[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 7, Juni 2022]
oleh Ririn Purba (Peneliti Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas BRIN)
Roti sandwich dikenal sebagai jenis makanan yang lumayan enak, namun berbeda halnya dengan istilah sandwich generation yang memiliki makna jauh dari kata enak atau menyenangkan. Sandwich generation atau generasi roti lapis merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan tentang keadaan dimana seseorang menanggung beban kebutuhan dirinya sendiri, generasi di bawahnya dan generasi di atasnya. Istilah ini dikenalkan oleh Dorothy Miller seorang Profesor pekerja sosial di California yang menulis tentang generasi sandwich di US tahun 1980-an. Orang-orang yang menjadi bagian dari generasi ini cenderung mengalami stress yang berbeda karena ia harus menanggung beban ekonomi dan sosial dari beberapa generasi.
Dalam artikel yang ditulisnya, orang-orang dewasa dengan rentang usia 45 dan 65 masih menanggung beban perekonomian generasi di atasnya yakni orangtua mereka dan anak-anaknya yang sesungguhnya sudah dewasa namun belum mampu ntuk mandiri (Miller, 1981). Orang dewasa paruh baya ini dituntut untuk seimbang dengan perannya sebagai orangtua, anak dan pekerja. Banyak dari generasi sandwich ini merasakan kesulitan dalam menjalankan perannya sehingga dukungan dan pengertian dari keluarga menjadi hal yang sangat penting (Evans et al., 2018).
Pada artikel ini akan dibahas sekilas tentang pandangan perantau batak terhadap istilah sandwich generation. Jika dalam penelitian Miller berfokus pada beban dan stress yang dialami oleh para pengemban sandwich generation di rentang usia paruh baya, maka dalam artikel ini akan dibahas makna sandwich generation terhadap orang batak di perantauan. Dalam hal ini adalah perantau yang menanggung beban ekonomi untuk pendidikan saudara/i-nya dan membantu penghidupan orangtuanya di kampung halaman.
Tanggungjawab dan Keinginan Merubah Nasib Keluarga
Persebaran suku Batak tidak hanya ada di daerah Sumatera saja akan tetapi sudah tersebar hingga pelosok negeri. Hal ini terjadi karena masyarakat batak terkenal dengan istilah perantau tangguh yang akhirnya memilih menetap di perantauan. Orang-orang batak memiliki keinginan mencari rezeki di kota lain atas dasar keinginan merubah nasib karena menyadari penghidupan di kampung halaman tidak lagi menjamin (Riyadi, 2019). Orang batak juga terkenal dengan sikap tidak memilih-milih pekerjaan ketika merantau, kesadaran betapa sulitnya kehdiupan di perantauan, kemudian keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga menjadi alasan (Nur et al., 2019).
Masyarakat batak sendiri memiliki 3 falsafah hidup yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (berketurunan dalam artian keturunannya sukses) dan hasangapon (kehormatan dalam status sosial). Untuk mencapai 3H ini, begitu banyak orangtua yang mendorong anaknya dalam dunia pendidikan karena para orangtua sadar, akan sulit mencapainya jika pendidikan anak-anaknya biasa saja (Dalimunthe & Lubis, 2019). Pada akhirnya, orang-orang batak akan berusaha memenuhi pendidikan anak-anaknya dan biasanya jika salah satu anak dari satu keluarga memiliki ekonomi yang cukup, ia akan memiliki kesadaran sendiri untuk membantu saudara/i-nya untuk mencapai pendidikan yang lebih baik juga seperti dirinya. Ikatan marga dan kekeluargaan yang kuat menanamkan rasa tanggungjawab dan sikap saling membantu. Tidak harus keluarga inti, namun keluarga jauh yang memiliki ikatan marga juga harus dibantu jika memang ia memiliki rezeki yang berlebih. Hal tersebut juga berhubungan dengan falsafah batak yang mengatur tentang kekerabatan dan relasi marga yakni Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga).
Dalihan natolu ini diibaratkan seperti tungku berkaki tiga (tolu) dimana jika salah satunya tidak seimbang maka akan mempengaruhi yang lain. Dalihan natolu ini terdiri hula-hula (pihak keluarga dari perempuan/istri), dongan tubu (orang yang semarga dengan kita) dan yang terakhir boru (keluarga dari pihak lelaki/suami). Marga memiliki peran penting dalam menentukan posisi dalam suatu kegiatan. Selain itu, jika dua orang atau lebih memiliki marga yang sama namun tidak sedarah akan dianggap saudara (Berlian et al., 2019). Hal inilah yang menjadi alasan kekerabatan dan rasa saling menolong bagi orang batak tidak hanya berdasarkan ikatan darah tapi juga persaudaraan atas dasar marga.
Selain itu, masyarakat batak juga mengenal istilah yang dipopulerkan oleh Alm. Raja Inal Siregar, mantan gubernur Sumatera Utara yaitu ‘Marsipature Hutana Be’ atau saling membenahi kampung halaman masing-masing. Istilah ini menjadi sebuat panggilan untuk masyarakat batak yang sukses di perantauan untuk membenahi kampung halamannya sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi. Perantau diharapkan dapat bergotong royong membangun kampung halamannya, terutama dalam hal pendanaan (Sibarani, 2018).
Terlalu luas jika dalam hal ini kita membahas konsep membangun kampung halaman maka dalam hal ini akan dianggap membangun keluarganya sebab perantau batak kerap menolong keluarganya dalam hal pendanaan. Biasanya orang batak yang sudah mapan secara ekonomi akan membantu saudaranya menggapai pendidikan setinggi mungkin yang tentunya tak lepas dari pendanaan. Mereka menganggap jika dirinya sudah sukses maka ia memiliki kewajiban dan terpanggil untuk membantu keluarganya. Membalas kebaikan orangtua adalah kesadaran diri tanpa harus diperintah. Kemudian untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga melalui pendidikan juga dianggap sebagai salah satu cara untuk memenuhi salah satu falsafah batak yaitu hagabeon (memiliki keturunan yang sukses secara ekonomi dan pendidikan) dan hasangapon (kehormatan). Hal tersebutlah yang mengacu banyaknya masyarakat batak yang telah sukses di perantauan lebih sering membantu saudara/inya di kampung halaman.
3H sebagai falsafah hidup orang batak juga menjadi salah satu alasan orang batak memiliki jiwa saling menolong sesama keluarga hingga bisa meraih kesuksesan karena falsafah ini tidak hanya mencakup dirinya sendiri melainkan anggota keluarganya yang lain. Ketika ia mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu saudara-saudaranya tanpa harus diminta, maka ia akan lebih dihormati di dalam keluarganya dan di kampung halamannya. Namun bukan hanya perantau saja, nama orangtuanya juga akan harum di kampung halamannya sebab dianggap telah berhasil mendidik anaknya hingga sukses di perantauan dan telah banyak membantu keluarganya. Ketika hal tersebut terjadi maka hagabeon (keturunan yang sukses) dan hasangapon (kehormatan) yang merupakan bagian dari 3 nilai hidup yang diperjuangkan oleh masyarakat batak telah terpenuhi.
Bagi masyarakat batak, penjelasan terkait sandwich generation yang dijelaskan oleh Dorothy yang erat dengan beban dan stress akan berseberangan sebab pada dasarnya masyarakat batak akan menganggapnya sebagai salah satu cara pemenuhan falsafah 3H sekaligus mengikat mereka dalam falsafah kekerabatan Dalihan Na Tolu. Saling menolong dalam keluarga telah dijalankan sejak dulu dan terbukti mampu membuat masyarakat batak eksis hingga sekarang. Hagabeon, hasangapon dan Marsipature Hutana Be ada untuk menjelaskan kenapa masyarakat batak yang mampu secara ekonomi pasti akan memilih untuk menolong saudaranya yang berada di kampung halaman. (Editor: Rusydan Fathy)
Daftar Pustaka
Berlian, H., Tampan, K., & Pekanbaru, K. (2019). JOM FISIP Vol. 6: Edisi II Juli — Desember 2019 Page 1. PERAN DALIHAN NA TOLU DALAM PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA Di Kelurahan Tanjung Penyembal Kota Dumai Oleh, 6, 1–13. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPBS
Dalimunthe, I. S., & Lubis, A. S. (2019). AS THE BASIC PHILOSOPHY IN EDUCATING CHILDREN. El Harakah, 21(2), 199–216. https://doi.org/10.18860/el.v21i2.6683
Evans, K. L., Millsteed, J., Richmond, J. E., Falkmer, M., Falkmer, T., Girdler, S. J., Evans, K. L., Millsteed, J., Richmond, J. E., & Falkmer, M. (2018). The impact of within and between role experiences on role balance outcomes for working Sandwich Generation Women. Scandinavian Journal of Occupational Therapy, 0(0), 1–10. https://doi.org/10.1080/11038128.2018.1449888
Kara Duckworth. (2021). Sandwich Generation: How Do You Decide Whose Needs Come First? Kiplinger.Com. https://www.kiplinger.com/retirement/retirement-planning/603829/sandwich-generation-how-do-you-decide-whose-needs-come-first
Miller, D. A. (1981). The ’ sandwich ’ generation : adult children of the aging. 419–423.
Nur, S. M., Rasminto, & Khausar. (2019). Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Kebudayaan ( Studi Pada Keluarga Suku Batak Toba ). Bina Gogik: Jurnal Il, 6(2), 61–74.
Riyadi, A. (2019). Merantau: Sebuah Pilihan Atau Keterpaksaan? Studi Supir Angkutan Kota Perantau Batak Angkola-Mandailing Di Kota Bandung. Indonesian Journal of Social Science Education (IJSSE), 1(1), 35–48. http://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/ijsse/article/view/35-48
Sibarani, R. (2018). International Journal of Human Rights in Healthcare Batak Toba Society ’ s Local Wisdom of Mutual Cooperation in Toba Lake Area : A linguistic Anthropology Study. International Journal of Humanities and Social Science, 3.
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Ririn Purba adalah seorang perempuan kelahiran Tarutung, Sumatera Utara yang telah menempuh pendidikan S-1 Antropologi Sosial di Uiversitas Sumatera Utara (2014-2018). Penulis merupakan seorang Peneliti Ahli pertama di Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa dan Konektivitas BRIN sejak tahun 2022. Sebelumnya, penulis merupakan Peneliti Ahli Pertama di Kemensos RI sejak tahun 2019 hingga tahun 2021. Minat penelitian penulis adalah budaya dan perubahan sosial, media dan kewirausahaan sosial. Penulis dapat dihubungi melali email: ririnpurba2@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial