Oleh Maulida Illiyani (Peneliti PMB LIPI)
Ada berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengenang jasa para pahlawan, salah satunya dengan diabadikan ke dalam bentuk patung. Jika memasuki halaman depan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), kita akan menemukan patung laki-laki yang berdiri kokoh. Ia adalah Profesor Djokosoetono (selanjutnya ditulis Prof. Djoko), salah seorang perintis berdirinya FH UI sekaligus Dekan pertama FH UI. Prof. Djoko lahir pada tanggal 5 Desember 1904 di Surakarta. Meskipun tidak ditetapkan sebagai pahlawan oleh pemerintah, namun ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata setelah wafat pada tanggal 6 September 1965. Sebab, ia adalah pahlawan ilmu hukum Indonesia dalam tataran akademis maupun praktis.
Sosok patung tersebut adalah Profesor Djokosoetono (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Prof. Djoko). Ia adalah seorang perintis berdirinya FH UI dan Dekan pertama FH UI. Prof Djoko lahir pada tanggal 5 Desember 1904 di Surakarta dan meninggal pada tanggal 6 September 1965 di Jakarta. Salah satu buku yang mengulas tentang sosok Prof. Djoko adalah buku berjudul “Guru Pinandita: Sumbangsing untuk Prof. Djokosoetono,S.H”. Buku ini ditulis oleh keluarga, teman dan murid untuk mengenang jasa beliau dalam usaha ikut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. “Guru Pinandita” diluncurkan bersamaan dengan Dasa Windu Kelahiran Prof Djoko pada tanggal 6 Desember 1984 (Soemardjan: 1984).
Buku ini mengisahkan banyak hal, empat diantaranya adalah; 1) Mengenai pesan beliau sebelum wafat, yang kini tertulis di bagian bawah patungnya. 2) Tentang kapabilitas beliau dalam ilmu hukum. 3) Mengenai gaya mendidik beliau saat dikampus. 4) Dan sedikit yang terakhir tentang karakter kritis Prof Djoko.
“Aku tak dapat meninggalkan apa-apa kepada anak-anakku, aku hanya meninggalkan nilai-nilai yang idiil” adalah kalimat yang tertulis dibawah patung beliau. Maksud kalimat tersebut, bahwa Prof. Djoko menyadari tidak meninggalkan warisan dalam bentuk karya tertulis kepada para mahasiswanya. Yang diwariskan adalah moral luhur dan wejangan baik saat perkuliahan maupun di luar perkuliahan.
Lalu, mengapa Prof. Djoko tidak menulis buku? Sebagaimana yang disampaikan Selo Soemardjan (1984) di dalam buku “Guru Pinandita”, menurut Prof. Djoko ilmu hukum adalah ilmu yang murni dan ilmu murni tidak akan pernah sempurna. Ilmu ini akan selalu tumbuh dan berkembang. Prof. Djoko pun menyadari bahwa taraf ilmu hukum yang telah ia capai masih banyak menunjukkan kekurangan dan kelemahan. Setiap memperdalam pengetahuannya dalam bidang hukum, ia menyadari kekurangan dan kelemahannya. Maka, Prof. Djoko selalu merasa bahwa belum waktunya untuk membukukan pengetahuan yang ia miliki, meskipun menurut banyak pengetahuannya sukar mendapat bandingannya di tanah air.
Selama berkiprah di dunia hukum, rekan maupun murid sangat mengapresiasi Prof. Djoko. Beliau menguasai semua bidang hukum secara teoritis, luas, dan mendalam. Suatu permasalahan hukum selalu dikupas secara ilmiah, sistematis dan kritis. Beliau mampu mengemukakan pendapat para ahli hukum lainnya yang setaraf internasional. Selain itu juga mampu membuat perbandingan-perbandingan hukum yang berlaku di negara lain. Hal tersebut menunjukkan betapa luas dan kaya pengetahuan yang dimiliki Prof. Djoko. Bagi Prof. Djoko, membaca buku bukanlah suatu hobi, akan tetapi suatu kebutuhan rohani yang membudaya dalam kepribadiannya (Soemardjan, Siregar, Gautama: 1984).

Saat memberi ujian di kampus, yang Prof. Djoko nilai bukanlah apakah mahasiswa mampu menghafal pasal perundangan-undangan atau teori-teori, tetapi sejauh mana mahasiswa dapat mengerti inti sebuah perundangan-undangan dan menjawabnya dengan uraian yang sistematis sesuai logika hukum.
Yang menarik, saat memberi kuliah, Prof. Djoko tidak pernah membawa buku. Yang dibawa hanya secarik kertas kecil bertuliskan beberapa catatan. Dari catatan kecil itu saja, beliau mampu menyampaikan uraian dengan lancar, tanpa berhenti dengan segala pemikiran ilmiah. Gaya berbicaranya tegas, tandas, tajam, terang, dalam tempo cepat. Ini merupakan daya tarik sehingga yang mendengarkan kemudian terbawa ke alam pikiran beliau. Gaya komunikasi yang tidak membosankan mendorong mahasiswa untuk berpikir secara lebih mendalam sehingga dengan sendirinya, mahasiswa pun berupaya membaca buku-buku untuk mencari jawaban (Soemardjan, 1984). Sebenarnya jika ditilik sesuai era saat ini, metode pengajaran yang Prof. Djoko lakukan sama seperti metode belajar active learning yang membiarkan mahasiswa mencari tahu lebih banyak di luar kelas. Pengajar hanya sebagai fasilitator atau pemantik penasaran saja.
Ketika menyampaikan kritik, Prof Djoko selalu jelas, jujur, dan beralasan. Kritik itu tidak mengandung pamrih pribadi, namun dilontarkan untuk kepentingan masyarakat.dan negara. Hal inilah yang membuat kritik Prof. Djoko dapat diterima dengan baik oleh semua pihak. Di samping itu, Prof Djoko sendiri tidak pernah menjadi anggota partai politik dan tidak pernah memihak bila ada pertentangan politik di dalam negeri. Sifat-sifat sebagai manusia yang sepi ing pamrih (tidak pamrih) inilah yang layak kita terima sebagai warisan keluhuran karakter (Soemardjan: 1984).
Dialog batin antara Bismar Siregar, salah satu murid Prof. Djoko, saya rasa dapat menjadi penutup yang indah untuk tulisan ini. “Guruku Prof.Mr.Djokosoetono! Saya tahu, engkau sekarang berada di alam barzakh, tetapi engkau hadir setiap saat dalam hatiku. Saya tidak ingin engkau hanya sekedar patung peringatan karena membuat patung bertentangan dengan imanku, karena itu saya memilih engkau patung dalam hatiku, menjadi perlambang hidup dan memberi kehidupan melalui amal ilmu ajaranmu”.
Jas Merah, jangan pernah melupakan sejarah. Begitu pesan Bung Karno. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kebijakan dan kearifan hidup seorang Profesor Djokoseotono yang rendah hati dan mencintai ilmu hukum hingga akhir hayatnya. (Editor: Ranny Rastati)
Referensi:
Soemardjan, Selo (ed) (1984). Guru pinandita sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, SH: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ali. Djokosoetono, Peletak dasar Intelektualitas Kepolisian, 24 September 2009 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol23191/djokosoetono-peletak-dasar-intelektualitas-kepolisian (diakses 27 Juli 2017)
Soemardjan, Selo. Mengenang Profesor Djokosoetono SH, 5 Desember 1984 http://www.amicorumdjokosoetono.com/index.php/artikel-karangan-tentang-prof-djokosoetono/68-mengenang-profesor-djokosoetono-sh (diakses 27 Juli 2017)
________________________
Tentang Penulis
Maulida Illiyani, saat ini merupakan seorang kandidat peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penulis merupakan peneliti di bidang hukum, khususnya terkait lingkungan dan masyarakat adat. Tamat Sarjana Hukum dari Universitas Islam Indonesia pada tahun 2012. Menulis beberapa Karya Tulis Ilmiah dan kompetisi debat selama masa perkuliahan, antara lain: PKM GT Dikti “ Hak Belajar Napi anak di LP Kutoarjo” pada tahun 2010; PKMP Dikti “ Over Capacity melanggar Hak Napi di LP Cipinang” pada tahun 2010; Juara 3 Debat Konstitusi SeJawa Tengah di UKSW pada tahun 2010; Menulis opini “Pengamatan Ospek FH UII Tahun 2011” dimuat di LPM Keadilan FH UII; Menulis opini “Pertanggungjawaban UII untuk Jilbab” dimuat di LPM Keadilan FH UII Pada tahun 2011; dan Buku “Akhwat Jalanan” tercatat ISBN pada tahun 2012. Semasa bekerja di LIPI, pernah bergabung dalam Tim penelitian kerjasama antara LIPI dengan Aliansi Petani Indonesia (API) dengan judul “Dari Petani Lokal ke Pasar Global (Model Usahatani Beras Organik di Boyolali dan Tasikmalaya”. Saat ini masuk dalam Tim Kelti Hukum dan Masyarakat dalam pembahasan Revisi KepMenpan No 128 Tahun 2004. Untuk korespondensi, Ia dapat dihubungi melalui email maulidaillyani@gmail.com)
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah