Penulis:
Disclaimer: Artikel ini berisi kutipan wawancara penulis dengan Profesor Henny Warsilah (Peneliti PMB LIPI)
***
Pemerintah memberlakukan larangan mudik ke kampung halaman dalam rangka libur Idul Fitri tahun ini, terhitung 24 April lalu. Warga yang dilarang mudik ialah mereka yang berasal dari daerah yang selama ini memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta zona merah Covid-19. Tujuannya baik belaka, mencegah penyebaran Covid 19. Serius, jalan perbatasan antar provinsi, ruas tol, pelabuhan, hingga bandara yang selama ini jadi favorit para pemudik ditutup. Mereka yang ngeyel dan ketahuan melintas hendak mudik segera dihalau untuk balik kanan.
Apa arti nir mudik tahun ini? Bagaimana dampak sosial dan “kultur baru” masyarakat tanpa mudik? Milesia.id mewawancarai pakar sosiologi LIPI Prof Dr Henny Warsilah, Rabu (29/4) malam via perpesanan singkat. Henny, profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) jebolan Sociology di Sorbonne Universite- Faculte des lettres, Perancis, menilai larangan mudik kali ini sudah benar. Di samping ada sesuatu yang hilang dan berubah, ketiadaan mudik juga melahirkan kultur baru. Salah satunya, masyarakat jadi akrab dengan teknologi berbasis digital dan belajar budaya baru sebagai sebentuk survival dalam situasi darurat. Pelajaran apa yang bisa dipetik masyarakat pedesaan dan urban melalui ketiadaan mudik tahun ini? Apa pula pandangannya tentang polemik “mudik vs pulang kampung?”. Berikut petikannya.
Pemerintah melarang warga mudik lebaran tahun ini. Apa tanggapan Anda?
Larangan mudik lebaran saat ini sangat penting karena terkait dengan upaya memutus mata rantai penyebaran virus covid 19. Persebaran virus sudah jelas, yaitu ditularkan antar manusia, sehingga Pemerintah harus tegas mengambil kebijakan tidak boleh mudik. Ini juga terkait prioritas lebih utama untuk tetap hidup. Kita bisa ambil contoh Amerika Serikat. Pada awalnya mereka bersikap acuh terhadap ancaman virus ini dan terlambat melakukan lock down. Akibatnya, mereka dihukum sebagai negara dengan kasus dan angka kematian tertinggi akibat Covid-19. Dari berbagai sumber bisa kita simak, rumah yang mengurus pemulasaraan jenazah di AS sampai tutup karena overload dan takut tertular. Banyak jenazah yang tidak terurus. Jadi ketegasan pemerintah membuat kebijakan adalah kunci utama untuk menyelamatkan bangsa ini, serta perlu didukung kepatuhan masyarakat untuk keberhasilan PSBB.
Tradisi mudik menghidupi kultur dan tradisi sosial masyarakat di berbagai daerah. Apa dampaknya jika mudik ditiadakan?
Dampak dari tidak diperbolehkannya mudik secara sosial, salah satunya adalah terjadinya perubahan bentuk hubungan personal. Dari semula tatap muka langsung dan membutuhkan ruang fisik menjadi pola hubungan nir fisik dan ruang. Digantikan dengan media daring dan teknologi informasi dengan perantara video call, zoom, google meet, dan yang terbaru whatsapp multi video call. Secara kohesi sosial memang tidak akan serta merta mengubah hubungan kekeluargaan dan keeratan hubungan karena ini sudah mengakar, hanya medianya saja yang berubah. Adapun daerah yang paling terimbas akibat pembatasan mudik adalah seluruh Pulau Jawa dan Sumatera karena perantau paling banyak berasal dari dua pulau ini.
Bagaimana dengan eksistensi tradisi yang sudah mengakar di kampung-kampung dan pedesaan, tidak kah akan terdampak?
Eksistensi tradisi kampung saya pikir tidak akan tergerus akibat larangan (mudik) yang hanya bersifat sementara. Kultur yang dihidupi oleh para pemudik, misal bagi-bagi rejeki lewat angpao atau saweran untuk anggota keluarga masih bisa dilakukan dengan cara transfer. Juga berbagi barang-barang hadiah seperti baju dan perabotan bisa dikirim via jasa pengiriman.
Tidak bisa narsis di kampung dong?
Kultur “pamer” untuk menunjukkan diri telah menjadi orang berhasil di rantau bisa dilakukan melalui media daring. Yang menarik, justru orang-orang di desa dan kampung jadi belajar budaya baru, budaya melalui teknologi digital. Misalnya, kirim pesan melalui video, film pendek dan lain-lain. Ini menarik, sementara orang di kota harus mentransformasikan budaya guyub/kohesi sosial yang sebelumnya melalui interaksi fisik, menjadi melalui media sosial dan teknologi. Kondisi darurat ini memaksa kita untuk mendifinisikan ulang tentang keguyuban sosial atau kohesi sosial yang semula dimaknai dengan berkumpul dan bercerita bersama keluarga secara tatap muka dengan teman-teman sekampung. Kini harus dimaknai dalam bentuk berkumpul dan ngobrol via daring memanfaatkan teknologi digital. Ini justru akan membuat orang jadi kreatif dengan produksi video guyub sosial tersebut. Jadi ada transformasi sosial budaya dari budaya bertemu langsung menjadi bertemu via media berbasis teknologi digital.Sebenarnya ini biasa dilakukan di negara-negara luar, dan Indonesia akan membawa guyub sosial itu ke arah teknologi digital ke depannya.
Budaya apa yang “khas mudik”, hidup dan dihidupi oleh kultur mudik?
Budaya yang khas akibat tradisi mudik antara lain nyekar ke makam leluhur dan orang tua yang sudah meninggal, silaturahim, makan bareng, bercerita tentang kota dan kesuksesan di kota, reuni dengan teman-teman sekolah,kampus, reuni keluarga besar (trah), mengunjungi tempat favorit dan dikangeni, juga gotong-royong kampung.
Kultur baru seperti apa yang akan terbentuk jika mudik ditiadakan?
Merujuk ke jawaban awal, secara sosiologis akan terbentuk kultur baru, misalnya guyub sosial via daring atau medsos. Maka penting kita mendefinisikan ulang kata guyub sosial itu. Kemudian akan melahirkan kultur kreatif. orang akan memanfaatkan teknologi digital utk membuat fitur-fitur kreatif berbasis budaya, berupa nyanyian, kesenian dll. Juga menyentuh dimensi ekonomi. Misalnya, hasil panen desa bisa dijual via online. Ini momentum orang desa berkomunikasi via daring, sehingga jarak dan ruang tidak menjadi penting lagi. Jika kita selama ini mengamati, kota berevolusi akibat revolusi teknologi dan serbuan migran ke kota. Sekarang, saatnya desa berevolusi, sekat space n spatial tidak penting lagi. Desa menjadi terbuka untuk diakses orang kota bahkan dapat diakses dari mancanegara berkat kecanggihan teknologi digital. Jika kita memahami teori Henry Levebre, seorang sosiolog Perancis: “Orang yang mampu memproduksi ruang dia yang akan sukses”. Nah, ini kesempatan bagi orang-orang di pedesaan untuk memproduksi ruangnya. Misalnya dengan memasarkan kesenian, budaya, dan hasil buminya. Kemudian, dari teori perkotaan, misalnya smart city, yang sering dianalogikan dengan kota digital yang tujuannya membentuk ekonomi yang smart, environtmen, healthy building, transportation, people dan government yang smart. Maka smart city bisa ditransformasikan menjadi smart village, desa akan kian berkembang dan bisa menghidupi diri sendiri jika smart village telah terbentuk. Sebagai contoh Banyuwangi dan kabupaten di Bandung, berhasil dan mendapat award smart village dan terkenal ke mancanegara.
Tradisi mudik memang bukan monopoli Nusantara. Di Tiongkok, mudik oleh puluhan dan ratusan juta orang ke kampung halaman dilakukan saat Imlek. Apa pandangan Anda terhadap tradisi mudik dalam kultur yang relatif berbeda itu?
Ada konvergensi sosiologis di antara dua tradisi mudik (Imlek vs Lebaran), dan sebetulnya keduanya sama. Sama-sama mudik, pulang kampung untuk bertemu keluarga di kampung. Membagi hasil kerja di kota untuk keluarga di kampung serta memberi penghormatan untuk keluarga dan leluhur. Hanya saja Imlek untuk etnis Tionghoa, ‘lebaran’ versi agama dan tradisi mereka. Adapun ‘mudik’ khas Melayu atau Nusantara. Secara sosiologis tidak ada yang membedakan, menandakan terjadinya pergerakan arus orang, barang dan uang secara masif dan luas. Sejumlah elemen yang membedakan antara “mudik imlek dengan mudik lebaran” ditinjau dari perspektif sosiologis rasanya tidak ada kecuali jenis lebaran, ritual dan suguhannya. Pada Imlek orang akan menyerbu kelenteng, bakar hio dan berbagi uang sebagai tanda sukses. Makan dodol Imlek dan membagi angpao bagi saudara hingga pengemis. Lebaran, kental dengan tradisi sholat ied di mesjid atau lapangan setelah satu bulan berpuasa Ramadhan, makan ketupat opor, bersalamana dan bagi uang untuk saudara, anak-anak, dan kalangan tidak mampu.
Larangan mudik ternyata direspons beragam oleh publik. Sejumlah entitas masyarakat pilih sembunyi-sembunyi mudik. Fenomena apa in?
Ya, karena mereka belum paham tentang resiko persebaran virus Covid-19 yang demikian cepat dan mematikan. Terlalu memaksa diri, belum paham jika mudik dilarang. Atau mereka adalah pekerja musiman yg hanya menetap sementara di kota untul bekerja dan mengadu nasib. Ketika semua di lock down tempat kerja ditutup atau mereka diputus hubungan kerja, dan terpaksa harus pulang kampung karena tidak mungkin tinggal di kota tanpa penghasilan dan biaya hidup yang tinggi. Akhirnya cara apapun dilakoni untuk mudik, termasuk belum lama, pemudik bersembunyi dalam bak mobil pick up yang ditutupi terpal. Tepergok juga, sih..
Apa pandangan Anda terkait polemik antara “mudik vs pulang kampung”?
Seharusnya tidak perlu menjadi polemik. Jelas mudik secara harfiah dilakukan oleh penduduk yang menetap dan punya rumah di kota. Ini pada umumnya dilakukan setahun sekali. Sedangkan pulang kampung pada umumnya dilakukan oleh pekerja migran yang biasa sewa rumah dan indekos dan bisa dilakukan beberapa kali dalam setahun tergantung kebutuhan. Seperti tukang sol sepatu dan sayur keliling ketika dalam seminggu tidak muncul, dia akan bilang “..pulang kampung dulu, Bu, ada keperluan keluarga”. Dan saat mau masuk bulan Ramadhan, dia berkeliling ke beberapa rumah untuk menagih hutang, “..maaf ya, ibu-ibu tolong dibayar sekarang hutangnya karena saya mau mudik dan lebaran di kampung” dst. Harusnya, energi kita tidak dihabiskan untuk membicarakan dua kata di atas. Kita harus fokus dan banyak berdiskusi ihwal cara memerangi virus covid-19 ini dan mencari atau membuat obatnya. Terlebih ini bukan bencana untuk Indonesia saja, tetapi bencana bagi banyak orang, bencana umat manusia. Dan tidak terkait dengan agama/kepercayaan dan etnis, Pilpres atau Pilkada. Saatnya kita sadar dan bekerja sama untuk memeranginya bukan malah memperburuk situasi dengan saling bertarung dan berkomentar negatif di sosmed.
Menurut Anda, pandemi Covid-19 kali ini momentum untuk apa?
Saatnya kita harus kembali menjaga hutan-hutam, perairan, pesisir dan pulau-pulau kita dan segala makhluk hidup di dalamnya dari perusakan dan keserakahan manusia. Mungkin virus itu butuh ruangan spatial untuk habitatnya hidup. Jika kita merusak ruang dan spatial mereka, ya kita akan menuai bencana paling dahsyat. (*)
***
Artikel asli: https://milesia.id/2020/04/29/tanpa-mudik-momentum-orang-desa-berevolusi-ciptakan-ruang/
Ilustrasi: Milesia
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah