Pada hari Jumat 20 Januari 2017 diadakan seminar intern Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI di ruang seminar lantai 6 gedung Widya Graha. Seminar berupa bedah buku yang berjudul “Poso: Sejarah Komprehensif Kekerasan Antar Agama Terpanjang di Indonesia Pasca Reformasi”.

Penulisnya Dave McRae, adalah seorang mahasiswa doktoral di Universitas Nasional Australia, yang kemudian datang ke Indonesia untuk mencari isu apa yang terjadi di Indonesia dan belum banyak dibahas. Konflik agama di Poso kemudian menjadi pilihan Dave yang pada tahun 2013 telah diterbitkan Brill, penerbit Belanda dengan judul A Few Poorly organized Men: Interreligious Violence in Poso, Indonesia.

Pertama-tama Dave mempresentasikan bahwa ekskalasi konflik Poso mengalami empat fase; (1) Kerusuhan kota sejak desember 1998 hingga April 2000, (2) Pembunuhan yang menyebar luas sejak Mei hingga Juni 2000, (3) Konflik yang berlarut diantara dua kelompok sejak juni 2000 hingga Agustus 2002, dan (4) Kekerasan sporadik sejak 2002 hingga Januari 2007. Ada 4 pertanyaan yang ingin dicari Dave dalam penelitian  ini, (1) Bagaimana daerah seperti Poso menjadi ajang perang agama?, (2) Bagaimana ekskalasi konflik bisa menyamai intensitas perang sipil, padahal lokasi peristiwa hanya berlangsung di satu kabupaten?, (3) Kenapa konflik berlanjut lama, sementara demokrasi semakin stabil?, dan (4) Bagaimana semua itu berakhir?

Dave menemukan bahwa dalam konflik ini ada pembagian kerja di mana para aktor memainkan perannya masing-masing, antara lain; pemimpin lokal, kombatan, mujahidin, jihadis, dan masyarakat Poso lainnya. Kemudian bagaimana bisa konflik terus membesar, Dave mengatakan karena terjadi mobilisasi massa oleh para kombatan inti dan penularan-penularan konflik ke daerah lain. Kemudian di dalam perjalanannya terjadi perbedaan antara faktor awal terjadinya konflik, dengan faktor saat dinamika konflik terus berlangsung. Konflik ini menjadi berkepanjangan karena negara salah membaca siapa sebenarnya kombatan inti tersebut. Baru pada tahun 2007 akhirnya negara mampu membaca pola siapa kombatan inti. Hanya dengan dua kali penggerebekan, kombatan sebagai dalang konflik bisa ditangkap, yang kemudian menjadi akhir dari konflik ini.

Masukan dari pengulas pertama Wahyudi akmaliyah (peneliti P2KK LIPI), Dave perlu lebih banyak mengangkat kisah Antropologi masyarakat Poso, untuk menarik empati pembaca. Wahyudi juga memaparkan ada empat hal mengapa buku ini penting untuk dibaca yaitu (1) Dave tidak menerima begitu saja berbagai teori, namun melakukan telaah serius dengan konteks situasi dan kondisi objek penelitian, (2) Dave berhati-hati saat melakukan wawancara, dengan triangulasi data, (3) Daya jelajah yang kuat untuk literatur oleh Dave, dan (4) Dave mampu melihat aktor di balik peristiwa.  Pengulas kedua adalah Ihsan Ali Fauzi (Universitas Paramadina) mengatakan bahwa Dave tidak hanya menelusuri literatur konflik di Poso, tapi juga literatur konflik di semua wilayah.

Seminar ini berlangsung sangat aktif, selain ada dua pengulas yang memberikan perspektif tambahan, ada juga audiens yang mengajukan pertanyaan, salah satunya disampaikan oleh pak Hisyam (Peneliti P2KK LIPI), “Lalu mengapa kini setelah konflik selesai, isu beralih ke terorisme?” Ihsan Ali Fauzi menanggapi, bahwa dibukunya Dave menggunakan istilah terorisme hanya dua kali saja, hal ini sebab terorisme tidak murni, ada politik di dalamnya. (Maulida Illyani)