Jakarta, Humas LIPI. Dinamika tentang perkembangan santri selalu berubah dengan adanya kondisi sosial yang berbeda dan akibat perkembangan teknologi yang ada di masyarakat. Istilah New Santri merefleksikan kondisi masyarakat yang berubah, terutama dalam memahami dan mempraktekkan agama. “New Santri adalah bagian dari perubahan dalam masyarakat dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama serta pergeseran otoritas keagamaan dari pola tradisional ke berbagai pola baru”, ungkap Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, dalam webinar dengan tema Diskusi Buku The New Santri, Rabu (21/10).
Fenomena baru ini menunjukkan munculnya tipe Santri Baru yang pemahamannya berbeda dari Santri Lama dalam hal idiologi agama. “Ada yang menganggap bahwa Santri Baru itu lebih islami atau lebih ortodoks pemahaman keagamaannya. Namun bagi Santri Lama, pemahaman kelompok Santri Baru itu dipandang menyimpang dari pola pemahaman keagaman yang benar. Di sinilah kontestasi otoritas keagamaan itu terjadi”, terang Najib. “Inilah, tantangan-tantangan terkini terkait New Santri dan Religious Authority yang perlu di pahami lebih dalam”, imbuhnya.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pemahaman New Santri, telah terbit buku The New Santri: Challenges to Traditional Religious Authority in Indonesia, dipublikasikan 2020: 369 halaman. “Buku tentang The New Santri menawarkan pemahaman-pemahaman yang New tentang keagamaan di Indonesia. Ia juga memberikan pembahasan yang New juga tentang dunia kesantrian yang sekarang ini banyak dipengaruhi fenomena global dan transnasional”, sebut Najib yang juga sebagai salah satu editor buku.
Najib mengatakan, banyak informasi dan data baru yang dikaji dalam buku The New Santri itu yang berbeda dari buku-buku lama dengan tema serupa.. Dicontohkan, kelompok santri punk yang menjadi bagian dari masyarakat perkotaan, kelompok mubaligh baru seperti Ustadz Abdus Somad yang dikaji secara akademik, kelompok selebriti yang juga menjadi santri. “Kelompok ini adalah sebagai Santri Baru dalam komunitas yang kita lihat sekarang, dan belum ada di pembahasan buku-buku lain seperti yang diterbitkan ISEAS tahun 2010, tentang religious authority yang banyak berbicara tentang pesantren.saja”, terang Najib.
“Sekarang kita melihat adanya kelompok-kelompok baru yang berbeda dari yang kita sebut sebagai kelompok mainstream semisal kelompok hijrah, kelompok santri-santri melalui jalur pendidikan dengan mendapatkan ijazah yang modelnya berbeda. Transmisi keilmuwannya banyak dibangun melalui internet”, sebut Najib. Dirinya mengungkapkan, ijazah tersebut diperoleh dari Kyai YouTube atau Habib Google, atau dari guru-guru yang tidak pernah bertemu secara fisik, dan bahkan ada yang mendapatkan ijazah langsung dari Nabi Muhammad atau para wali melalui mimpi, dan sebagainya sebagai justtifikasi otoritas keagamaannya.
Lebih lanjut, pemahaman New terlihat juga pada lembaga pendidikan. Masa lalu, lembaga pendidikan tinggi seperti IAIN meluluskan santri baru yang berbeda dari santri tradisional. “Lembaga pendidikan lainnya, alumni UIN, dulu adalah kita sebut sebagai santri baru sekarang berubah menjadi santri lama”, kata Najib. Kemudian perkembangan saat ini, adanya media sosial, kelompok Halaqah dan liqo, telah melahirkan santri yang berbeda. “Hadirnya kelompok hijrah, adalah contoh kelompok Santri Baru yang berbeda”, rincinya.
Najib mengatakan penjabaran buku ini, selain berbicara perkembangan yang terkait dengan Santri Baru dan pengaruhnya terhadap transnational movement, juga mengangkat tema terkait isu-isu moralitas, penyimpangan moral, serta menurunnya akhlak di masyarakat. (mtr/dsa)
Ilustrasi: Wardah Books
Diunggah oleh
