Al-Quran cetak tertua di Asia Tenggara dan sejumlah manuskrip kuno dipamerkan di Masjid Sultan Mahmud Badaruddin Jayowikramo (Masjid Agung Palembang) dalam Pekan Pustaka Palembang, 22 – 28 April 2019.
Selama sepekan, pameran yang digelar oleh tiga perpustakaan lokal tersebut mengajak masyarakat untuk menelusuri jejak kepenulisan dan perbukuan di wilayah Palembang. Mulai dari era Sriwijaya, Kesultanan, Kolonial, hingga kemerdekaan.
Menariknya, pengunjung bisa melihat naskah tulisan tangan asli di atas kertas Eropa berusia 2 abad. Termasuk mengenal sabak (alat tulis terbuat dari lempengan batu karbon), prasasti batu, serta naskah kulit kayu. Manuskrip bertuliskan arab-melayu yang dipamerkan tersebut memuat kajian sejarah, sosial, budaya, sastra, dan religi.
Ahli Pustaka Palembang, Ahmad Subhan mengatakan, koleksi dokumentasi pustaka ini menunjukkan cukup baiknya budaya literasi Palembang dari zaman ke zaman. Prasasti masa Kerajaan Sriwijaya seperti Kedukan Bukit ataupun Talang Tuwo diakui sebagai bukti kepenulisan sudah dikenalkan raja kepada rakyat kala itu. Prasasti Kedukan Bukit Bukit yang berangka tahun 682 M dianggap sebagai pustaka pertama sekaligus akta kelahiran Kota Palembang. Adapun Prasasti Talang Tuwo (648 M) memuat informasi pendirian Taman Srikestra atau taman perpustakaan.
Lalu, pada masa Kesultanan Palembang sudah ada catatan-catatan cendekiawan yang menjadi pedoman rakyat. Sementara di era Belanda, tepatnya tahun 1848, sudah berdiri percetakan pertama di Palembang. Percetakan tersebut berhasil menerbitkan Al-Quran sebanyak 105 eksemplar. Dicetak menggunakan teknologi cetak batu (litografi) dan diproduksi selama 50 hari.
Kolofon mushaf yang dipamerkan memuat keterangan perihal lokasi dan waktu pencetakan. Diketahui, pencetakan Al-Quran selesai pertama kalinya pada 21 Ramadhan 1267 Hijriyah atau 21 Agustus 1848. “Sudah diakui peneliti sejarah dari Bait Al-Quran Indonesia bahwa cetakan 1848 adalah Al-Quran cetak pertama dan tertua di Asia Tenggara,”ucap Subhan dibincangi di lokasi pameran.
Lebih dari itu, mushaf yang sebelumnya ditulis tangan oleh Syekh Kemas Muhammad Azhari itu ‘ditemukan kembali’, dikaji, lalu dipublikasikan secara internasional oleh peneliti Belanda bernama Jeroen Peeters1. Hal itu menunjukkan kepada dunia bahwa Palembang sudah mengadopsi teknologi cetak sebagai simbol kemajuan. Potensi penyebaran bahan cetakan lintas bangsa pun mulai dilakukan ketika Azhari secara demonstratif menunjukkan proses pencetakan kepada pejabat kolonial di Palembang. Cerita tentang percetakan bumi putera itu kemudian bergema dalam forum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) tahun 1855.
“Kini hanya dua eksemplar yang masih dapat ditemukan di Palembang, satu menjadi koleksi pribadi Ustadz Abdul Azim Amin dan lainnya koleksi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II,” ulas alumni Ilmu Perpustakaan UGM ini.
Selain percetakan tersebut, muncul pula penerbit lain dari percetakan pribumi dari keturunan arab tahun 1862 dan keturunan China tahun 1930. Keduanya masih mencetak tulisan arab-melayu. Hingga tahun 1920 mulai dikenal aksara latin dan buku sejarah pertama tentang sejarah melayu palembang dicetak tahun 1929.
Surat-surat Palembang-Mekkah tempo dulu, Koleksi Kemas Andi Syarifuddin
“Semua dipamerkan di momen perayaan hari buku 2019 untuk memperkenalkan warisan pustaka kepada generasi muda. Yayasan tentu menyambut baik kegiatan ini dan menjadikan perpustakaan masjid sebagai lokasi yang terbuka untuk umum,”kata Ketua I Yayasan Masjid Agung Palembang, Kemas Andi Syarifuddin menambahkan.
Minat Baca Tulis dalam Hikayat Palembang
Subhan mengungkapkan, pada tahun 1866, seorang penulis Belanda bernama J.S.G. Gramberg2 menyerahkan beberapa karya pustaka dari Palembang ke BGKW. Ia membubuhkan catatan bahwa naskah-naskah itu adalah bacaan populer bagi masyakat Palembang.
Gramberg kemudian menulis novel sejarah berjudul “Palembang” pada tahun 1878. Novel ini memuat dialog antara seorang pangeran dengan juru tulisnya. Sang juru tulis melaporkan bahwa masyarakat Palembang punya minat besar pada Hikayat Martalaya karya sang pangeran. Juru tulis itu juga menyatakan bahwa ia mendapat pesanan salinan hikayat dari beberapa orang di Malaka.
Gramberg memang pernah menetap di Palembang selama beberapa tahun, sehingga dapat diduga bahwa penggalan cerita itu ia tulis berdasarkan informasi yang beredar di tengah masyarakat. Dalam kehidupan nyata, sang pangeran dalam novel itu kemudian naik tahta sebagai Sultan Mahmud Badaruddin II. “Sejak koleksi perpustakaan milik sultan tersebar keluar istana, muncul gairah membaca di tengah masyarakat Palembang,”ujar Subhan.
Dari catatan Kratz (1977), diketahui bahwa pada dekade 1860-an pernah ada sebuah perpustakaan yang menyewakan naskah-naskah salinan tangan kepada penduduk Palembang. Kajian lebih lanjut oleh Putten (2016) juga menunjukan bahwa para pelanggan perpustakaan adalah penduduk dari kalangan umum, bukan bangsawan. “Semua percetakan dan perpustakaan itu adalah jejak dinamika keberaksaraan di Palembang yang menarik untuk ditelusuri,”pungkas Subhan.
Daftar Pustaka
- Peeters, Jeroen. 1995. Palembang Revisited: Futher Notes on the Printing Establishment of Kemas Haji Muh ammad Azhari. Belanda. International Institute for Asian Studies (IIAS).
- Perpustakaan Masjid Agung Palembang. 2019. Pekan Pustaka Palembang (Booklet). Yayasan Masjid Agung Palembang.
Yulia Savitri, seorang jurnalis wanita yang berdomisili di Kota Palembang Sumatera Selatan. Alamat email: amalia.3n@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Berita2020.12.04Jurnal Masyarakat dan Budaya, Terbitkan Edisi Transformasi Sosial Budaya
Berita2020.12.02Meninjau Ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai Perjuangan Umat Islam
Opini2020.12.02Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat
Berita2020.08.09Dua Belas Prinsip Pendekatan Ekosistem dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam