[Masyarakat & Budaya, Vol. 27, No. 10, November 2022]
oleh Anastasya, Panorama, dan Intan Cahya Septia (Mahasiswa Antropologi Sosial di Universitas Diponegoro)
Gerakan feminisme hadir sebagai respon kritis dari perlakuan diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu tujuan kehadirannya adalah untuk menuntut kesetaraan hak dan kepentingan perempuan. Gerakan ini dapat berupa resistensi terbuka yakni resistensi yang ditandai dengan dengan adanya perlawan yang terorganisir, sistematis, dan berprinsip, bentuk perlawanannya juga secara terang-terangan atau tidak sembunyi (Susilowati & Indarti, 2018). Pada konteks Indonesia gerakan feminisme masih terus mengalami perkembangan. Setelah era gerakan perlawanan Kartini melalui bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang, para feminis atau penggiat kesetaraan gender mulai memanfaatkan banyak media lainnya untuk mengangkat serta menyebarkan nilai-nilai feminisme salah satunya melalui film. Film sebagai bagian dari media massa dimana memiliki cakupan area dan sasaran yang luas, mampu mengubah pola pikir dan perilaku seseorang berdasarkan keberpihakannya. Film, sebagai sebuah praktik sosial, memiliki kemampuan dalam mengemas sebuah konsep, ide atau gagasan menjadi sebuah wacana yang diletakkan pada ruang publik melalui sinematografi. Selain itu ia merupakan suatu komoditas yang dapat disalin, didistribusikan, dan diputar berulang-ulang sehingga dapat terus dikonsumsi dengan dampak substansial (Sheth, Jones & Spencer, 2021). Maka, film efektif digunakan sebagai alat untuk menyebarkan ideologi kepada massa dan juga sarana transformasi sosial dan individu dengan harapan dapat membentuk keyakinan, memengaruhi pendapat, dan mengubah sikap manusia terhadap suatu masalah sosial (Kubrak, 2020). Wulandari (2019) juga menjelaskan bahwa film memiliki fungsi representasi masyarakat dimana film membentuk dan menghadirkan kembali kenyataan berdasarkan kode-kode, konvensi dan ideologi dari kebudayaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tulisan ini fokus untuk melihat representasi ketidaksetaraan gender dan resistensi pada Film Yuni. Alasan memilih film ini, antara lain: 1). Film tersebut dianggap menarik karena secara khusus menggunakan latar belakang masyarakat Serang dengan nilai-nilai budayanya secara holistik. 2) Latar belakang tokoh remaja yang memiliki hasrat gejolak masih membara. 3). Film ini mendapatkan perhatian mendalam oleh para penikmat film. Film yang dirilis pada tahun 2021 ini menarik perhatian para penikmat film, dilansir dari MPOTIMES.id yang mengutip beberapa tanggapan dari para penonton film Yuni, mereka merespon film ini dengan tanggapan positif. Akun Twitter @runiarumdari memberikan tanggapannya bahwa film Yuni banyak memberikan informasi tentang dampak budaya patriarki (Rahman, 2021).
Metode analisis yang digunakan dalam tulisan ini adalah Multimodal Discourse Analysis. Oyebode dan Unuabonah (2013) menjelaskan bahwa multimodal discourse analysis merupakan usaha untuk menemukan makna yang dimaksudkan dalam suatu peristiwa komunikatif yang melampuai bahasa dengan menggunakan bahan-bahan lainnya seperti warna, font, gambar, ikon, dll. Dengan kata lain bahwa multimodal discourse adalah studi mengenai berbagai metode yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Metode ini dapat dilakukan dengan banyak cara seperti menganalisis isi, percakapan, dan semiotika sosial yang dapat dilihat dari berbagai perspektif seperti warna, genre, tata letak, gambar, suara, tindakan dll.
Ringkasan Film Yuni (2021)
Film Yuni merupakan karya sutradara Kamila Andini. Film ini berkisah tentang Yuni, seorang siswi kelas 3 SMA, yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi melalui beasiswa. Namun cita-citanya tersebut harus mengalami kendala dikarenakan lamaran-lamaran pernikahan yang terus datang kepadanya. Permasalahan lamaran tidak begitu saja mudah dihadapi karena adanya tekanan dari budaya dalam masyarakat sehingga membuatnya tidak bisa mengambil keputusan secara bebas.
Representasi Ketidaksetaraan Gender dalam Film Yuni
Film yuni secara jelas mengangkat isu mengenai ketidaksetaraan gender akibat budaya patriarki dari sudut pandang perempuan. Salah satu bidang dimana perempuan mendapatkan ketidaksetaraan adalah pada pendidikan. Permasalahan tersebut ditampilkan secara jelas dalam Film Yuni. Pada adegan 1.08.15 menampilkan percakapan antara kepala sekolah dan Bu Lies mengenai permasalahan pendidikan perempuan. Bu Lies merupakan seorang guru di sekolah Yuni yang memperjuangkan pendidikan tinggi bagi murid-muridnya. Namun kepala sekolah memiliki perbedaan pendapat dengannya. Kepala sekolah mengatakan “Iye, tapi paham Bu Lis kudu paham asal-usulle bocah kuwen. Apa maning bocah wadon, ugah wong tuwane pengene ngawinaken daripada sekolah.” yang berarti ia meminta Bu Lies untuk memahami kondisi anak perempuan yang orang tuanya lebih ingin menikahkan mereka daripada menyekolahkannya. Keinginan orang tua dalam masyarakat untuk menikahkan anaknya dibandingkan menyekolahkan anaknya yang menjadi gambaran ketidaksetaraan yang dialami perempuan. Diskriminasi pada aspek pendidikan tak jauh dari stereotip tentang peran gender di ruang pribadi dan publik yang mutlak. Peran sebagai ibu rumah tangga yang fokus dan bertanggung jawab pada pekerjaan domestik membuat perempuan dianggap tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi atau berkarir. Padahal di sisi lain dengan jelas tercantum dalam pembukaan UUD 1945 bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Melalui pendidikan seseorang dapat mengembangkan kemampuan dan potensi diri yang nantinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pandangan mengenai pendidikan perempuan juga berkaitan dengan pernikahan usia dini pada perempuan. Pada film Yuni ditunjukkan bagaimana Yuni yang akan segera tamat sekolah sudah mendapatkan tiga lamaran pernikahan. Pertama, ia mendapatkan lamaran dari Imam seorang pekerja pabrik yang baru ia temui satu kali. Kedua, ia mendapatkan lamaran dari Mang Dodi untuk menjadi istri kedua. Ketiga, ia mendapatkan lamaran dari Pak Damar yang merupakan guru bahasa Indonesia di sekolahnya. Keluarga dan masyarakat di sekitar Yuni justru mendukung atau tidak mempermasalahkan jika Yuni hendak menikah setelah lulus SMA. Pernikahan perempuan usia dini tidak hanya dialami oleh tokoh Yuni melainkan juga oleh perempuan pada masyarakat Indonesia.
Selain usia, keperawanan merupakan hal lainnya yang menjadi penting bagi perempuan. Keperawanan seolah melekat dengan harga diri seorang perempuan. Hal tersebut juga ditampilkan secara tersurat dalam Film Yuni. Pada adegan ketika Mang Dodi melamar Yuni.Terdapat dialog yang disampaikan oleh Mang Dodi kepada nenek dari Yuni, “Seniki nembe awalan teh, mengken umpami Yuni sampun sah sareng kula lan ning malem pertame maler perawan, kontan kula tambih maleh 25 juta”, yang berarti Mang Dodi menjanjikan mahar yang lebih tinggi jika pada malam pertama nantinya yuni terbukti masih perawan. Hal tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa perempuan masih dinilai berdasarkan keperawanan. Perempuan yang masih perawan memiliki “nilai” lebih dibandingkan mereka yang sudah tidak perawan.
Lamaran-lamaran yang diterima oleh Yuni tidak dapat dengan mudah diabaikannya. Film ini menggambarkan bahwa perempuan tidak memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu atas dirinya sendiri. Budaya masyarakat menciptakan tekanan dan batasan dalam perilaku perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana orang-orang disekitar Yuni mengatakan bahwa ia beruntung mendapatkan lamaran dari Imam. Selain itu teman-teman juga menjadikannya sebagai bahan gunjingan seperti yang terdapat pada adegan 21.47:
“… Ceunah mah ditolak yah kus Yuni. Nya jelema kan beda beda, mereun Yuni mah luhur kreteriana. Aing mah sina kana karma, mengges keiu anu ngalamar teu eui hade dibanding ditolak. Kumaha, keduhung jasa sina mah.” (Dengar-dengar, Yuni menolak lamaran itu. Selera setiap orang berbeda. Mungkin Yuni memiliki standar yang lebih baik. Kalau aku jadi dia, pasti aku akan menerimanya. Nanti dia akan menyesal”).
Selain itu, terdapat pula pamali yang membatasi tingkah laku perempuan. Pamali menjadi salah satu simbol otoritas kaum laki-laki atas perempuan dengan tidak menghendaki mereka menolak keinginan laki-laki untuk menikahinya. Penolakan yang Yuni lakukan terhadap lamaran-lamaran yang ditunjukkan kepadanya membuatnya harus menghadapi gunjingan dari masyarakat. Masyarakat digambarkan memiliki pamali bahwa tidak baik seorang perempuan menolak lamaran sampai dua kali. Hal tersebut ditunjukan dalam dialog “Ce kolot maneh yun ulah eta nolak almaran lueh 2 kali pamali” yang berarti “Kalau kata orang tua dulu Yun, tidak baik menolak lamaran lebih dari dua kali”. Respon orang-orang di sekitar secara tidak langsung menekannya untuk seharusnya ia menerima lamaran-lamaran yang datang.
Film ini juga menampilkan resistensi-resistensi yang dilakukan Yuni terhadap diskriminasi yang Ia alami. Bentuk dari resistensi ini adalah penolakan-penolakan yang Yuni lakukan. Pada lamaran pertama, Yuni dapat dengan tegas menolak secara langsung lamaran Imam karena ia ingin memperjuangkan beasiswanya yang mana memiliki syarat untuk tidak menikah. Yuni mengatakan dengan tegas keputusannya kepada Imam dengan mengatakan “Kite ora bisa nikah kare sireg, kita ora bisa nikah kare sireg” yang berarti tidak mau menikah. Kedua, pada lamaran Mang Dodi. Yuni menolak lamaran dari Mang Dodi dengan mengatakan bahwa ia sudah tidak lagi perawan. Sebelumnya ia memutuskan untuk melakukan hubungan intim dengan Yoga, teman sekolahnya, agar ia tidak lagi perawan. Lalu pada lamaran ketiga, ia memutuskan untuk pergi tepat pada hari pernikahan. Akhir dari segala bentuk resistensi yang dilakukan oleh tokoh Yuni adalah ia tidak berhasil keluar dari kurungan budaya patrirki. Setelah ia berhasil membebaskan diri dari lamaran yang satu, ia harus menghadapi lamaran lainnya yang terus datang. Pada posisinya, lingkungan masyarakat tidak mendukung kebebasannya dan membuatnya semakin tenggelam dalam ketidaksetaraan. Melalui Film Yuni, masyarakat diharapkan dapat lebih terbuka mengenai pentingnya kesetaraan bagi setiap orang.
Penutup
Pada kesimpulannya, terdapat cuplikan-cuplikan yang menunjukkan ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan serta resistensi yang dilakukan oleh tokoh Yuni terhadap budaya patriarki. Namun, dalam melakukan resistensinya, Yuni tetap masih harus berhadapan dengan tekanan masyarakat yang membatasi kebebasannya sebagai perempuan atas dirinya sendiri. Penulis berharap kedepannya akan lebih banyak film-film yang mengangkat isu ketidasetaraan gender dengan latar belakang budaya masyarakat daerah di Indonesia. (Editor: Anissa Meutia Ratri)
Referensi
Kubrak T. (2020). Impact of Films: Changes in Young People’s Attitudes after Watching a Movie. Behavioral sciences (Basel, Switzerland), 10(5), 86. https://doi.org/10.3390/bs10050086.
Oyebode, O., & Unuabonah, F. (2013). Coping with HIV/AIDS: A Multimodal Discourse
Rahman, Rifqi Rihza. 2021. Di Hari Perdana Penayangannya, Film YUNI Berhasil Mendapat Respon Positif Warganet. https://mpotimes.com/di-hari-perdana-penayangannya-film-yuni-berhasil-mendapat-respon-positif-warganet. Diakses pada 12 April 2022.
Sheth, Sudev & Jones, Geoffrey & Spencer, Morgan. (2021). Emboldening and Contesting Gender and Skin Color Stereotypes in the Film Industry in India, 1947–1991. Business History Review, 1–33. doi:10.1017/S0007680521000118 95.
Susilowati, Enik Zuni. (2018). Resistensi Perempuan dalam Kumpulan Cerita Tandak Karya Royyan Julian (Teori Resistensi-James C. Scott). Bapala, 5 (2), 1-11.
Wulandari, Raras Arum. (2019). Gambaran Nilai Budaya dan Kearifan Lokal dalan Film Wood Job!. Jurnal Ilmiah Komunikasi Makna, 7(2), 79-96.
Sumber Film:
Kamila Andini. (Sutradara). & Ifa Isfansyah, Chand Parwez Servia. (Produser). (2021). Yuni. Indonesia: Fourcolours Films, Kharisma Starvision Plus, Akanga Film Asia, Manny Films.
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75” Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial