JAKARTA– Rabu, 3 Februari 2016 | Pk.13.00 WIB
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI mengadakan seminar internal dengan mengangkat tema “Reforma Agraria dari Desa”. Seminar yang rutin dilaksanakan setiap minggu ini, menghadirkan Lilis Mulyani, SH, LLM sebagai pembicara dan dimoderatori oleh Luis Feneteruma, SH.
Menurut pembicara, masalah agraria yang mencakup bumi, air, dan kekayaan alam di Indonesia secara garis besar muncul disebabkan konsentrasi kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan sumber-sumber agraria (tanah, hutan, tambang, dan perairan) berada di tangan segelintir orang yaitu korporasi besar, swasta asing, dan domestik. Sementara itu, puluhan juta rakyat Indonesia, khususnya petani, hidup bertanah sempit bahkan tak memiliki tanah.
Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan. Reforma Agraria pada intinya adalah melakukan redistribusi tanah negara kepada sejumlah rumah tangga yang dikategorikan sebagai petani termiskin. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya-upaya pencabutan hak atas tanah-tanah yang melebihi batas-batas yang ditentukan untuk kemudian diredistribusi kepada pihak-pihak yang secara hukum telah ditetapkan sebagai penerima manfaat redistribusi
Reforma Agraria dapat diartikan sebagai suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial. Hal ini dapat menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan. Pembentukan ini dapat dimulai dengan cara menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya. Selain itu perlu dibuat sejumlah program pendukung untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya
Seperti yang disampaikan pembicara, ada enam tahap yang dilakukan dalam Reforma Agraria yaitu 1) penyelesaian konflik, 2) redistribusi tanah, 3) penguatan hak atas tanah, 4) penataan produksi, 5) penataan niaga dan distribusi, dan 6) penataan konsumsi. Melalui tahapan ini, diharapkan dapat mengurangi ketimpangan konsentrasi penguasaan tanah dan menciptakan basis-basis produktif masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut, pembicara juga menyampaikan beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk reforma agraria. Pertama, untuk Desa Pertanian Sawah, program prioritas yang dilaksanakan adalah (1) redistribusi penggunaan dan pemanfaatan sumber daya milik desa berupa penggunaan tanah kas desa, tanah timbul, dan sumber kekayaan desa lainnya untuk petani termiskin, petani tak bertanah dan petani gurem. (2) Redistribusi tanah-tanah terlantar baik Hak Guna Bangunan (HGB) maupun Hak Pakai (HP) yang dilakukan melalui mekanisme bagi hasil antara pemerintah desa dengan petani penggarap. Tanah desa pun dapat berfungsi sosial sebagai jaminan sosial masyarakat termiskin dan pencadangan lahan desa secara bertahap melalui pembelian oleh desa dan hibah/wakaf tanah.
Solusi kedua adalah untuk Desa Kebun, program prioritas yang dilaksanakan berupa redistribusi tanah-tanah eks Hak Guna Usaha (HGU), HGB, dan HP yang tidak diperpanjang atau terlantar. Hal ini dilakukan melalui redistribusi tanah-tanah HGU terlantar yang telah digarap masyarakat selama minimal tiga tahun berturut-turut. Pencadangan lahan desa dilakukan secara bertahap yaitu melalui pembelian oleh desa dan hibah/wakaf tanah.
Solusi ketiga untuk Desa Hutan dan Desa Adat, program prioritas yang dilaksanakan adalah redistribusi akses berupa pengakuan pemanfaatan hasil hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Hal ini dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan bagi desa-desa definitif dan wilayah hutan yang kenyataannya sudah menjadi wilayah pemukiman dan pemerintahan. Pencadangan lahan desa secara bertahap dapat dilakukan melalui pembelian oleh desa, hibah/wakaf tanah, dan pelepasan kawasan hutan kepada pengelolaan oleh desa.
Solusi terakhir untuk Desa Pesisir, program prioritas yang dilaksanakan adalah dengan melakukan pengaturan wilayah tangkap dan perlindungan wilayah tempat tinggal dari bencana alam dan penggusuran atas nama pembangunan wilayah (reklamasi pantai, dll). Hal ini dilakukan melalui musyawarah desa dan antardesa untuk melakukan pembagian wilayah tangkap dan rencana tata ruang wilayah pesisir.
Seminar yang dihadiri oleh segenap peneliti di lingkungan P2KK LIPI ini mendapat respon yang positif dari peserta seminar. Kritik dan saran dari para peserta turut mewarnai semangat budaya ilmiah yang memang sengaja diciptakan melalui seminar ini. (Halimatusa’diah)
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial