Home Artikel Tiga Fase Pasang Surut antara Politik Agama dan Negara Pasca-Reformasi

Tiga Fase Pasang Surut antara Politik Agama dan Negara Pasca-Reformasi

0

Jakarta, Humas LIPI. Dalam menyambut dua Hari Raya besar yaitu Idul Fitri dan Kenaikan Isa Al-Masih yang akan jatuh bersamaan pada 13 Mei 2021, Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI) bersama Pusat Studi Heritage Nusantara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menyelenggarakan diskusi dengan tema “Keragaman Agama dan Tatakelolanya di Ruang Publik Pasca-Reformasi” secara virtual melalui zoom meeting pada Selasa (11/5) lalu.

Plt. Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI), Ahmad Najib Burhani yang menjadi salah satu narasumber, menyatakan perlunya untuk memikirkan ulang terkait keragaman agama dan tata kelola dalam situasi pasca reformasi. “Ketika relasi antara agama atau politik agama dan negara sedang pasang surut setelah reformasi, muncul tiga fase yang berbeda mulai dari Islamic term yaitu kecenderungan mengacu pada Islam dalam pemerintahan, conservative term yaitu kecenderungan keagamaan yang agak konservatif, kemudian berkembang menjadi sesuatu yang disebut illiberal democracy,” ujarnya.

Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, pasang surut antara politik agama dengan negara akan berdampak terhadap nasib penganut kepercayaan dan kelompok agama minoritas yang ada di Indonesia. “Hubungan anatara agama dan negara atau politik agama dan negara yang begitu kuat biasanya menyebabkan nasib penganut kepercayaan dan kelompok agama minoritas menjadi buruk atau terlantar,” ungkap Najib.

Menurut Najib, pemahaman agama di Indonesia sering berada dalam lingkup terbatas yaitu hanya terhadap agama-agama yang diakui saja. “Bahkan barangkali makna agama itu lebih khusus lagi  sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Maka dari itu jika dibahas tentang persoalan tata kelola agama di ruang publik serta pasang surut agama dan negara, kadang kala maknanya terbatas pada agama tertentu. Pembatasan makna tersebut yang seringkali berakibat menafikkan pengikut agama minoritas,” jelasnya.

“Secara ideal, agama dapat dimaknai secara substantif dalam hal ini kedekatan agama dan negara mestinya tak harus berimplikasi negatif terhadap mereka yang berada di luar kelompok agama mainstream. Kelompok dari penghayat kepercayaan, semestinya tidak menjadi korban kedekatan dari politik agama dan negara. Ini dapat terjadi jika pemahaman keagamaan dikeluarkan dari kepentingan politik untuk menaklukan mereka yang dianggap belum beragama,” tegasnya.

Di lain sisi, menurut Najib, bila menilik kepada konstitusi dan juga Pancasila, maka Indonesia akan lebih tepat disebut dengan religiously monotheistic state atau negara yang berdasarkan keyakinan keagamaan monoteistik. “Inilah yang kemudian menyebabkan semua agama yang “diakui”, juga keyakinan dan agama lainnya, menyatakan dalam keyakinan teologisnya bahwa mereka mangakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Agama Hindu yang banyak dikenal bersifat politeistik pada banyak pengikutnya dan juga Agama Buddha yang non-theistik pun di Indonesia lantas menegaskan keyakinannya tentang keberadaan Tuhan yang Tunggal,” ujarnya.

Sebagai informasi, diskusi ini juga dihadiri oleh Jean Couteau, Antropolog, Budayawan, dan kritikus seni, dan Izak Y. M. Lattu, Ketua Pusat Studi Agama, Pluralisme dan Demokrasi (PusAPDem) UKSW, serta dimoderatori oleh Esthi Susanti Hudiono, Ketua Pusat Studi Heritage Nusantara UKSW. (sf/ed:mtr)

_____________________

*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

*) Ilustrasi: Shutterstock

 

 

NO COMMENTS

Exit mobile version