[Kolom No.1, 2022]
Oleh Riwanto Tirtosudarmo (Peneliti Sosial Independen)
Imajinasi saya tentang Soedjatmoko saya kira keliru. Sosoknya yang tergambar sebagai intelektual yang berumah diatas angin, begawan yang selalu merenung, membaca, berpikir dan menulis di ruang perpustakaannya yang nyaman yang penuh buku, adalah citra yang salah. Pada tanggal 10 Januari 2022 yang lalu tepat hari ulang tahunnya yang ke-100, oleh ketiga putrinya (Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, Galuh Wandita), diluncurkan sebuah website yang bernama www.membacasoedjatmoko.com berisi sekitar 300-an teks asli yang pernah ditulis oleh Soedjatmoko semasa hidupnya (1922-1989). Berselancar dalam ratusan teks karya tulis Soedjatmoko itu saya disadarkan bahwa teks-teks itu ditulis tidak sekedar sebagai hasil perenungannya, namun lebih merupakan refleksi dari keterlibatannya dalam berbagai kegiatan yang dilakukannya di masyarakat sepanjang hayatnya.
Soedjatmoko lahir tahun 1922 dan dibesarkan oleh orangtuanya yang hidup berpindah-pindah karena pekerjaan bapaknya sebagai seorang dokter pemerintah. Lingkungan keluarga dan milieu yang membesarkan menjadikannya kosmopolitan dan terbuka sejak usia muda. Ada semacam kombinasi yang menarik antara lingkungan priyayi Jawa yang dunianya cenderung kedalam dan lingkungan kosmopolitan dan keterbukaannya terhadap perubahan sosial politik dari masyarakat dimana dirinya berada. Membaca tulisan-tulisannya kita dibawa bertamasya pada sebuah dunia yang hampir tanpa batas dimana Sodjatmoko seperti keluar masuk antara kenyataan sosial-politik yang diarunginya dan refleksinya. Sebagian besar merupakan upayanya untuk memahami kerumitan kenyataan sosial politik yang dijalani dan dilihatnya serta pilihan-pilihan tindakan yang menurut anggapannya dapat menjadi jalan keluar dari dilema-dilema yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya.
Sejarah hidup Soedjatmoko adalah sejarah seorang yang selalu terlibat dalam apa yang direfleksikannya sebagai dilemma-dilema yang selalu dihadapi oleh masyarakatnya, dari bangsanya sendiri maupun dunia. Kemampuannya untuk melihat kedalam sekaligus keluar, seperti yang sekarang bisa kita baca dari teks-teks yang ditulisnya, memperlihatkan keberaniannya untuk menjelajah dan masuk ke seluk-beluk berbagai persoalan yang kadang-kadang, bagi saya setidaknya, merupakan hal-hal yang kelihatannya remeh, seperti transmigrasi; atau sesuatu yang tampak muskil seperti mistisisme. Penjelajahan Soedjatmoko, seperti masuk dalam dunia yang tak bertepi, tapi itulah dunia Soedjatmoko, dunia yang tidak mungkin kita bayangkan karena begitu luas dan dalamnya. Mencoba mengenal Soedjatmoko, hampir pasti kita hanya bisa mengenali satu atau dua sisinya saja secara terbatas dan tidak mungkin memahami Soedjatmoko secara keseluruhannya.
Jika melihat rentang waktu penulisannya, tulisan tertua dalam website yang baru diluncurkan itu ditulis tahun 1948, dan yang terakhir tahun 1989. Tulisan pertama yang tertampil dalam website itu adalah tulisan dengan judul singkat “Harvard Speech” yang dibacakan pada tanggal 27 April 1949 ketika menjadi mahasiswa di Littauer School of Public Administration Universitas Harvard, saat itu Soedjatmoko baru berumur sekitar 27 tahun. Tulisan terakhir beliau di website itu berjudul “Menghadapi Masa Depan: Renungan Tentang Masalah Sosial-Politik, Budaya dan Lingkungan Internasional” ditulis di Jakarta 12 November 1988. Kurang lebih setahun sebelum beliau wafat dalam usia 67 tahun. Tulisan-tulisan dalam website itu selain dikelompokkan kedalam tema-tema (Pembebasan manusia, pembangunan dan politik kebudayaan; Tatanan transnasional, transformasi global, dan universalisme; Ilmu pengetahuan, teknologi dan masa depan; dan Jejak Langkah), dikelompokkan menurut periode penulisan (1948-1966, 1967-1979, 1980-1989), dan konteks kewilayahan (Indonesia, Asia dan Global). Pengelompokan seperti ini membantu pembaca memudahkan pencarian tulisan dari Soedjatmoko yang ingin dibacanya.
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan pendek ini, Soedjatmoko bukanlah tipe intelektual yang bersarang di menara gading atau berumah diatas angin, melainkan pemikir yang tulisan-tulisannya merupakan refleksi dari keterlibatannya di dunia nyata di tengah pergolakan sosial politik yang sedang berlangsung di sekitarnya. Keterlibatannya dalam proses sosial politik yang hampir selalu dilihatnya sebagai situasi yang hampir selalu dilematik, konfliktual bahkan krisis itulah yang mendorongnya untuk menuliskan renungannya kedalam tulisan-tulisan yang kemudian diterbitkan maupun yang sekedar dibacakan dalam berbagai forum atau bahkan yang disiapkan hanya untuk konsumsi lingkungan terbatas. Terdokumentasikannya dengan baik tulisan-tulisannya seperti tertampil dalam website yang baru diluncurkan itu juga mencerminkan kedisiplinannya untuk selalu menyimpan arsip dari tulisan yang telah dibuatnya.
Dalam tulisan pendek ini, sekedar sebagai ilustrasi dari penilaian bahwa Soedjatmoko adalah pemikir terlibat, dipilih empat tulisan sebagai contoh yang mendukung argumentasi penilaian itu. Tulisan pertama dan kedua adalah tulisan yang telah disebutkan tadi, tulisan termuda (1949) dan tertua (1988); dan dipilih dua tulisan yang mungkin bagi banyak pengagum Soedjatmoko sebagai dua hal yang tampak sepele, yang pertama tentang transmigrasi (“Masalah Transmigrasi: Beberapa Pemikiran”) dan yang kedua tentang mistisisme (Javanese Misticism). Tulisan tentang transmigrasi merupakan sebuah nota dengan kop Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat, tanggal 4 Maret 1970, sementara Javanese Misticism ditulis pada tahun 1980 sebagai makalah yang tampaknya ingin disampaikan pada sebuah komunitas keagamaan tertentu. Tulisan tentang mistik Jawa ini ditulis dalam bahasa Inggris (13 halaman) dan hampir di setiap kalimatnya terdapat koreksi terhadap penggunaan kata yang dianggap belum tepat. Melihat teks ini kita menyaksikan bagaimana Soedjatmoko berpikir dengan keras untuk menyampaikan dengan sangat hati-hati apa yang ingin dikomunikasikan kepada pembacanya. Melihat belum adanya semacam kalimat penutup teks ini tampaknya memang masih belum selesai ditulisnya.
Tulisan pertamanya yang disampaikan di Universitas Harvard merefleksikan kuatnya keterlibatan dirinya dalam proses mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negerinya dari upaya Belanda untuk kembali menjajah. Seperti kita tahu Soedjatmoko adalah salah seorang yang berada di seputar Perdana Menteri Indonesia yang pertama Sutan Sjahrir yang melakukan diplomasi di kancah internasional untuk memperoleh pengakuan atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Membaca tulisan pertama Soedjatmoko muda ini sudah tergambar dengan jelas bagaimana dia melihat proses dekolonisasi yang terjadi di negerinya sebagai representasi dari berlangsungnya perubahan politik global setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Soedjatmoko muda telah menganalisis melalui kacamatanya sendiri dilema-dilema yang sedang dan bakal dihadapi oleh tumbuhnya nasionalisme, baik di negerinya sendiri maupun di negeri-negeri lain sekaligus apa implikasinya bagi pergeseran politik dunia.
Pada tulisan yang kedua tentang transmigrasi terlihat keterlibatannya yang dalam terhadap upaya pemerintah negerinya untuk mengatasi persoalan yang telah lama menjadi perhatiannya; persoalan demografi, kemiskinan, urbanisasi dan penciptaan lapangan kerja; persoalan-persoalan tersebut yang dimatanya sangat kongkrit dan perlu dicari jalan keluar untuk mengatasinya. Padahal sebagai seorang duta besar persoalan domestik seperti transmigrasi dan urbanisasi seharusnya bukan persoalan yang menjadi tanggungjawabya untuk memikirkannya. Namun disinilah terlihat tanggungjawab intelektual Sooedjatmoko yang biasa sekaligus determinasinya untuk menolak keterkungkungan jabatan formal yang sedang disandangnya. Transmigrasi yang bagi banyak orang dipandang sebagai isu pinggiran bagi Soedjatmoko merupakan persoalan yang serius dan berdasarkan pengetahuan dan relasinya di dunia internasional dia mengetahui bahwa ada lembaga-lembaga internasional yang perlu didekati untuk ikut memikirkan persoalan yang tampak sepele seperti transmigrasi. Saya kira kita melihat bagaimana Bank Dunia atau USAID kemudian terlibat dalam urusan transmigrasi di Indonesia.
Tulisan ketiga yang berjudul Javanese Misticism dibuat pada tahun 1980, tidak jelas apakah saat itu Soedjatmoko masih berada di Indonesia atau sudah berada di Jepang sebagai Rektor Universitas PBB di Tokyo. Selain tulisan ini didalam website terdapat empat atau lima tulisan Soedjatmoko yang lain tentang spiritualitas dan agama. Namun tulisan tentang mistik Jawa yang dipilih sebagai ilustrasi untuk menunjukkan Soedjatmoko sebagai pemikir yang terlibat bisa dikatakan sebagai tulisan yang sangat subtil karena mereflesikan dunia batin Soedjatmoko sendiri yang sesungguhnya gelisah melihat adanya kecenderungan konfliktual antara apa yang dilihatnya sebagai pencarian akan kebenaran yang pada dasarnya bersifat pribadi dengan semacam imposisi akan klaim kebenaran yang bersifat sosial.
Dalam konteks inilah sangat menarik bagaimana Soedjatmoko mengangkat tradisi yang dimiliki oleh lingkungan dekatnya sebagai Orang Jawa, yang kemudian menyandingkannya dengan tradisi-tradisi agama besar seperti Islam dan Kristen yang harus diterima sebagai agama resmi dan dianut oleh mereka yang sesungguhnya memiliki tradisinya sendiri. Pada tulisan keempat yang diambil sebagai ilustrasi, yaitu renungannya tentang masa depan umat manusia, saya kira memperlihatkan keterlibatannya yang sangat mendalam dalam berbagai forum global, antara lain Club of Rome, yang secara sungguh-sungguh melihat adanya ancaman-ancaman yang riil terhadap masa depan umat manusia jika tidak mulai sekarang melakukan antisipasi-antisipasi dan menyusun strategi-strategi untuk mencari jalan keluar bersama secara global. Barangkali isu masa depan umat manusia sebagai penghuni bersama planet bumi ini menjadi keprihatinan yang paling utama dari Soedjatmoko di tahun-tahun terakhir menjelang wafatnya.
Website www.membacasoedjatmoko.com memberi akses kepada siapa saja untuk membaca tulisan-tulisan Soedjatmoko yang telah diterbitkan maupun yang semula hanya merupakan arsip keluarga Soedjatmoko. Berselancar dalam keluasan pemikiran Soedjatmoko kita bisa menemukan betapa banyaknya isu dan persoalan yang telah dipikirkan dan dituliskannya, tidak saja tentang Indonesia tetapi juga Asia dan dunia pada umumnya. Perhatiannya sebagai pemikir yang terlibat tentu saja mudah dikenali dari isu-isu besar menyangkut nasib umat manusia, namun juga isu-isu yang terlihat spesifik seperti tentang anak, perempuan, pemuda, pendidikan, dan agama serta spritualitas. Apa relevansi dari pemikiran Soedjatmoko seperti terbaca dari teks-teks tulisan-tulisannya bagi kita yang masih hidup sekarang dan generasi yang akan datang? Tentulah jawabnya terpulang pada diri kita masing-masing bagaimana kita menafsirkan tulisan-tulisannya.
Soedjatmoko mungkin menjadi wakil terakhir dari generasi pemimpin bangsa Indonesia, seperti tokoh-tokoh yang lebih tua dari dirinya; Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain; yang telah meninggalkan tulisan-tulisannya sebagai refleksi keterlibatan mereka yang dalam pada upaya-upaya mencari jalan keluar dari dilema-dilema yang dialami masyarakat dan bangsanya. Dilema-dilema itu niscaya masih akan terus ada dan menjadi tanggung jawab kita yang masih hidup untuk memahami dan menemukan pilihan-pilihan kita sendiri sebagai jalan keluarnya. Dalam tafsir saya, Soedjatmoko melalui tulisan-tulisannya tidak bermaksud mermberikan resep yang langsung dapat dipakai untuk mengatasi sebuah masalah, namun memberi teladan untuk secara sungguh-sungguh memikirkan dengan seluruh kekuatan daya cipta yang dimiliki untuk memahami kompleksitas dari dilema-dilema yang sedang dihadapi. Dari semua itu, dan ini yang mungkin terpenting, menuliskannya menjadi teks yang terbukti merupakan warisan paling berharga yang ditinggalkannya bagi kita. (Editor: Dicky Rachmawan)
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Riwanto Tirtosudarmo belajar psikologi di Fakultas Psikologi UI. Setelah lulus, bekerja di Leknas LIPI, dan melanjukan studi Pascasarjana di Research School of Social Sciences Australian National University dan mendapatkan master dan doctor dalam bidang demografi sosial. Penulis dapat dihubungi melalui tirtosudarmo@yahoo.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75” Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial