Salah satu implikasi yang diperhitungkan adalah tentang besaran penggunaan energi. Dari hasil kajian diketahui bahwa penyatuan zona waktu itu dihasilkan adanya perubahan perilaku masyarakat terhadap penggunaan listrik yang apabila dikonversikan dalam rupiah sebesar Rp1,6 triliun. “Sayangnya sejak tahun 2008 sampai sekarang belum ada yang melanjutkan kajian ini dikarenakan belum ada institusi atau instansi yang melanjutkan kajian ini dilihat dari aspek lainnya,” ujar Koordinator Peneliti Penyatuan Zona Waktu Kemenristek, Dr Mohammad Nur Hidayat. Freddy menambahkan, saat ini Kementerian Riset dan Teknologi sedang mengembangkan kajian tersebut berdasarkan hasil kajian yang sudah dilaksanakan pada tahun 2004-2008.
Dalam waktu dekat ini, Kementerian Riset dan Teknologi akan mengkoordinasikan Lembaga Pemerintah Non Kementerian lingkup Kementerian Riset dan Teknologi (LPNK) dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian serta Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) untuk mengkaji aspek aspek lainnya. “Kami berharap dengan adanya penyatuan satu zona Negara Kesatuan Republik Indonesia, akan terjadi peningkatan produktivitas yang berpengaruh pada peningkatan daya saing nasional. Hal tersebut memiliki korelasi positif terhadap peningkatan investasi litbang di mana seperti diketahui bahwa MP3EI mengamanatkan bahwa investasi litbang harus meningkat menjadi 1 persen PDB yang dicapai selambat lambatnya pada tahun 2014,” kata Fredy, sekaligus Wakil Ketua Harian tim kerja SDM dan Iptek KP3EI.
Perlu Kajian Komprehensif
Pembicara lainnya, Dr. Wijayanti, pakar budaya dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, mengatakan, struktur masyarakat saat ini berbeda dengan sebelum reformasi tahun 1998. Dalam menanggapi kebijakan pemerintah itu, implikasinya tidak hanya terhadap masyarakat modern tetapi juga terhadap masyarakat tradisional. “Antisipasi dampak sosial, kultural dan struktur masyarakat atas berlakunya satu zona waktu di Indonesia dengan segera melakukan kajian sosial yang komprehensif sehingga kebijakan penetapan satu zona waktu Indonesia tidak merugikan masyarakat,? kata Wijayanti. Sebab, lanjut Wijayanti pemberlakuan kebijakan satu zona waktu di Indonesia akan berimplikasi terhadap Tatanan Kebijakan Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Oleh karenanya harus dilakukan uji penelitian dan kajian agar dapat diketahui nilai positif atau negatif atas kehidupan perekonomian dan sosial masyarakat di daerah,? kata pakar budaya dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI itu.
Sedangkan Dr Ing Khafidz, dari Badan Informasi dan Geospasial (BIG), lebih menekankan pada perlunya dikaji untung rugi dari penetapan kebijakan yang akan diambil diantaranya menyangkut ketentuan jam kerja. FGD tersebut dihadiri oleh perwakilan dari Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), diantaranya LIPI, BIG, BATAN, LAPAN, BSN, BPPT dan BAPETEN. Dari diskusi tersebut, terungkap bahwa penyatuan satu zona waktu GMT+8 Ditinjau dari aspek geospasial tidak menimbulkan masalah. (umi)
Judul : Satu Zona Waktu, Hemat Listrik Rp1,6 Triliun
Sumber : vivanews.com
Tautan Gambar : http://estrodariatnosihaloho.blogspot.com/2012/05/pengaruh-penyatuan-zona-waktu-indonesia.html
Jenis : Berita
Tanggal : Jumat, 8 Juni 2012
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.06.08“Jelita Di Tengah Bara”: Meneroka Inovasi Konservasi Sosial Ekonomi Anggrek Endemik Vanda tricolor Di Kawasan Gunung Merapi Berita2023.06.08BRIN – Populix Jalin Kerja Sama Riset Budaya Ilmiah Pada Generasi Milenial dan Gen Z Call for Paper2023.06.06CALL FOR PAPERS INTERNATIONAL FORUM ON SPICE ROUTE (IFSR) 2023 Artikel2023.05.04Re-Rekognisi Mitos Maskulinitas (yang) Mahal Dalam Uang Panai’