[Masyarakat dan Budaya: Volume 13, Nomor 1, Januari 2021]

Oleh Muhammad Kamarullah (mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

Judul: Tuan Guru Imam Abdullah Bin Qadhi Abdussalam: Perlawanan Terhadap Imperialisme Belanda Dan Pengasingan Di Cape Town, Afrika Selatan

Penulis: Bunyamin Marasabessy dan Moh Amin Faroek

Tebal Buku: xiv+225

Penerbit: Yayasan Pendidikan Raudhatun Nasyi’in, Mei 2005

Buku ini menceritakan tentang ekspansi dan aktifitas kolonialisasi yang dilakukan oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda di Indonesia. Di Ternate dan Tidore, misalnya, Portugis dan Spanyol datang dengan tujuan untuk menguasai rempah-rempah. Pada tahun 1602, Belanda mendirikan Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Verenigde Oost Indische Companie (VOC) sebagai kekuatan simbolik penguasaan atas perdagangan. Kedatangan bangsa kolonial ini tidak hanya melakukan monopoli perdagangan tetapi juga ikut campur dalam pemerintahan dalam negeri.

Kolonialisasi pada akhirnya menimbulkan perlawanan dari masyarakat setempat. Salah satunya Imam Abdullah Bin Qadhi Abdussalam atau Imam Abdullah yang berasal dari Pulau Tidore. Dalam buku ini, Bunyamin dan Amin Faroeq mengulas tentang sepak terjang Imam Abdullah dalam perlawanannya terhadap kolonialisme. Buku ini pun membahas saat Imam Abdullah diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan.

Kekejaman kolonialisme dan imperialisme yang berjalan selama berabad-abad membuat penderitaan rakyat semakin berat. Apalagi rakyat dijadikan seperti seorang budak di dalam rumah mereka sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip Imam Abdullah karena baginya, praktik kolonialisme merupakan kejahatan yang tidak boleh dibiarkan dan harus dilawan. Sebab, manusia adalah khalifah filardh yang harus dihormati harkat dan martabatnya.

Gerilya dan propaganda terhadap Belanda pun digencarkan dari kampung ke kampung. Agama digunakan sebagai dasar perjuangan untuk menentang penjajahan. Gerilya yang dilakukan Imam Abdullah pun mendapat respon baik oleh masyarakat Tidore. Prinsip perjuangannya pun mendapat respon dan berpengaruh luas hingga ke wilayah Weda, Patani, Gebe (Halmahera Tengah), dan Raja Ampat.

Pada tahun 1770, sebuah peristiwa terjadi di semenanjung Ngolopopo yang dikenal dengan “Pero” atau peristiwa potong tali. Peristiwa ini kemudian membuat banyak serdadu Belanda terperangkap dan mati tertimbun bebatuan. Dengan semangat jihadnya, Imam Abdullah bergerilya dari semenanjung Patani, pulau Gebe (Halmahera Tengah), dan kepulauan Raja Ampat. Di sana, ia bertemu dengan saudara sepupunya Raja Salamati “Arfaan” dan Raja Waigeo “Amir Tajuddin” untuk menyampaikan maksudnya melawan Belanda.

Pasca peristiwa Pero tersebut, ceramah dan kotbah perlawanan kepada penjajah begitu lantang diserukan oleh Imam Abdullah. Hal ini pun membakar api semangat rakyat Tidore. Sayangnya, gerakan Imam Abdullah diketahui oleh kolonial Belanda. Imam Abdullah akhirnya ditangkap pada tahun 1763. Ia dianggap sebagai penjahat dan dituduh bersekongkol dengan Inggris untuk melawan Belanda.

Dalam sebuah arsip Belanda, Imam Abdullah kemudian dijuluki sebagai “Baditen Rollen” yang berarti seorang bandit. Imam Abdullah bersama ketiga saudaranya Abdurrauf, Badaruddin dan Nurul Imam kemudian dibawa ke Ternate, Ambon, dan Batavia. Dari Batavia, ia diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan.

Sang Imam diasingkan di dalam kandang kuda kemudian dipindahkan ke penjara Robbin Island selama 14 tahun. Robbin Island adalah sebuah pulau terpencil yang berlokasi sekitar 500 mil dari Cape Town. Imam Abdullah diasingkan di Pulau Robbin karena dianggap sebagai tawanan negara (Staat Gevangene). Penjara di Robbin Island menjadi tempat pengasingan terakhir Imam Abdullah. Oleh Belanda, Imam Abdullah dianggap melanggar peraturan Status of India (1770) di Batavia yang juga diberlakukan di Cape Town. Isi peraturan tersebut adalah melarang aktivitas dakwah dan atau beribadah dimanapun juga kecuali di gereja protestan Belanda. Hukuman bagi pelanggar seperti disetrika, dibuang keluar negeri, dan dihukum mati.

Ketika berada di penjara Robbin Island, Imam Abdullah menyelesaikan sebuah Al-Quran yang merupakan hasil tulis tangannya sendiri dan Kitab “Ma’rifat Al-Islam Wal Iman”. Ketika bebas dari penjara pada tahun 1793, ia memutuskan untuk tidak kembali ke kampung asalnya, Tidore. Ia memilih untuk mengajar agama Islam kepada masyarakat di sana. Di sinilah catatan sejarah antara Cape Town dan Tidore bermula.

Meskipun masih melakukan aktivitas dakwah di Cape Town, Belanda tidak melakukan penindakan karena saat itu yang ditakuti Belanda hanyalah gagasan-gagasan kemerdekaan. Aktivitas dakwah seperti mengajarkan baca tulis Al Qur’an dibiarkan. Imam Abdullah kemudian menjadi Qadhi atau Imam Ketua karena ia adalah imam pertama yang mengajarkan agama Islam. Ia juga diberi gelar sebagai “Tuan Guru”.

Saat itu di Cape Town belum ada masjid sehingga Imam Abdullah dan para jamaah melakukan sholat di bekas penggalian batu bangunan. Kemudian, salah satu pengikut Imam Abdullah bernama Achmad van Bongalen menghibahkan bangunan milik peninggalan mertuanya untuk dijadikan masjid. Atas persetujuan istri dan keluarganya, masjid pertama didirikan di Dorp Street. Masjid tersebut dinamakan Auwal Mosque yang berarti Masjid Awal. Imam Abdullah pun menjadi imam pertama masjid tersebut. Islam mengalami perkembangan pesat pada tahun 1770 hingga 1800. Masjid Awal pun dijadikan pusat kebudayaan Islam di Cape Town.

Meski sebenarnya Islam telah datang di Cape Town sejak 1667, namun Islam di sana masih kental dengan tradisi mistis dan animisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi ini perlahan-lahan diluruskan oleh Imam Abdullah melalui pendidikan madrasah dan masjid. Madrasah dan masjid kemudian berkembang menjadi institusi untuk mentransformasikan ide-ide agama dan kebudayaan Islam di masyarakat muslim Cape Town.

Buku-buku karya Imam Abdullah pun memiliki pengaruh besar dalam pendidikan Islam di Afrika Selatan salah satunya berjudul Rational Traditional Theology Filosofis. Ajaran dan jejak Imam Abdullah sebagai ulama Indonesia yang mendakwahkan Islam di Afrika Selatan masih dikenang. Jurnalis Afrika Selatan, Shafiq Morton, pun mengingatkan bangsa Indonesia bahwa Imam Abdullah merupakan penanda hubungan antara Indonesia dan Afrika Selatan. Eksistensi agama Islam di Afrika Selatan tidak terlepas dari para Imam dari Indonesia, khususnya Imam Abdullah yang berasal dari Tidore (Editor Al Araf Assadallah Marzuki).

_____________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

*) Ilustrasi: Suara.com

_____________________

Tentang Penulis

Muhammad Kamarullah adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang dan sebagai pengurus bidang penelitian dan pengembangan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) Komisariat Ilmu Sosial Politik (FISIP) UMM. Sering menulis di media cetak : Malangpost.com , dan online : Geotimes.com , Mojok.co (Terminal) ,detik.com, PinterPolitik.com, Qureta.com, Islami.co, rahma.id dan beberapa media online lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui email kamarullahrulas12345@gmail.com