[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 4, Januari 2022]
“Superhero” dan Vigilantisme di Indonesia
Oleh Gilang Mahadika (mahasiswa magister Antropologi, Universitas Gadjah Mada)
Banyak orang, terutama generasi muda, menggemari kisah-kisah pahlawan super (super hero). Setidaknya ini ditunjukkan dengan berjubelnya penonton di gedung bioskop saat film-film pahlawan super seperti Ironman, Spiderman, Captain America, Thor, The Hulk, dan sejenisnya diputar. Di samping itu, tidak sedikit pula orang yang mengikuti kisahnya dengan membaca komik-komiknya. Kiranya menjadi menarik bila membawa peran pahlawan super dalam bingkai kehidupan nyata.
Aksi-aksi yang dilakukan oleh kebanyakan pahlawan super adalah aksi kekerasan. Maksud dari kekerasan di sini adalah tindakan nonverbal yang terkadang dapat melukai fisik orang di sekitarnya. Namun, kekerasan di sini juga dapat dibenarkan dan sifatnya situasional, tergantung dari suatu peristiwa, waktu, dan tempat kejadiannya. Ada kalanya pahlawan super dalam membela kebenaran itu didukung oleh negara (pemerintah). Namun, ada kalanya pula mereka bekerja untuk diri mereka sendiri. Dukungan atau tanpa dukungan dari pemerintah ini juga menjadi ciri khas praktik vigilantisme yang tidak lain bertujuan mempertahankan stabilitas tatanan sosial-politik yang sudah ada dengan cara ‘main hakim sendiri’ (Mee, et al, 2005: 19; Rosenbaum & Sederberg, 1976: 3–4). Oleh karena itu, pahlawan super dapat dibingkai dalam kajian dan permasalahan vigilantisme.
Mungkin di antara kita sudah sangat familiar dengan karakter pahlawan super yang diciptakan oleh DC Comics, seperti Batman dan Robin Hood (karakter dalam seri Marvel Comics). Kedua pahlawan super tersebut justru tidak bekerja untuk pemerintah seperti kepolisian dan pihak berwenang lainnya. Baik Batman maupun Robin Hood dipandang sebagai pahlawan (hero) karena membela rakyat kecil. Namun, terkadang dalam kacamata hukum, tindakan mereka dapat dianggap ilegal, bahkan kriminal. Smith (2019: 4–8) memaparkan bahwa kemunculan vigilantisme dikarenakan adanya ‘kegagalan’ negara dalam menyediakan ketertiban, perlindungan, dan lemahnya kekuatan hukum untuk melindungi warganya sendiri. Sehingga masyarakat secara moral berinisiatif menegakkan keadilan dengan caranya sendiri. Meskipun demikian, hal yang perlu digarisbawahi adalah vigilantisme tidak berupaya mengubah tatanan sosial layaknya terorisme yang ingin membangun tatanan sosial baru (Mee, et al, 2005: 27), melainkan mereka ada untuk mempertahankan tatanan sosial yang sudah ada.
Karakter Robin Hood menarik untuk dikaji terutama sebagai sosok pahlawan yang bermoral di satu sisi, tapi juga dilematis di sisi yang lain. Secara umum, kita ketahui bahwa Robin Hood termasuk ke dalam kategori cerita legenda—folklor Inggris—sebagai seseorang yang berani melanggar hukum demi kepentingan rakyat kecil, dengan cara mencuri barang-barang berharga orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Karya lama Eric Hobsbawm (1981), yang berjudul Bandits, menunjukkan bahwa kemunculan para bandit di tengah masyarakat adalah gerakan perlawanan atau resistensi karena ketidaksetaraan yang dialami oleh mereka yang dirugikan oleh ekonomi kapitalisme. Karakter Robin Hood di sini menjadi menarik ketika ia adalah perampok yang tidak menginginkan adanya eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin. Ia juga sebagai simbol ekspresi kebebasan dari penindasan dan eksploitasi karena kapitalisme. Oleh karena itu, karakter Robin Hood juga disebut sebagai vigilante karena berusaha melindungi orang lemah dengan menegakkan tatanan sosial yang dirasa tidak adil bagi mereka yang dirugikan.
Di Indonesia juga terdapat kisah serupa layaknya Robin Hood, yakni Si Pitung. Ia digambarkan sebagai tokoh legendaris yang muncul terutama di zaman kolonial. Dalam van Till (2011: 119) si Pitung sebagai sosok pahlawan dalam kisah tipikal bandit seperti yang digambarkan Hobsbawm, sebuah kisah pahlawan yang berusaha mencuri kekayaan orang elite dan membantu masyarakat miskin. Kisah populer si Pitung dari Betawi, sebagai penduduk asli Jakarta secara umum melakukan tindakan di luar jalur hukum di wilayah Batavia dan Ommenlanden. Beberapa laporan pemerintah kolonial, para pelaku bandit termasuk si Pitung berlatar belakang masyarakat petani (van Till, 2011: 71) yang memperoleh ketidakadilan dari pemerintah karena merampas kepemilikan mereka untuk kebutuhan perkebunan privat skala besar (van Till, 2011: 32). Maka dari itu, sosok si Pitung menjadi ekspresi keresahan, penuntut dendam, dan pejuang keadilan bagi para petani. Istilah yang digunakan oleh Hobsbawm dalam melihat Pitung di Batavia adalah ‘bandit sosial’, dalam artian bahwa para petani yang melanggar hukum dianggap kriminal oleh penguasa, tetapi bagi masyarakat petani sendiri ia dipandang sebagai pahlawan, jagoan, dan pemimpin kebebasan (Hobsbawm, 1981: 20).
Karakter Batman (manusia kelelawar) juga demikian, dan cukup akrab di sekitar kita. Tindakannya juga dapat dianggap sebagai vigilante karena ia mencoba menegakkan keadilan dengan cara-cara yang ilegal, tidak melalui proses hukum. Kemunculan pahlawan super, seperti Batman, juga wujud dari keresahan masyarakat dalam melihat institusi kepolisian yang seringkali gagal dalam menangkap para penjahat di suatu wilayah. Ditambah, praktik korupsi yang bahkan dapat ditemui dari kalangan atas, para elit, birokrat pemerintah hingga struktur paling bawah tatanan sosial di Kota Gotham. Oleh karena itu, kemunculan Batman menjadi jawaban atas keresahan masyarakat. Namun, Batman sabagai vigilante akan berbeda kasus dengan Superman. Batman cenderung menjadi bulan-bulanan oleh pemerintah, karena ia dianggap ‘main hakim sendiri’ dalam memberantas kejahatan. Di sisi lain pada sisi Superman, ada kalanya justru ia dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk membasmi kejahatan. Oleh karena itu, didukung atau tidak didukungnya pemerintah menjadi faktor penting dalam kajian vigilantisme. Batman dan Superman tetap dipandang menjalani praktik yang ilegal, namun tindakannya tetap tidak lepas dari campur tangan pemerintah yang dapat melegitimasi dan membenarkan tindakan ilegal mereka.
Melihat kasus di Indonesia, permasalahan vigilantisme akan menjadi kajian yang cukup berlimpah dan menarik. Vigilantisme di Indonesia juga sangat sarat nilai-nilai sosiokultural yang ada di masyarakat. Misalnya pada kegiatan ronda di suatu perumahan, sejumlah warga hadir berpatroli pada malam hari untuk melindungi warga perumahan dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian, gangguan ketertiban dan sebagainya. Namun, terkadang bentuk-bentuk gangguan atau perilaku menyimpang semacam itu kemudian dilaporkan ke pihak yang berwenang (kepolisian). Apabila melihat lebih jauh dari sejarah ronda rupanya tidak lepas dari peninggalan tindakan opresif dari rezim otoritarian Orde Baru. Terutama di tahun 1980-an ditunjukkan naiknya angka kriminalitas yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, mendorong pemerintah Soeharto untuk membangun suatu pengawasan ketat dengan melenyapkan dan menertibkan orang-orang di tingkat paling bawah, seperti membangun operasi paramiliter yang seringkali disebut sebagai petrus (penembak misterius) dan siskamling (sistem keamanan lingkungan). Petrus bertujuan untuk melenyapkan orang-orang yang dianggap kriminal oleh pemerintah, terutama di kota-kota besar, sedangkan Siskamling pertama kali dikenalkan oleh kepolisian untuk mengkoordinasi para peronda untuk menjaga keamanan (Barker, 1998: 8).
Namun, di masa-masa awal reformasi setelah lengsernya Orde Baru, muncul teror yang terutama ditujukan pada tokoh-tokoh agama yang terancam dibunuh oleh mereka yang disebut dukun santet dan ninja (Barker, 1998: 39–40). Karena teror ini, di tahun 1998, kegiatan ronda pun mulai digiatkan lebih ketat. Ironisnya, penggiatkan aktivitas ronda rupanya memiliki dampak yang signifikan ditandai menurunnya tindakan ke jalur hukum untuk mendukung penegakan keadilan dalam institusi kepolisian. Mereka pun mulai bertindak ‘atas nama kepolisian’ dengan mengambil peran sebagai penjaga lokal yang ‘main hakim sendiri.’ Terkadang dapat juga terjadi mobilisasi kepada orang-orang untuk membenarkan “hukuman massa”, dalam kasus ini beberapa petugas ronda sempat membunuh mereka yang disangka sebagai ninja, hingga membuat kepolisian mengeluh keberadaan ronda yang mulai tidak dapat diatur (Barker, 1998: 41). Tindakan “preman” yang dilakukan orang-orang yang tengah meronda juga tidak lepas dari program Siskamling, di mana terjadinya negosiasi hubungan antara pemangku kebijakan bekerja sama dengan dunia ‘kriminal’ (Bertrand, 2004: 339) atau ilegal. Bahkan ada pula kemunculan para pecalang sebagai penjaga keamanan di saat terdapat acara-acara adat besar di Bali, dan kehadiran mereka seolah membantu polisi dalam menjaga ketertiban (Mee, et al, 2005: 25).
Dari contoh tersebut kemudian terlihat bahwa istilah legal dan ilegal menjadi penting untuk didefinisikan kembali. Legal biasanya mengacu pada pemerintah yang mendorong penegakan hukum. Namun, di sini pemerintah rupanya dapat menjalin hubungan secara ilegal dengan komunitas-komunitas yang terbangun secara informal. Terutama di masa rezim Orde Baru, aktivitas ilegal juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Ilegalitas negara menjadi terlihat jelas dari upaya mereka menjalin kerja sama dengan masyarakat demi menjaga tatanan sosial yang sudah ada, terkadang melalui jalur-jalur kekerasan yang tidak langsung dari ‘tangan’ pemerintah, seperti dibentuknya petrus (Nooteboom, 2011: 218) dan Siskamling sebagai keterlibatan polisi dalam aktivitas ilegal. Oleh karena itu, pahlawan super layaknya Superman mencerminkan posisi dirinya yang ilegal dalam menjalankan aktivitasnya, namun dapat bekerja sama dengan pemerintah yang dapat berdiri di dua tempat, legal dan ilegal. (Editor M. Luthfi Khair A.)
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Barker, J. (1998). State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Suharto’s New Order. In Indonesia (Issue 66, pp. 6–43). Cornell University Press: Southeast Asia Program Publications at Cornell University. https://www.jstor.org/stable/3351446.
Bertrand, R. (2004). “Behave Like Enraged Lions”: Civil Militias, the Army and the Criminalisation of Politics in Indonesia. Global Crime, 6(3–4), 325–344. https://doi.org/10.1080/17440570500274174
Hobsbawm, E. (1981). Bandits. Pantheon.
Mee, Youn Cho, et al. (2005). Kekerasan Vigilantism dalam Tatanan Sosial: Sebuah Usulan Kerangka Analisis Kekerasan dari Kasus Amerika, Afrika, dan Indonesia. Humaniora, 17(1), 17–30.
Nooteboom, G. (2011). Out of wedlock: Migrant-police partnership in East Kalimantan. In E. & G. van K. Aspinall (Ed.), The State and Illegality in Indonesia. KITLV Press.
Rosenbaum, H. Jon & Sederberg, P. C. (1976). Vigilantism: An Analysis of Establishment Violence. In H. J. & P. C. S. Rosenbaum (Ed.), Vigilante Politics. University of Pennsylvania Press.
Smith, N. R. (2019). Contradictions of Democracy: Vigilantism and Rights in Post-Apartheid. Oxford University Press.
van Till, M. (2011). Banditry in West Java 1869-1942. NUS Press.
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Gilang Mahadika adalah adalah mahasiswa magister Antropologi, Universitas Gadjah Mada. Di tahun 2019, Ia sempat melakukan penelitian lapangan di Papua Barat mengenai kearifan lokal dan pemberdayaan perempuan di sektor pertanian ladang berpindah. Saat ini, tesis yang tengah Ia dalami adalah seputar kajian migrasi, akses sumber daya air, dan kewarganegaraan di kota Yogyakarta. Penulis dapat dihubungi melalui email gilangmahadika@mail.ugm.ac.id
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial