SI_13 Jan 16Rabu, 13 Januari 2015 – Pk.10.00 WIB

 

Jakarta- Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2KK LIPI) menyelenggarakan seminar internal yang disampaikan oleh dua pembahas yaitu pembahas satu Leolita Masnun peneliti P2KK LIPI Jakarta dan pembahas dua Penny Sylvania Putri, M.SN, dari UPT Balai Informasi Teknologi (UPT BIT LIPI). Seminar ini berlangsung pada 13 Januari 2016 pukul 10.00-12.00. Seminar ini mengangkat tema “Metode Visual dalam Penelitian Antropologi: Sebuah Refleksi Atas Penelitian Perlindungan dan Pemertahanan Bahasa dan Kebudayaan Kelompok Etnik Minoritas” dan “Film Dokumenter Ilmu Pengetahuan sebagai Bentuk Media Diseminasi di LIPI” dengan moderator Ibnu Nadzir, S.Ant.

Pembahas pertama menceritakan pengalamannya saat melakukan penelitian dengan tim penelitian Bahasa dan Kebudayaan Oirata di Maluku. Penelitian itu menggunakan medium film dokumenter dalam melakukan kajian dengan output berupa film dokumenter etnik. Pembahas kedua menjelaskan mengenai UPT Balai Informasi Teknologi LIPI yang memproduksi berbagai bentuk audiovisual mengenai berbagai kegiatan dan penelitian yag ada di LIPI. UPT BIT LIPI telah mendokumentasikan berbagai kegiatan rutin LIPI seperti perayaan ulang tahun LIPI, pengukuhan profesor riset, dan pendokumentasian hasil penelitian. Menurut pembahas kedua, untuk pembuatan film dokumenter idealnya dilakukan survei awal di lapangan, membuat alur cerita, kemudian kembali lagi ke lapangan untuk syuting.

Di akhir seminar dilakukan pemutaran film dokumenter yang dibuat oleh kedua pembahas tahun 2015 mengenai penelitian bahasa dan kebudayaan di Skouw, Papua. Skouw adalah nama sebuah tempat di distrik Muaratami Jayapura yang berada di perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan deskripsi dan dokumentasi tentang kebudayaan dan masyarakat dengan mengumpulkan berbagai data etnografi berupa bahasa, sistem perilaku, sistem pengobatan, seni ukir, dan sebagainya. Masyarakat yang tinggal di Skouw memiliki akses bebas ke Papua New Guinea karena masih banyak masyarakat yang memiliki kerabat di sana. Dalam perniagaan di pasar perbatasan pun bahasa yang digunakan adalah bahasa Tokpisin.

Menurut kepala kampung Skouw, anak-anak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Anak-anak hanya mengerti bahasa Skouw meskipun kesulitan berbicara bahasa Skouw. Kepala kampung pun merasa khawatir jika suatu hari nanti bahasa Skouw punah dan sudah tidak lagi digunakan oleh generasi berikutnya. Jika bahasa Skouw punah, maka konsep adat yang ada di Skouw juga akan hilang. Di Skouw ada yang bernama Tangfa berarti rumah adat. Di sana adalah tempat untuk mendidik anak-anak mengenai berbagai hal termasuk cara hidup, cara berperang, dan sebagainya. Kepala kampung berharap pemerintah dapat melestarikan bahasa dan budaya agar tidak kehilangan identitas sendiri, meskipun dunia sudah mengglobal, tapi kearifan lokal harus tetap dipertahankan.

Berdasarkan survei dari tim peneliti, loyalitas terhadap bahasa Skow masih tinggi meskipun ada pergeseran karena kompetensi linguistik sudah tidak dianggap lagi. Masyarakat Skouw sudah menjadi masyarakat multilingual yang aktif karena menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Skouw sama-sama dianggap penting.

Seminar berlangsung hangat dan ada beberapa pertanyaan, masukan. Salah satunya dari Dr. Anas Saidi yang menambahkan mengenai keunggulan studi dokumenter yaitu melembagakan memori kolektif yang ditampilkan kembali sebagai sebuah dokumen dan studi dokumenter pun dianggap sudah mampu berbicara untuk dirinya sendiri. Namun, studi dokumenter memiliki limitasi karena multitafsir. Dokumenter pun dianggap cenderung menampilkan sesuatu yang bagus berupa keberhasilan sehingga tidak terlalu mewakili apa yang dibutuhkan oleh studi etnografi. Sebagai penutup, beberapa peneliti menyarankan akan lebih baik jika peneliti tidak tampil dalam film dokumenter. Peneliti hanya tampil dalam bentuk suara dan memberikan narasi untuk membantu dalam menceritakan proses yang dalam film dokumenter. (Ranny Rastati)