[Masyarakat & Budaya, Volume 20, Nomor 16, Agustus 2021]
Oleh Een Syaputra (Dosen UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu)
Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk warisan nenek moyang yang saat ini semakin tergerus keberadaannya. Padahal, di masa lalu, tradisi lisan dengan berbagai macam variannya merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan segala keterbatasannya, tradisi lisan telah membuktikan keampuhannya dalam menciptakan kehidupan sosial yang serasi serta hubungan dengan lingkungan alam yang harmoni. Tidak hanya itu, tradisi lisan juga telah memainkan peran penting dalam pewarisan nilai, pengetahuan dan keterampilan antar generasi di masa lalu.
Tapi kini, di tengah pesatnya kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK), tradisi lisan semakin tergerus eksistensinya. Tidak hanya pada masyarakat urban, tapi juga pada masyarakat pedesaan. Tidak hanya pada kalangan muda, namun juga pada kalangan tua. Lalu bagaimana solusinya?
Jadikan Bahan Ajar
Wacana untuk memanfaatkan tradisi lisan sebagai bahan ajar ini sudah mengemuka sejak lama. Pada tahun 2010, Harian Kompas memuat berita bertajuk “Tradisi Lisan sebagai Bahan Ajar, Kemiskinan Jadi Ancaman”, melaporkan bahwa dalam sambutannya saat membuka Seminar Internasional Tradisi Lisan VII di Pangkal Pinang, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal berjanji bahwa Kementerian Pendidikan Nasional akan menjadikan tradisi lisan Nusantara sebagai salah satu bahan ajar (Kompas, 22 November 2010).
Dalam beberapa tahun belakangan, upaya untuk kembali menghidupkan tradisi, khususnya tradisi lisan memang banyak dilakukan. Berbagai seminar dan talkshow bertema kearifan lokal telah diselenggarakan di berbagai kampus. Banyak pula karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi yang mengangkat tema kearifan lokal, khsusnya tradisi lisan sebagai bahan ajar. Beberapa bidang pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Muatan Lokal, IPS, Sejarah dan IPA adalah yang paling banyak mengembangkan tradisi lisan sebagai bahan ajar. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari relevansi dengan kurikulum, terutama materi ajar yang memang mempunyai banyak keterkaitan atau relevansi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa tradisi lisan menjadi relevan untuk dijadikan sebagai bahan ajar? Ada dua hal yang setidaknya dapat dijadikan sebagai dasarnya, yakni pembentukan karakter peserta didik dan upaya pelestarian kebudayaan yang makin tergerus eksistensinya.
Membentuk Karakter
Persoalan karakter memang merupakan salah satu persoalan serius. Rusaknya karakter dianggap sebagai salah satu penyebab utama berbagai persoalan kebangsaan yang hari ini muncul. Sebut saja korupsi dan merebaknya paham radikalisme yang kemudian berujung pada aksi teror. Dalam kaitan dengan itu, tradisi lisan yang selama ini kurang diperhatikan, atau bahkan telah ditinggalkan, mendadak ingin dikembangkan kembali. Sudah dalam keadaan tertimbun, baru sadar akan arti pentingnya sehingga perlu digali kembali.
Mengapa demikian tentu tidak terlepas dari hakikat dari tradisi lisan itu sendiri. Tradisi lisan, sebagaimana diungkapkan pakar tradisi lisan Prof. Robert Sibrani (2015) merupakan salah satu varian kebudayaan yang kaya akan muatan nilai yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendidikan. Nilai budaya yang terkandung dalam genre tradisi lisan merupakan pesan-pesan sebagai sumber pengetahuan atau pendidikan bagi generasi penerus.
Sebut saja cerita rakyat dan dongeng, yang meksipun bukan cerita nyata, namun banyak memuat pesan-pesan moral. Dari dongeng kita dapat belajar bagaimana seharusnya bersikap kepada sesama, bersikap kepada orang yang lemah. Dari dongeng juga kita dapat belajar bahwa kebenaran akan selalu berakhir dengan kemenangan. Sebaliknya, kejahatan akan selalu berakhir dengan kekalahan.
Contoh lain juga dapat dijumpai dalam varian tradisi lisan lainnya seperti ungkapan tradisional. Berbagai item nilai dalam pendidikan karakter, seperti nilai religius, toleransi, kejujuran, peduli sosial, peduli lingkungan, demokrasi dan tanggung jawab, dapat ditemukan basisnya di dalam ungapan tradisional. Dalam ungkapan tradisional Minangkabau misalnya, ada ungkapan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah; syarak mangato, adat mamakai” [yang berarti adat bersendikan agama, agama bersendikan kitab Allah, agama mengatakan, adat memakai]. Contoh lain pada masyarakat Melayu Bengkulu, dikenal ungkapan “Luk uwi pengebat rakit, teghendam same basah, di daghat same keghing” [yang berarti seperti rotan pengikat rakit, terendam sama basah, di darat sama kering]. Ungkapan ini yang memuat nilai solidaritas sosial.
Dalam tardisi lisan terdapat berbagai narasi yang berisi contoh dan teladan, hikmat dan nasihat, ganjaran atau hukuman yang berkaitan dengan pembentukan karakter. Sebab itu, dengan menjadikan tradisi lisan sebagai bahan ajar, di samping dapat membuat materi ajar lebih bervariasi, juga akan akan dapat membuat materi pembelajaran kaya akan muatan nilai (Syaputra & Dewi, 2020). Dengan kata lain bahwa materi ajar tidak hanya berorientasi pengetahuan, namun juga pembentukan karakter peserta didik.
Melestarikan Budaya
Alasan berikutnya yang juga tak kalah penting adalah pelestarian budaya. Sebab saat ini tradisi lisan kita sudah banyak yang terancam punah. Berapa banyak cerita rakyat yang masih familiar di tengah masyarakat? Berapa banyak nyanyian rakyat yang masih aktif digunakan? Dan berapa banyak ungkapan tradisonal, berupa falsafah hidup, petuah-petuah yang masih diketahui maknanya oleh kalangan anak muda? Serta seberapa banyak permainan rakyat yang masihh dimainkan oleh anak-anak?
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 2020, disebutkan bahwa saat ini tercatat sebanyak 4.521 tradisi lisan Indonesia (Kompas, 17 Juli 2020). Bentuknya sangat beragam, mulai dari ucapan, nyanyian, cerita rakyat, sastra, hukum adat dan pengetahuan. Namun sangat disayangkan bahwa dari jumlah yang sangat banyak tersebut sebagian besar diantaranya dalam kondisi memerlukan perlindungan.
Pudarnya tradisi lisan disebabkan oleh berbagai factor seperti terpaan budaya asing, kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK), hingga kurangnya perhatian dari pemerintah dan akademisi terhadap pelestarian tradisi lisan. Permainan rakyat mislanya, banyak ditinggalkan oleh generasi muda karena lebih tertarik dengan gadget dan game online seperti Mobile Legend.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hidayat & Yakob (2019) menunjukkan bahwa penerapan dan pengembangan bahan ajar berbasis tradisi lisan memiliki korelasi positif dengan karakter dan pemahaman peserta didik terhadap kebudayaan lokal. Selain itu, dalam penelitian Syaputra, Sariyatun & Sunardi (2018) tentang “Pembelajaran Sejarah Berbasis Tradisi Lisan Selimbur Caye” menunjukkan terjadinya peningkatan pemahaman dan kesadaran sosial siswa terhadap tradisi lisan masyarakat Pasemah. Dengan demikian, upaya reorientasi dan revitalisasi tradisi lisan melalui bahan ajar menjadi urgen dilakukan agar dapat diperkenalkan kembali kepada siswa (Editor Ranny Rastati).
Referensi
Hidayat, M.T., & Yakob, M. (2019). Pengembangan Bahan Ajar Cerita Rakyat Aceh Berbasis Kearifan Lokal untuk Membentuk Karakter Siswa SMP di Kota Langsa. Jurnal Metamosfosa, 7 (2), 189-200.
Sibrani, R. (2015). Pendekatan Antropolinguistik terhadap Kajian Tradisi Lisan. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, 1 (1), 1-17.
Syaputra, E., Sariyatun, S., & Sunardi. (2018). The Strategy of Enhancing Student’s Social Awareness through History Learning Based on Selimbur Caye Oral Tradition Values. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 5 (4), 22-29.
Syaputra, E., & Dewi, D. E. C. (2020). Tradisi Lisan sebagai Bahan Pengembangan Materi Ajar IPS di SMP: Sebuah Telaah Literatur. Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS, 5 (1), 51-62.
“Tradisi Lisan sebagai Bahan Ajar, Kemiskinan Jadi Ancaman” Kompas, 22 November 2010.
“4.521 Tradisi Lisan Memerlukan Perlindungan” Kompas 17 Juli 2020. https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/07/17/4-521-tradisi-lisan-memerlukan-perlindungan (Diakses tanggal 2 Agustus 2021).
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI
_______________________________________
Tentang Penulis
Een Syaputra adalah alumni Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Sebelas Maret. Saat ini merupakan dosen pada Program Studi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu. Penulis adalah pendiri dan ketua Komunitas Kaganga Pusaka Kita. Email: eensyaputra23@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial