Oleh Wahyudi Akmaliah (Peneliti PMB LIPI)

 

Trend Film Biopik

Akhir-akhir ini, biografi para tokoh-tokoh terkenal Indonesia banyak dibuatkan filmnya. Padahal, jika membaca tren di Amerika Serikat, sejak tahun 1963 film-film biografi banyak yang mati suri. Film biografi ini dalam Kajian Sinema dikenal dengan singkatan biopic (biographical motion picture). Dalam kamus Cambridge, kata biopik ini merujuk pada pembuatan film mengenai kehidupan seseorang (dictionary.cambridge.org, 2017). Sementara itu, peningkatan film biopik di Indonesia bisa dibaca lebih jauh pada era pasca rezim Orde Baru. Menurut catatan Kumparan, sejak tahun 2011 hingga 2017, industri film Indonesia telah mengeluarkan 18 film biopik dalam kurun waktu 6 tahun. Angka ini naik 80 persen dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya mencapai 10 film.  Pada tahun 1990an, film ini mengalami mati suri, yang menandakan tidak adanya film biopik yang direproduksi. Meskipun pada tahun 1981 hingga 1990an awal, ada 4 film biopik dibuat. Sementara itu, pada tahun 1970-an ada 5 film biopik. Apabila kita mundur kembali ke belakang pada tahun 1960-an ada satu film biopik Indonesia sebagai pembuka dengan berjudul Toha, Pahlawan Bandung Selatan (Kumparan.com, 30 Maret 2017).

Melihat trend peningkatan film biopik ini ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan; Apakah ini sebagai bentuk media pendidikan sebagaimana sering diungkapkan oleh banyak kalangan, di mana masyarakat bisa lebih mengenal dan mendapatkan inspirasi dari tokoh-tokoh semacam Kartini, Soekarno, Ahmad Dahlan, Hasyim As’yari, Gie, Habibie-Ainun, dan Athirah? Dengan demikian, sejauhmana masyarakat bisa menilai itu bagian dari aspirasi media pendidikan, di satu sisi, dan, di sisi lain, itu dari perayaan identitas kelompok, komunitas, dan keluarga terkait dengan kontribusi kepahlawanan agar lebih dikenal oleh masyarakat? Meskipun bermaksud untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat Indonesia terkait dengan kontribusi, jasa-jasa, dan tindakan kepahlawanan tokoh-tokoh besar yang telah membentuk wajah sejarah Indonesia, logika ekonomi untuk mendapatkan untung dari produksi film-film tersebut merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dalam pembuatan film tersebut. Di sisi lain, memperkenalkan secara luas dengan memfilmkan sebuah tokoh agar dikenal publik ini juga sebagai bentuk perayaan identitas mengenai anggota keluarganya yang dianggap sukses dalam membesarkan anak-anaknya sehingga menjadi orang yang berhasil ataupun ketokohan seseorang menjadi sukses di negeri orang dan negerinya sendiri. Dampaknya, pengenalan melalui film jika tidak digarap dengan baik, menjadi lebih terkesan sebagai media narsistik ketimbang menumbuhkan inspirasi penonton untuk meniru ataupun meneladani tokoh tersebut.

Sumber: https://assets.rappler.com/612F469A6EA84F6BAE882D2B94A4B421/img/288D8C850C194C61B561FC3573CE7441/wiji-thukul.jpg

 

Di tengah dua pertanyaan tersebut, bagaimana menempatkan film Istirahatlah Kata-Kata (IKK) yang disutradarai Yosef Anggi Noen, diperankan Gunawan Maryanto (Wiji Thukul) dan Marissa Anisa (Sipon)? Terkait dengan ketokohan nasional, Wiji Thukul juga bukanlah tokoh besar dan nasional yang terkenal dan masuk dalam ingatan publik Indonesia. Meskipun namanya sering dimuat dipelbagai liputan media massa, tidak banyak publik yang mengenal lebih jauh mengenai sosoknya. Namun demikian, ketika Wiji Thukul difilmkan dan kemudian masuk dalam layar lebar memunculkan dua berdebatan. Pertama, Wiji Thukul dan Representasi Kelas Bawah. Alih-alih menyukai bahwa biopik Wiji Tukul bisa masuk dalam lebar lebar sehingga bisa dikenal dan ditonton oleh lapisan masyarakat, bagi sebagian kecil kalangan yang mengenal Wiji Thukul, baik secara personal ataupun melalui bacaan, dan perbincangan, ia bukanlah tokoh komersil yang semestinya masuk dalam bioskop yang biasanya ditonton oleh kelas menengah dan kelas atas. Kehadiran Wiji Thukul dalam bioskop, dengan demikian, itu  menciderai representasi kelas bawah dan tertindas yang justru diperjuangkan olehnya.

Kedua, penggambaran biopik Wiji Thukul dalam film. Gerakan buruh yang diorganisir oleh Wiji Thukul dan juga kerja-kerja kebudayaannya melalui pembacaan puisinya, diskusi, dan pengorganisasian massa serta isi-isi puisinya yang mencerminkan mengenai kepedihan, ketertindasan, dan perlawanan ketidakadilan kelompok buruh dan kelas bawah ini seharusnya menciptakan semacam kepahlawanan seorang Wiji Thukul yang bisa diperlihatkan oleh kelompok generasi muda saat ini. Alih-alih mencerminkan puisi-puisi Wiji Tukul dan sikap aktivismenya, dalam film ini ditunjukkan satu penggal periode pelariannya, yang diisi oleh kegelisahan, kegetiran, dan ketakutan yang dialaminya saat berada di Pontianak. Karena itu, film ini, jika tidak berhati-hati, bisa dianggap sebagai bentuk pengembosan spirit perlawanan yang diperlihatkan oleh Wiji Tukul dalam aktivisme dan juga puisi-puisinya.

 

Fragmen Dalam Buronan

Secara komersil, jika melihat aktivisme dan puisi-puisi Wiji Thukul, Yosef Anggi Noen sebenarnya memiliki materi yang berlimpah untuk membuat film ini menjadi lebih heroik dan dramatik dengan mengangkat penggalan episode perlawanannya saat memimpin gerakan buruh sambil membacakan puisi. Namun, langkah itu tidak ditempuhnya. Dengan memegang prinsip film sebagai media kontemplatif, dengan sadar dan melalui riset yang panjang, ia memilih periode Wiji Thukul dalam masa pelarian. Ia menempatkan Wiji Thukul sebagai orang biasa yang sama seperti kita. Sebab itu, sepanjang 90 menit film ini, kita diajak untuk berdialog melalui visualisasi gambar, bunyi, dan pelbagai momentum adegan serta pertemuan yang dialami oleh Wiji Thukul dengan memimalisir kata. Bagi kebanyakan orang, termasuk saya, yang terbiasa dengan suguhan film-film Hollywood, terkait dengan cara bagaimana narasi ini dikemas, film ini bisa menjadi sangat membosankan. Namun, kemampuan artikulasi tokoh-tokohnya dan detail dari penggambaran setiap adegan membuat saya merasakan filmis bahwa itu bagian dari kehidupan sehari-hari yang sebenarnya juga kita alami.

Sumber: https://cdn.brilio.net/news/2017/01/07/113929/552433–istirahatlah-kata-kata-.jpg

Namun, titik pembeda pengalaman keseharian antara saya dan Wiji Thukul ini ada dua. Pertama, keseharian yang dialami oleh Wiji Thukul terjadi di era Orde Baru, di mana kekuasaan negara bersifat sentralistik. Akibatnya, meskipun memiliki kebebasan tetapi ada aparatus yang setiap saat bisa mengintai dan kemudian menangkap kita apabila itu dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum. Kedua, posisinya sebagai seorang buron. Pasca Peristiwa 27 Juli 1997 di Jakarta. Selain dituduh sebagai dalang provokator, paska peristiwa itu, banyak dari para aktivis kiri, dalam hal ini Partai Demokratik (PRD) masuk ke dalam daftar orang yang dikejar dan ditangkapi oleh rezim otoriter Orde Baru. Thukul adalah salah satu dalam daftar nama orang yang masuk dalam target operasi tersebut. Posisi seorang buron inilah yang memiliki dimensi dan keseharian yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat.

Dalam posisi seorang buron, melalui film ini, saya diperlihatkan bagaimana struktur dan kontrol negara itu bekerja dan kemudian masuk dalam emosi Wiji Thukul. Hal ini tercermin dengan kedua aparat militer, baik sungguhan ataupun yang palsu menginterogasi Wiji Thukul dengan momentum yang berbeda. Momentum pertama saat Wiji Thukul ingin memotong rambut yang diantarkan oleh temannya, aktivis asal Medan, Martin (diperankan oleh Eduwart Boang Manalu). Saat ingin memotong rambut itulah tiba-tiba datang seorang aparat militer yang kemudian didahulukan oleh tukang cukur. Selama menunggu giliran inilah percakapan biasa berubah menjadi interogasi atas posisi dan identitas Wiji Thukul. Momen kedua, saat Wiji Thukul dan temannya dicegat oleh seseorang yang bertampang aparat militer di malam hari untuk menanyakan KTP-nya. Dua adegan tersebut tidak hanya menciptakan kekhawatiran saya yang menonton, melainkan efek dramatik kecemasan dengan pertanyaan liar dipikiran; jangan-jangan Wiji Thukul langsung ditangkap dan di penjara.

 

Wiji Thukul Sebagai Konteks

Bagi saya, menonton film ini, setidaknya ada empat hal penting yang bisa dipetik. Pertama, pemicu perkenalan kepada sosok Wiji Thukul. Sebagaimana diketahui, perbincangan mengenai isu HAM dan khususnya korban pelanggaran HAM, baik mereka yang dibunuh dan dihilangkan biasanya hanya terbatas juga kepada kalangan kelompok HAM sendiri. Akibatnya, sosialisasi mengenai kasus itu sendiri menjadi terbatas dan bukan bagian dari pengetahuan budaya populer yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Isu HAM dibahas sekedar pada momentum kasuistik tahunan sebagai bentuk peringatan dan kampanye kepresidenan sebagai bentuk menjatuhkan lawan politiknya. Memang, tidak banyak yang bisa diceritakan dalam film ini secara detail mengenai sosok Wiji Thukul, apa yang ia lakukan, dan bagaimana puisi-puisinya menjadi agitator dalam demonstrasi buruh di bawah negara Orde Baru serta bagaimana kemudian ia (di)hilang(kan). Di sini, penonton dituntut untuk mencari informasi sendiri mengenai sosok Wiji Thukul sebelum menonton film ini.

Kedua, aktivasi ingatan. Di tengah tidak selesainya kasus-kasus pelanggaran HAM dalam setiap periode pemerintahan pasca rezim Orde Baru, melalui sosok Wiji Thukul kepada khalayak luas, film ini menjadi semacam pengingat. Menjadi pengingat, film ini membawa imajinasi penonton ke dalam relung suasana muram sebagai buronan di bawah rezim Orde Baru; menyebalkan, militeristik, dan penuh mata-mata kepada mereka yang berpolitik, baik itu mengkritik kepada pemerintah ataupun yang tidak suka terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Meskipun dengan situasi yang berbeda, konteks pengontrolan ini mengalami berpindahan, dari otorianisme negara menuju kecenderungan otoritanisme massa dan agama pasca rezim Orde Baru. Saat ini atas nama agama, sekelompok orang berhak untuk melakukan pelarangan dan pelaporan hukum melalui sejumlah regulasi karet yang satu waktu bisa menjerat seseorang. Di sisi lain, atas nama massa yang membela Pancasila, sekelompok paramiliter atau Kelompok Kekerasan bisa saja membubarkan acara tayangan nonton bareng atau diskusi dengan dalih menyebarkan komunisme, tidak sesuai dengan Undang-Undang ataupun melecehkan tokoh tertentu. Dengan demikian, film IKK menjadi momentum bahwa kerja-kerja perlawanan yang diperjuangkan oleh Wiji Thukul, baik melalui aksi maupun melalui puisinya adalah jalan panjang Indonesia menuju keadilan sebagai warga negara, entah apapun mereka latarbelakangnya dihadapan despotik kekuasaan.

Sumber: http://kbr.id/media/?filename=f77364a3885ab2ec18f3e141a62dda77.jpg

Ketiga, perempuan dan kepergian. Ditinggalkan berbulan-bulan dengan memiliki dua anak yang masih kecil (Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah) bukanlah perkara mudah bagi Sipon, istri Wiji Thukul. Selain difitnah, dilecehkan, juga seringkali mendapatkan teror dari mata-mata aparatus negara. Dengan cukup baik, Yosef Anggi Noen menunjukkan mentalitas berkebalikan dalam membaca psikologis perempuan. Sipon terlihat kuat ketika tidak ada Wiji Thukul. Sebaliknya, ia menjadi lemah dan kemudian menangis saat suaminya berada di sampingnya. Selama Thukul dalam pelarian, ketika tidak ada yang bisa dijadikan tempat bersandar, Sipon menguatkan dirinya terus-menerus sambil berharap satu waktu ia akan kembali. Namun, saat suaminya telah kembali kekuatan diri yang terus diperjuangkan membutuhkan sandaran dan terlihat roboh ketika sang suami hadir. Tangisan dengan keras ini ditunjukkan Sipon ketika ia memarahi tetangganya karena telah memfitnahnya sebagai lonte (Pekerja Seks Komersil). Dengan kata lain, perempuan memiliki daya kekuataan dan survival luar biasa di tengah kepergian orang yang dicintainya. Meskipun demikian, kekuatan itu tetaplah membutuhkan penopang dari pasangan hidupnya.

Keempat, cinta dan pemberian. Meskipun sedang menjadi buronan, ingatan atas Sipon selalu hidup dalam pikirannya. Selain tekanan, kecemasan dan rasa kalut, situasi rindu ini yang membuatnya sulit untuk produktif menulis puisi dalam masa pelarian. Sebaliknya wajah Thukul terlihat ceria setelah menelepon istrinya. Meskipun menjadi buron, sebagai suami ia ingin memberikan yang terbaik untuk Sipon. Alih-alih memberikan pakaian baru yang bagus dan mewah, Thukul, dengan kesederhanaan dan kemiskinannya, membelikan celana merah pendek yang dibelinya di Kios Pakaian Bekas Import. Dengan bagus sekali Yosef Anggi Noen kemudian menunjukkan bagaimana rasa cinta Thukul kepada Sipon yang diperlihatkan saat mencuci kembali celana tersebut dengan menggunakan air panas. Bagi saya, yang pernah memiliki pengalaman serupa, membeli Pakaian Bekas Import, memahami benar bagaimana perasaan mencuci pakaian tersebut dengan air panas; ada perasaan senang karena telah membeli pakaian yang disukai dan didapatkan dengan harga yang cocok secara ekonomi di kantong, tapi bisa mengikuti selera terkini dalam berpakaian. (Editor: Ranny Rastati)

 

*) Artikel ini dipresentasikan dalam Nonton dan Diskusi Film Istirahatlah Kata-Kata, diselenggarakan oleh Maarif Institute pada 29 Agustus 2017

 

Daftar Pustaka:

Anonim. “Biopic”, Cambridge Dictionary, http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/biopic, (diakses pada tanggal 4 September 2017)

Tim Editorial Kumparan. “Wajah dan Masa Depan Film Biopik Indonesia”, Kumparan.com, 30 Maret 2017, https://kumparan.com/tio/film-biopik-indonesia-wajah-langkah-dan-nasibnya (diakses pada tanggal 26 Agustus 2017)

_____________________________________

TENTANG PENULIS

Wahyudi Akmaliah adalah peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK, sebelumnya PMB) LIPI. Ia menyelesaikan S1 di jurusan Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2003), melanjutkan jenjang S2 di dua kampus yang berbeda; bidang Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma (2008) dan International Peace Studies di University for Peace, Costa Rica. Selama di LIPI, ia mendalami dua tema riset, yaitu Kekerasan dan Politik Ingatan serta Kajian Budaya dengan memfokuskan kepada Islam, Identitas, dan Budaya Populer. Untuk korespondensi, Ia dapat dihubungi melalui surat elektronik (email), wahyudiakmaliah@gmail.com.