COMMENTS

Exit mobile version