Oleh Wahyudi Akmaliah (Peneliti PMB LIPI)

Pada 29 Juli 2017, Elly Risman, dikenal sebagai Psikolog anak, mengkritik di media sosial melalui akun Twitter-nya terkait rencana Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, yang berencana mendatangkan grup girl band Girls’ Generation atau dikenal dengan SNSD, asal Korea Selatan untuk memperingati hari Kemerdekaan. Kritik ini juga ditujukan kepada Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia. Ada dua hal yang dikritik oleh Elly. Pertama, nasionalisme. Merayakan kemerdekaan Indonesia itu seharusnya diisi oleh “seniman super kreatif”, yang notabene orang Indonesia sendiri bukan artis luar negeri. Kedua, moralitas dan masa depan anak-anak. Selain merusak cita-cita revolusi mental yang menjadi agenda utama Joko Widodo saat kampanye dan kemudian terpilih menjadi presiden, rencana Triawan Munaf dengan mengundang SNSD dikhawatirkan akan berdampak terhadap moralitas anak-anak. Ini karena SNSD, melalui informasi yang didapatkannya merupakan sebagai simbol seks dan pelacuran. Elly mendapatkan informasi itu dari dua sumber berita; media online PostMetroinfo, yang berjudul, “Dengan Tema “Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan”, Jokowi Undang Girlband Korea Girls Generation Di HUT RI 72”, yang dimuat pada 28 Juli 2017 dan Jatim.Tribunsnews.com, dengan judul, “Nggak Pakai Celana, Aksi Panggung Artis Korea Ini Ramai-Ramai Dikecam Gara-Gara Kelewat Vulgar”, pada 19 Juni 2017.

Elly Risman dalam Media Internasional (Sumber: http://cdn2.tstatic.net/style/foto/bank/images/elly-risman_20170731_174749.jpg)

Pernyataan  publik tersebut dikecam oleh K-Popers Indonesia. Dasar pengecaman tersebut bukan kritik atas SNSD yang diundang untuk mengisi hiburan di Hari Kemerdekaan Indonesia, melainkan ungkapannya yang menyebutkan bahwa SNSD sebagai simbol seks dan pelacuran. Ungkapan tersebut melukai hati mereka sebagai K-Popers. Selain tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya, SNSD yang dituduhkan tersebut itu di luar asumsi negatif tersebut. Mereka meminta kepada Elly Risman untuk meminta maaf secara publik. Bahkan, upaya agar Elly Risman meminta maaf ini ditunjukkan melalui pembuatan petisi melalui www.change.org atas nama RG dengan judul, “Permintaan maaf Elly Risman untuk SNSD”. Untuk memperluas jangkauan, petisi ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul, “Asking An Apology from Mrs. Elly Risman for SNSD”. Lebih jauh, kekhawatiran mereka ini adalah bahwa pernyataan tersebut akan masuk dalam media online internasional. Jika masuk, hal tersebut besar kemungkinan terdengar SNSD. Sementara itu, SNSD akan merayakan ulang tahun ke-10 atas debut perjalanan karir bermusiknya di kancah internasional. Tentu hal tersebut akan melukai jerih payah yang dibangun oleh personel SNSD. Informasi ini ternyata masuk dalam dua media online internasional yang selama ini memfokuskan diri segala hal yang terkait dengan K-Pop, yaitu www.koreaboo.com dan www.onehallyu.com dengan judul yang sama, “Indonesian Politicians Outraged Over Girl’s Generation”, pada 30 Juli 2017.

Petisi untuk Elly Risman (Sumber: https://www.change.org/p/elly-risman-permintaan-maaf-ibu-elly-risman-untuk-snsd)

 

Saat informasi ini dibagi (sharing) oleh akun fanpage facebook Koreaboo, banyak penggemar K-Pop internasional dengan menggunakan bahasa Inggris menyatakan kemarahan dan ketidaksukaannya. Bahkan, ada beberapa orang yang mengkaitkan isu ini dengan ISIS dan terorisme, saat mereka mengetahui bahwa Elly Risman mengenakan jilbab. Untuk meminimalisir kecurigaan dan memberikan informasi yang tepat, beberapa K-Popers Indonesia dengan sibuk menjelaskan duduk persoalan utamanya atas setiap komentar yang muncul atas isu tersebut. Menurut K-Popers Indonesia, selain tidak mencerminkan masyarakat secara keseluruhan, pernyataan negatif semacam itu hanya beberapa gelintir orang saja yang memang tidak suka terhadap K-Pop. Meskipun Muslim dan mengenakan jilbab, banyak dari K-Popers Indonesia itu menyukai K-Pop. Dengan melakukan pembelaan secara publik internasional di media sosial dengan menggunakan bahasa Inggris, hal tersebut diharapkan dapat meminimalisir sentimen negatif mengenai citra SNSD di Indonesia. Dengan hilangnya prasangka negatif ini, harapannya, dapat memudahkan SNSD untuk berkunjung kembali ke Indonesia untuk melakukan konser dan menemui SONE, panggilan untuk para penggemarnya.

Memang, Elly Risman kemudian meminta maaf atas kesalahannya pada 1 Agustus 2017 melalui akun Twitternya. Ia mengakui kesalahan bahwa tidak mengecek lebih dalam informasi yang beredar tersebut. Namun, satu pertanyaan yang mesti diajukan, apa yang membuat K-Popers Indonesia bereaksi keras atas pernyataan negatif tersebut? Imajinasi apa yang tumbuh dalam kepala mereka sehingga memiliki kecintaan terhadap K-Popers, dibandingkan dengan produk budaya populer yang sebelumnya tumbuh seperti J-Pop dan budaya populer Hollywood? Sebelum datangnya industri K-Pop, menurut Ariel Heryanto (2014) sebagaimana dikutip oleh Akmaliah (2015), produksi dan konsumsi industri hiburan populer dalam bentuk modern telah mengalami hibriditas di Asia Tenggara. Dalam konteks Indonesia, hibriditas kebudayaan melalui industri pop tersebut bisa dilihat dari beberapa fase.  Pada pertengahan abad dua puluh, seni panggung, musik film, dan fotografi yang berasal dari India, Hongkong, Taiwan, China dan bahkan telenovela pada tahun 1970-an dan 1980-an, kita bisa melihat bagaimana wajah kebudayaan Indonesia dibentuk melalui produk-produk tersebut.  Dua dekade setelahnya, mainan, animasi, komik, kartun, film, dan serial drama dari Jepang turut mewarnai jantung kebudayaan Indonesia dan Asia secara luas. Momen ini turut melahirkan generasi pertama Indonesia setelah munculnya televisi kabel yang bertransformasi dari mesin propaganda rezim Orde Baru menjadi industri swasta dengan beberapa program terpilih yang kemudian mendorong lahirnya kelas menengah. Dengan demikian, kehadiran K-Pop adalah bentuk perkembangan dan kelanjutan dari sejarah panjang arus kebudayaan lintas regional.

SNSD (Sumber: http://poskotanews.com/cms/wp-content/uploads/2017/06/snsd.jpg)

 

Alih-alih memunculkan resistensi, dibandingkan dengan produk budaya populer Hollywood,  kehadiran K-Pop di Indonesia diterima secara baik. Selain merepresentasikan masyarakat Asia, K-Pop ini memiliki sejumlah kedekatan -dalam beberapa hal kesamaan- dengan Indonesia. Kondisi ini merupakan bagian dari proses Asianisasi, yaitu perubahan signifikan dalam memandang dan mendefinisikan apa yang secara stereotip disebut dengan kebudayaan barat, namun secara bersamaan, menerima elemen pelbagai praktik kebudayaan transnasional yang muncul dalam K-Pop, yang menggabungkan budaya Korea dan Barat secara bersamaan di tengah menikmati “unsur-unsur eksotisme” dan elemen asing yang dikenakan dalam produk K-Pop. Secara regional, kehadiran K-Pop sendiri berbarengan dengan munculnya gelombang perubahan di negara Asia dan adanya kekosongan kekuasaan, seperti China, Vietnam, dan Indonesia (Ariel Heryanto, 2014).

Selain itu, personifikasi diri yang ditawarkan oleh K-pop, khususnya boys band dan girls band, mengenai kerja keras, berbuat baik, dan memberikan perhatian kepada masyarakat yagn tertimpa musibah melalui aksi filantropi, baik saat mereka tampil di panggung, acara infotainment, ataupun liputan berita, menjadi alasan tersendiri mengapa banyak masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak muda, menyukainya. Selain itu, sebagaimana diungkapkan Ranny Rastati, Peneliti Muda di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI (2017) bahwa banyak dari K-Popers Indonesia, khususnya anak-anak muda, tumbuh bersamaan dengan perjalanan karir idola boys band dan girls band mereka. Dengan kata lain, SNSD, misalnya, merupakan cermin dari praktik kebudayaan keseharian bersamaan dengan tumbuhnya K-Popers menuju transisi usia dewasa.

SONE saat menghadiri konser SNSD (Sumber: https://koreanwaveindo.com/2014/06/20/)

Meskipun diakui, K-Pop sendiri merupakan bagian dari diplomasi lunak (soft diplomacy) di tengah ekspansi pemerintah dan perusahaan Korea Selatan untuk menjual produk-produk teknologi dan digital. Kehadiran K-Pop memungkinkan masyarakat internasional bisa menerima produk kebudayaan sekaligus perangkat keras teknologi jualan mereka. Meskipun di beberapa negara di Asia Timur, kehadiran mereka mengalami resistensi. Dalam konteks Indonesia, bagi saya, kondisi ini merupakan tantangan sekaligus pekerjaan rumah pemerintah Indonesia, tidak terkecuali Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia untuk belajar dari K-Pop dan kemudian memanfaatkan produk Budaya Populer Indonesia (I-Pop) di tengah bahasa Melayu sebagai Lingua Franca di Asia Tenggara untuk mengenalkan lebih jauh mengenai Indonesia. Ini karena, banyak dari produk budaya populer Indonesia, seperti grup musik, film, pakaian, dan makanan sudah cukup dikenal. Sayangnya, industri ini berjalan sendiri-sendiri tanpa intervensi tangan pemerintah untuk menyokong secara kuat. Akibatnya, gerakan I-Pop berjalan secara sporadis dan terfragmentasi. Masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara, misalnya, mengenal beberapa grup musik Indonesia secara kebetulan dan melalui jaringan pertemanan, ketimbang melalui publik internasional yang dikemas secara serius dan terencana. Dengan kata lain, melalui cara inilah imajinasi apa yang disebut nation mengenai Indonesia bisa ditumbuhkan secara membanggakan kepada anak-anak muda. (Editor: Ranny Rastati)

___________________________________

TENTANG PENULIS

Wahyudi Akmaliah adalah peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK, sebelumnya PMB) LIPI. Ia menyelesaikan S1 di jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2003), melanjutkan jenjang S2 di dua kampus yang berbeda; bidang Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma (2008) dan International Peace Studies di University for Peace, Costa Rica. Selama di LIPI, ia mendalami dua tema riset, yaitu Kekerasan dan Politik Ingatan serta Kajian Budaya dengan memfokuskan kepada Islam, Identitas, dan Budaya Populer. Untuk korespondensi, Ia dapat dihubungi melalui surat elektronik (email), wahyudiakmaliah@gmail.com.