Bahkan, bukan kali pertama ini konflik dua negara itu terjadi dan memanas. Sebelumnya ada beberapa masalah yang mengganjal hubungan nerawan serumpun itu seperti kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dianiaya di negeri jiran itu, seni budaya Indonesia yang diaku Malaysia, dan masalah perbatasan antarnegara.
Lalu, bagaimana menyikapi masalah tersebut? Apakah dengan mengangkat senjata dan konfrontasi langsung dengan negara tetangga akan menyelesaikan masalah?
Pertahaan dan keamanan nasional di Indonesia bukan melulu ditangani dengan kekuatan angkatan bersenjata, seperti menambah jumlah serdadu atau memperbaharui persenjataan dengan teknologi mutakhir. Akan tetapi, pertahanan dan keamanan juga membutuhkan aspek sosial dan budaya dalam penanganannya. Serta, pemerintah dan masyarakat yang saling menjunjung demokrasi dan keberagaman masyarakat akan meningkatkan kedaulatan negara yang berimbas pada jaminan pertahanan dan keamanan nasional.
Pendapat itu mengemuka dalam seminar nasional bertema Pertahanan Nasioanal dari Perspektif Sosial Budaya, di kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (25/8). Pembicara kunci adalah Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro. Pembicara yang juga hadir dalam seminar itu adalah pengamat militer Salim Said, Peneliti LIPI Jaleswari Pramodhawardhani dan Mochtar Pabottinggi, Dirjen Potensi Pertahanan Budi Susilo Soepandji, dan Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi.
Purnomo Yusgiantoro mengatakan, telah terjadi pergeseran dalam keamanan dan pertahanan, yakni dari hard power dengan kekuatan senjata menjadi soft power dan smart power. Ia mengatakan, untuk menyelesaikan masalah pertahanan dan keamanan dengan meningkatkan kemampuan dan kecerdasan berdiplomasi dari sumber daya manusianya. “Dulu ancaman militer, sekarang ancaman dari cybercrime, organisasi dan perorangan. Aktornya bisa negara atau non-negara, tradisional, atau non-tradisional,” tuturnya.
Ia mengatakan, saat ini sistem pertahanan negara cenderung prokesejahteraan. Ia tidak ingin menyelesaikan masalah keamanan dan pertahanan seperti pada tahun 1965 yang menguatkan angkatan bersenjata, tetapi rakyat menjadi miskin. sebaliknya, ia juga tidak ingin perekonomian meningkat, tetapi kekuatan pertahanan diabaikan. Prokesejahteraan yang dilakukan pemerintah dalam lingkungan Kementerian Pertahanan antara lain dengan memperhatikan kesejahteraan prajurit di perbatasan, di pulau terluar, dan di daerah sedikit penduduk. Caranya dengan memberikan tunjangan khusus dan menaikan gajinya hingga 150 persen.
Sri Palupi mengatakan, era globalisasi berpotensi menghilangkan sekat-sekat informasi yang difasilitasi teknologi komputer berupa internet. Namun,globalisasi itu juga akan menjadi ancaman sebagai musuh yang tidak tampak. “Karena musuh itu ada di dalam diri sendiri.” katanya.
Ia menjelaskan, ancaman di masa lalu pada saat perang dingin kekuasaan terdapat pada negara. Sedangkan pada masa globalisasi kekuasaan pada pasar yang menyebabkan masyarakat dan negara saling mempengaruhi. Akibatnya, globalisasi beresiko pada perubahan yang tidak bisa dihindarkan, seperti perang antar-masyarakat berabasis sara, dan kekuasaan negara dilucti dengan kekuatan pasar.
Untuk meminimalkan risiko ancaman pertahanan nasional itu, Sri Palupi menyampaikan langkah-langkah yang bisa dilakukan. Langkah-langkah dimaksud antara lain memperluas kesadaran kolektif, pengakuan jujur bahwa kapasitas pemerintah terbatas, dan memperkuat basis keberagaman komunitas. Selain itu, untuk meningkatkan pertahanan nasional itu masyarakat dan pemerintah belajar dari alam, yakni diversifikasi alam dengan mempertahankan keberagaman,” katanya lagi. Selain itu, pertahanan nasional itu juga bisa dilakukan dengan memperkuat mata rantai terlemah, yaitu desa.
Sementara itu, Salim Said yang pengamat militer mengatakan, sosial budaya penting dalam menyiapkan pertahanan nasional. Bahkan, dalam sosial budaya itu masyarakat bisa berperan aktif dalam pertahanan nasional. Misalnya, menjalankan demokrasi secara konsekwen akan menumbuhkan jiwa nasionalis rakyat dan meningkatkan ketahanan ekonomi. Jika itu terpenuhi, “Rakyat sebagai warga negara akan siap mati untuk bangsanya.” katanya.
Judul : Sosial-Budaya untuk Human Security
Sumber : Warta Kota
Tautan Gambar: http://arsavin666.blogspot.com/2011/08/budaya-gotong-royong.html
Jenis : Berita
Tanggal : 2 September 2010
Penulis : –