Kehadiran media baru (New Media), khususnya media sosial, di ruang publik tidak hanya menggeser melainkan juga mengubah apa yang disebut dengan subyek. Berbeda dengan media lama (Old Media), di mana sumber informasi itu berpusat dan tunggal, pemilik modal memiliki peranan signifikan terhadap sirkulasi informasi.
Kehadiran media baru memungkinkan setiap individu menjadi subyek sekaligus obyek (prosumer) dalam membuat dan menyebarkan berita. Di sini, informasi yang muncul tidak sekedar menjadi medium oleh media (sekedar menjadi alat mengantarkan), melainkan juga sekaligus menjadi bagian dari pengubah itu sendiri.
Hal sangat kentara adalah adanya mediatisasi agama di ruang publik dengan kehadiran media sosial. Satu sisi, mediatisasi ini memungkinkan tumbuhnya pengetahuan-pengetahuan baru yang bisa diakses dan menciptakan demokratisasi oleh publik Indonesia di tengah hegemonisasi ormas-ormas keagamaan sebelumnya. Namun, di sisi lain, kemunculan otoritas-otoritas keagamaan melalui mediatisasi ini menciptakan distrupsi seperti munculnya berbagai perubahan yang mengubah tatanan lama dengan kehadiran inovasi-inovai di pelbagai bidang. Ironisnya, dalam konteks ini memiliki daya destruktif yang sebelumnya sulit diantisipasi, mulai dari kemunculan hoax, algoritma yang memperkuat enclave identitas, ideologi, dan agama, politik kebencian melalui pelintiran, serta metode baru perekrutan terorisme di media sosial.
Konsep mediatisasi di sini merujuk kepada pendapat Stig Hjarvard (2013) yang mengartikannya sebagai proses panjang (long-term process), dimana institusi sosial dan kultural serta bentuk-bentuk komunikasi mengalami perubahan sebagai bagian dari konsekuensi pertumbuhan media itu sendiri. Terkait dengan mediatisasi agama, Hjavard (2013) membaginya ke dalam tiga kategori. Pertama, media menjadi sumber informasi utama mengenai isu-isu keagamaan dan menjadi platform untuk mengekspresikan dan kemudian melakukan proses sirkulasi keyakinan-keyakinan individual. Kedua, informasi sekaligus ekspresi pengalaman keagamaan dibentuk sesuai kehendak genre keinginan media-media populer. Ketiga, media mengambil alih fungsi-fungsio sosial dan kultural yang sebelumnya terinstitusionalisasikan melalui agama-agama sehingga menyediakan ruang bimbingan spiritual, orientasi moral, dan perasaan kepemilikan dan kebersamaan komunitas.
Bertolak dari latarbelakang dan konseptual di atas, Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Kelti Agama dan Filsafat PMB LIPI ini melihat kembali kontribusi agama yang termediatisasikan di ruang publik dengan mengajukan tiga pertanyaan yang saling terkait; Sejauhmana peran agama yang termediatisasikan dalam platform digital, baik media sosial maupun situs online? Bagaimana tanggapan institusi keagamaan dalam merespons hal tersebut? Perihal apa yang mungkin bisa dilakukan dalam mengantisipasi distrupsi tersebut? Untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut, Seminar Nasional ini kemudian mengundang dua latarbelakang untuk mendiskusikannya, sarjana dan praktisi.
PEMBICARA SEMINAR
Keynote Speaker: Leonard C. Epafras (ICRS UGM)
Pembicara panel:
- Ismail Fahmi, Ph.D. (UII Yogyakarta, Pendiri PT Media Kernels Indonesia)
- Dedik Priyanto (Redaktur Pelaksana Islami.co).
- Wahyudi Akmaliah (PMB-LIPI).
Acara seminar nasional akan diselenggarakan pada:
Hari, tanggal : Senin, 26 November 2018
Waktu : Pk.08.30-13.00 WIB
Tempat : Auditorium Lantai 1, Gedung Widya Graha Jalan Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan.
Pendaftaran : bit.ly/2zO5LZw
(Hidayatullah Rabbani)
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah