Jakarta, Humas LIPI. Budaya populer atau yang biasa disebut budaya pop adalah budaya yang paling banyak dinikmati masyarakat. Berdasarkan studi kajian budaya, pemaknaan terhadap budaya pop adalah budaya massa yang dikonsumsi oleh masyarakat umum hingga mempraktekkan kebudayaannya. Budaya ini lebih dikenal karena adanya pengaruh media massa dan berbagai faktor lainnya. “Studi budaya pop ini justru tidak melihat budaya adiluhung, yaitu budaya kelas tinggi, kelas elit. Namun, lebih melihat bagaimana masyarakat mempraktekkan budayanya dan bagaimana mengkonsumsi terkait dengan budaya pop itu sendiri”, tutur Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB) LIPI, Wahyudi Akmaliyah, yang juga Alumni Australia Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP), dalam acara Instagram live series AIMEP, pada Sabtu (6/6) lalu.
Menurut Wahyudi, budaya pop itu menjadi penting dan menarik karena merupakan realitas dari masyarakat dan cara atau bagaimana masyarakat mengkonsumsi budaya tersebut. “ Walaupun dalam struktur ilmu sosial, baik secara akademik maupun non akademik, biasanya tidak masuk dalam tempat ilmu sosial secara kuat”, sebutnya. Dirinya mencontohkan kultur ilmu sosial khususnya di Indonesia didominasi oleh pengetahuan-pengetahuan yang lebih maskulin, seperti kekerasan, militer, HAM, termasuk advokasi dan penegakannya.
Cara pandang tersebut penting untuk dikaji dan bagaimana ilmu tersebut di konstruksi berdasarkan kajian budaya. “Walaupun menurut sebagian masyarakat menyebutnya sebagai ‘banal’, biasa, tidak dianggap sehingga jarang di kaji,” terang Wahyudi. Menurutnya, padahal itu menjadi kajian yang penting. Misalnya, Korean Pop (K-Pop) bagi sebagian orang Indonesia terkesan aneh. Namun, kalau kita lihat studi-studi pop di Asia menjadi bagian dan bahasan yang sangat penting, bagaimana resepsi budaya K-Pop ini di Taiwan, Malaysia, Singapore, bahkan di Asia Tenggara, Eropa dan Amerika. “ Sehingga budaya pop ini sangat diminati dan dikonsumsi orang banyak, hal ini menjadi kajian yang sangat serius dan menarik perhatian”, terang Wahyudi.
“Durasi berlakunya budaya popular tergantung pada masyarakat yang mengkonsumsinya. Korean Drama (K-Drama), awalnya sekitar tahun 2000an di Indonesia dianggap hanya sebuah hiburan saja yang tidak berlangsung lama. Tetapi, kalau dilihat perkembangannya, ternyata studinya semakin komersil, dan bahkan K-Drama yang diproduksi di Korea itu menjadi bagian diskursus penting yang menjadi identitas negara tersebut”, kata Wahyudi. Hal ini juga menjadi jalan sebagai diplomasi lunak ke berbagai negara, dan secara tidak langsung menerima produk-produk dari Korea tanpa ada resistensi.
Selanjutnya, Wahyudi mengatakan hadirnya media sosial seperti Tiktok, Facebook, Instagram, Youtube, dan sebagainya, dapat menciptakan ruang demokrasi dan ruang kesetaraan bagi individualisme tampil dan membangun followers untuk ketenaran secara individu. Nah, apakah budaya media sosial ini sangat mempengaruhi budaya pop di Indonesia?. Tentunya, sangat mempengaruhi, karena budaya pop menjanjikan individualisme dalam kebebasan brekreasi hingga terkenal dan menjadi makro selebritas. “ Di sini ada teori ‘Makro Selebritis’, dimana ada individu yang tumbuh dan terkenal di era media sosial, yang tidak ada kaitannya dengan televisi atau media lama sebelumnya”, tutup Wahyudi. ( dsa/ed.mtr, rann001)
Ilustrasi: Pop Hari Ini
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah