Oleh Wahyudi Akmaliah (Peneliti PMB LIPI)

Semua orang pernah melakukan ziarah. Ini karena, selain sering dipraktikkan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, ziarah merupakan tradisi yang terus hidup dan dihidupkan. Selain memanjatkan doa kepada leluhurnya (kakek, nenek, ayah, bunda, ataupun sanak famili) yang telah meninggal agar diberikan ampunan kepada Sang Khaliq atas apa yang telah dilakukan semasa hidupnya, dalam tradisi Muslim Indonesia, ziarah merupakan upaya mengenang untuk mengambil pelajaran dan nilai-nilai kebaikan kepada orang yang telah meninggal. Ziarah ini tidak hanya dilakukan kepada sanak famili yang telah meninggal, melainkan juga kepada tokoh-tokoh Islam berpengaruh, dalam rentang sejarah panjang munculnya Islam di Indonesia, yang telah memberikan kontribusi penting dalam pembangunan peradaban melalui tindakan-tindakan kebajikan yang telah dilakukan semasa hidupnya. Misalnya, Wali Songo dan tokoh-tokoh Islam yang muncul di daerah-daerah Indonesia. Kuburan tokoh-tokoh Islam itu kemudian menjadi tempat penting dan suci. Melalui ruang yang dimuliakan itulah orang berkunjung dan berdoa. Ini dilakukan untuk menguatkan iman, menyucikan diri, dan mengingatkan kembali hakikat dirinya sebagai manusia. Saat ditangkap oleh penggerak kapitalisme ekonomi, dalam hal ini agen travel, ziarah ke tokoh-tokoh besar Islam inilah kemudian dikomodifikasi dengan nama Wisata Religi.

Berbeda dari penjelasan di atas, selain sebagai upaya untuk mengenang, mendoakan, dan mengambil pelajaran atas kebaikan seseorang yang telah meninggal, bagi Mbah Sri berziarah merupakan proses pencarian sang suami, Prawiro Sahid, yang tidak kembali setelah 70 tahun pamit pergi untuk membela negara. Prawiro pamit kepadanya untuk ikut berperang melawan agresi Militer Belanda II tahun 1948. Pasca perang usai, Mbah Sri tidak mendapatkan kabar ataupun berita terkait dengan suaminya; apakah benar sudah meninggal ataukah masih hidup? Apabila masih hidup di manakah kuburannya? Ingatan mengenai suaminya ini yang terus tumbuh dan mengekal dalam ingatannya, meskipun usianya terus digerus waktu sampai ia menginjakkan usia 90 tahunan. Upaya mencari kuburan sang suami ini yang selalu diminta Mbah Sri kepada cucu laki-laki satu-satunya, yang selama ini merawatnya di tengah ketiadaan orangtuanya yang telah meninggal. Film Ziarah disutradarai BW Putra Negara, alumnus Filsafat UGM, ini bercerita mengenai pencarian tersebut.
Proses pencarian ini membawanya kepada narasi-narasi baru di luar pengetahuan dirinya mengenai sosok Prawiro. Narasi-narasi ini membingungkan dirinya. Ada yang mengatakan bahwa Prawiro adalah sosok pahlawan karena ia berani mengorbankan dirinya menjadi umpan agar pasukan Militer Belanda mau ke luar dari sarangnya. Sementara itu, orang lain yang ditemuinya mengatakan berbeda, ia meninggal karena ditembak yang dikiranya dikira sebagai mata-mata Belanda. Ini karena, saat itu ia menaiki kendaraan jeep milik Belanda sebagai rampasan, sehingga diserang oleh pasukan serang Indonesia. Bahkan, ada yang menganggapnya salah kaprah dengan mengatakan bahwa Prawiro sendiri merupakan salah satu anggota militer rezim Orde Baru yang melakukan penggusuran untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo. Melalui proses pencarian dan narasi yang dituturkan dari orang-orang yang ditemuinya, secara tidak langsung, film ini membawa kepada ingatan mengenai peristiwa kelam yang muncul dalam praktik sejarah Indonesia, mulai dari kekejaman Belanda, Jepang, tragedi 1965, narasi bunuh diri pulung gantung, dan juga perampasan tanah masyarakat untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo selama rejim Orde Baru berkuasa.

Melalui penjelasan dan petunjuk anggota masyarakat yang ditemuinya, di Waduk Kedung Ombo, yang dahulu merupakan desa Kweni, inilah kemudian Mbah Sri menaburkan bunga di tengah-tengah persis di mana sang suami konon dikuburkan sebagai pahlawan di kuburan yang dahulu bernama Alas Pucung. Usai menaburkan bunga melalui perahu di tengah Waduk tersebut, ia diajak pulang oleh cucunya, yang telah mencarinya selama 4 hari. Selain diwasiatkan oleh kedua orangtuanya untuk menjaga sang nenek, cucunya ini juga sedang ngebet ingin menikah. Karena itu, ia butuh kehadiran Mbah Sri sebagai pemberi restu dan pemberi warisan tanah.
Setelah kembali ke rumah, Mbah Sri mendapatkan informasi bahwa Prawiro ternyata memiliki dua keris. Keris itulah yang membuatnya kebal senjata dan bisa menghadapi serangan Belanda dari senjata api. Sementara itu, keris satunya dipegang oleh Mbah Sri. Berbekal informasi tersebut, dengan menjadikan keris sebagai kompas yang secara mistis bisa mengarahkan untuk menemui pasangannya, Mbah Sri kemudian melakukan proses pencarian kembali seorang diri. Saat bertemu dengan seorang perempuan tunanetra ini, ia mendapatkan petunjuk baru terkait dengan suaminya yang dikuburkan. Sayangnya, saat menuju kuburan yang ditunjukkan tersebut oleh Abdi, salah seorang teman Prawiro semasa hidup, ternyata berusaha menyesatkannya dengan mengarahkan kepada kuburan lain dengan bantuan orang yang akan ditanyakan Mbah Sri di jalan.
Dari sini, alur cerita yang awalnya monoton dengan iringan musik yang menyayat menjadi tegang. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan, mengapa Abdi mengalihkan dan menyesatkan kuburan yang selama ini dicari oleh Mbah Sri? Ada apa sebenarnya di balik pengalihan tersebut? Saat Mbah Sri diarahkan untuk kembali ke rumahnya, melalui bantuan sopir yang rencananya membawanya kembali ke rumah, kemudian menunjukkan Pemakaman Muktilaya, tempat pemakaman kuburan umum yang selama ini dicari. Proses pencarian yang panjang, ingatan masa lalu yang menjadi trauma, dan keinginan untuk meninggal kelak di samping suaminya mulai menemukan titik terang. Alih-alih menemukan kuburan dan batu nisan Prawiro seorang diri yang meninggal pada tahun 1985, ia justru menemukan kuburan tersebut bersanding dengan kuburan yang lain, persis di sampingnya, bernama Sutarmi Prawiro, meninggal tahun 1987. Proses pencarian dan ingatan mengenai suami yang dicintainya selama ini ternyata tidak meninggal. Sebaliknya, saat perang usai, Prawiro tidak kembali ke rumah. Ia malah merajut kehidupan baru dengan menikah dengan perempuan lain.

Melihat hal tersebut, tubuh Mbah Sri menjadi lemas. Ia jatuh pingsan. Alih-alih langsung meninggalkan kuburan tersebut begitu saja, Mbah Sri justru melafalkan doa dan menyebarkan bunga melati kepada keduanya. Di sini, ia benar-benar memberlakukan makam keduanya seakan sebagai orang yang sama-sama pernah hidup dalam relung hidupnya yang terdalam. Mengakhiri film dengan cara seperti itu menunjukkan kejeniusan sutradara BW Putra Negara. Ia mengakhiri film dengan cara yang tak lazim tapi sangat tajam menusukkan pisau jawaban dari jantung pertanyaan yang sepanjang 87 menit ini terus dinantikan. Tentu saja, kehebatan dari BW ini tidak hanya alur cerita yang dibangun, melainkan juga pilihan dari tokoh utama dan orang-orang biasa yang muncul dalam film tersebut, menghidupkan film tersebut menjadi benar-benar nyata dihadapan penonton dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar utama percakapan. Dengan menyeguhkan latar belakang desa-desa di Jawa Tengah, seperti Sleman, Gunung Kidul, dan area sekitar Waduk Kedung Ombo, BW Putra Negara memotret visualisasi tersebut dengan biasa dan sederhana. Potret ini membuat orang yang menonton seakan terlibat dan menjadi bagian dari film tersebut seraya menggali ingatan masa kecil mereka yang pernah tumbuh di kampung-kampung dengan suasana gunung, lembah, sawah, dan jalan-jalan tak beraspal.
Melalui film ini, BW menegaskan kembali mengenai makna ziarah yang selama ini dipahami. Selain bermakna spiritual, ziarah itu merupakan perjalanan orang dengan kemampuannya sendiri untuk berdamai dengan masa lalu. Dengan kata lain, masa lalu memang perlu diingat, tetapi tidak boleh dijadikan beban yang memanjarakan orang. Dengan sosok Mbah Sri, film Ziarah ini mengajak ingatan personal kita yang terdalam untuk keluar dari masa lalu tersebut dengan menginsyafinya sambil terus menatap ke depan atas torehan trauma yang membekas dan membentuk identitas kita saat ini atas satu momen yang membuat kita terus mengingat. (Ranny Rastati/editor)
_______________________________________
Tentang Penulis
Wahyudi Akmaliah adalah peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK, sebelumnya PMB) LIPI. Ia menyelesaikan S1 di jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2003), melanjutkan jenjang S2 di dua kampus yang berbeda; bidang Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma (2008) dan International Peace Studies di University for Peace, Costa Rica. Selama di LIPI, ia mendalami dua tema riset, yaitu Kekerasan dan Politik Ingatan serta Kajian Budaya dengan memfokuskan kepada Islam, Identitas, dan Budaya Populer. Untuk korespondensi, Ia dapat dihubungi melalui surat elektronik (email), wahyudiakmaliah@gmail.com.
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah