JAKARTA – Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2KK LIPI) mengadakan Seminar Intern pada tanggal 22 Januari 2016 dengan pembicara Amrih Widodo, B.A., M.A.. Judul seminar intern kali ini adalah Perlawanan Petani terhadap Pendirian Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng dengan moderator Prof. Dr. Johanis Haba. Pada seminar kali ini Amrih Widodo menjelaskan penting bagi peneliti untuk membantu masyarakat dalam suatu gerakan sosial. Namun, peneliti harus bisa membedakan peran dan menempatkan dirinya dengan baik. Seorang peneliti yang sedang terlibat dalam suatu gerakan sosial tentu saja memiliki kode etik yang berda dengan peneliti yang sedang melakukan penelitian. Ketika seorang peneliti terlibat dalam suatu gerakan sosial, dia harus membaur dan menjadi satu dengan masyarakat. Sementara peneliti yang melakukan penelitian cenderung akan mengambil jarak dengan objek yang ditelitinya. Padahal seharusnya bediri di tengah-tengah kaum akar rumput dan melakukan aktivitas gerakan sosial bersama mereka.
Keterlibatan seorang ilmuwan dalam sebuah gerakan sosial tidak hanya sekedar hadir di tengah-tengah mereka tetapi juga harus pada tingkat teori. Pada tingkat teori tersebut ilmuwan bisa mengubah dan membentuk pola pikir banyak manusia. Jika dikaitkan dengan kasus Samin, sesudah warga Samin menang di pengadilan atas Semen Gresik pada tahun 2009, muncul wacana bagaimana ilmu pengetahuan lewat Amdal ini harus bisa dipakai dalam revitalisasi wilayah tempat tinggal warga Samin.
Salah satu contoh peneliti yang ikut terjun langsung di tengah-tengah perjuangan masyarakat marjinal adalah Ben Anderson. Ben Anderson adalah pemikir yang terkenal dengan konsep nasionalismenya. Definisi nasionalisme menurut Ben Anderson didasarkan pada pengalamannya turun ke lapangan dan melihat langsung semangat teman-temannya dalam memperjuangkan dan membela suatu wilayah. Dalam Imagined Community, Ben Anderson mencoba mencari tahu dan memberi nama ideologi baru yang mampu menggerakkan sekumpulan orang yang tidak saling kenal untuk membela suatu wilayah yang belum jelas posisinya yang ditemukan oleh penjajah. Ideologi itu kemudian diberi nama nasionalisme.
Berangkat dari pemikiran Ben Anderson, setiap peneliti seharusnya selalu bertanya-tanya “Apakah penelitian saya sudah berkontribusi terhadap aktivitas gerakan perlawanan akar rumput?”. Jika ada pertanyaan tentang etika peneliti yang akan berbenturan dengan aktivitas gerakan sosial, peneliti perlu juga mempertanyakan “Etika macam apa yang kita (peneliti) pegang dalam penelitian kita?”. Demi menjawab pertanyaan tersebut, muncul kebutuhan untuk mengarusutamakan topik penelitian yang sedang kita (peneliti) geluti untuk menjadi topik pembicaraan terbuka bagi masyarakat umum agar masyarakat tahu dan tidak buta tentang masalah-masalah yang ada dan sedang terjadi di sekitar, walaupun tidak terjadi pada diri kita secara langsung.
Sesi diskusi yang dibuka setelah paparan dari pembicara mengalir dengan dinamis dan menarik. Muncul beberapa pertanyaan seputar konflik peneliti dalam menjalankan etikanya sebagai peneliti dan sebagai aktivis dari suatu gerakan sosial. Selain itu juga muncul pertanyaan tentang bagaimana peneliti menyeimbangkan kegiatan penelitiannya dengan aktivitas di gerakan sosial kaum akar rumput. Menurut pembicara, meneliti adalah sebuah proses yang pelik karena peneliti biasanya mengambil tempat yang lebih tinggi dari objek yang diteliti. Padahal seharusnya posisi peneliti dengan objeknya sejajar. Hubungan antara peneliti dan objeknya yang seperti itu tidaklah seimbang. Seharusnya, objek peneliti diikutsertakan dalam proses penelitian dan hasil penelitiannya juga harus dikembalikan untuk dimiliki oleh objek peneliti—terutama jika objek penelitiannya adalah manusia. Sudah banyak muncul perdebatan tentang objektivitas peneliti, khususnya peneliti ilmu sosial, dalam sebuah gerakan sosial. Peneliti ibarat seorang penderita kanker. Peneliti mencari kepastian “kesembuhan”. Dalam hal ini, statistik menjadi alat representasi realitas. Statistik diperoleh dengan kampanye dalam waktu yang panjang, yang membutuhkan dana yang besar. Oleh karena itu, jangan percaya pada objektivitas, karena objektivitas itu bisa saja dipakai untuk mendukung kepentingan suatu golongan; objektivitas itu pasti mengarah pada suatu “sisi” tertentu.
Seminar intern ini ditutup oleh Prof. Dr. Johanis Haba selaku moderator dengan sebuah pernyataan. “Knowledge is politics. Peran peneliti sangat besar dalam hal ini. Apakah peneliti akan menggunakan pengetahuannya untuk kepentingan suatu golongan tertentu ataukah peneliti akan mempersembahkan hasil penelitiannya sepenuhnya kepada masyarakat?”. (Anggy Denok Sukmawati)
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial