[Masyarakat & Budaya, Volume 18, Nomor 10, Juni 2021]
Oleh Diyah Wara Restiyati (Ahli Antropologi)
Pada abad ke-16, bangsa Eropa menjelajah nusantara dan melakukan perdagangan dengan penduduk lokal memfokuskan pada rempah-rempah terutama lada, pala, cengkeh dan cendana (Turner, 2011). Konsistensi bangsa Eropa dalam perdagangan rempah sehingga menjadi komoditi utama dari kepulauan di nusantara telah mendorong tindakan kolonialisme di nusantara. Pada 1622, Jan Pieterzoon Coen (J.P.Coen), Gubernur Jendral VOC/Veerenigde Oost Indische Compagnie mendirikan kota Batavia. Pendirian kota ini dilakukan setelah merebut kota Jayakarta yang dikuasai Kesultanan Banten. Kota Jayakarta dipilih karena letaknya yang strategis, dekat dengan pelabuhan yang tengah berkembang menjadi pelabuhan perdagangan dunia, Sunda Kelapa. VOC sendiri yang dibentuk pada tahun 1602 merupakan gabungan dari sejumlah kamar dagang di enam kota yaitu Amsterdam, Rotterdam, Zeeland, Delf, Hoorn dan Enkhusyen, yang diberikan hak istimewa (hak oktrooi) dari pemerintahnya untuk melakukan kegiatan dagang di perairan Asia dan Afrika dan bertindak sebagai kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu VOC dapat mengadakan perjanjian dengan penguasa setempat dan melancarkan perang untuk menjamin praktik monopoli kepentingan perdagangan (Lohanda, 2007).
Kota baru sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan dibangun dengan bantuan dari saudagar lada Tionghoa dari Banten bernama Souw Beng Kong. J.P Coen juga kemudian melakukan upaya penambahan penduduk di Batavia untuk meningkatkan perekonomian kota dengan cara mengirim kapal ke Tiongkok untuk mengambil secara paksa penduduk yang tinggal di sekitar pesisir dan dibawa ke Batavia. Setelah Pelabuhan Jayakarta mapan dibawah VOC, pedagang pun datang dengan sendirinya membawa kuli-kuli miskin dari Tiongkok Selatan dan barang-barang dibawa oleh kapal Jung Tiongkok (Blackburn, 2012).
Souw Beng Kong kemudian dianugerahi jabatan Kapiten oleh pemerintahan VOC. Jabatan Kapiten merupakan jabatan untuk kepala pemukiman di nusantara berdasarkan etnis, yang memiliki wewenang dalam berbagai hal, mulai soal administrasi mengatur pemukiman, pembagian tugas mengelola ekonomi, penjagaan keamanan pemukiman, sampai pada soal pembagian harta warisan, perkawinan, perceraian dan pemakaman (Lohanda, 2007). Kapiten Tionghoa (kapitein der Chinezen) harus berasal dari keluarga yang dihormati masyarakat, kaya dan berpengetahuan luas, terutama mengenai budaya Tionghoa.
Pada perkembangan selanjutnya, terdapat jabatan Letnan (lieutenant der Chinezen) dan Mayor (major der Chinezen) di kota yang wilayahnya luas dan populasi penduduk Tionghoanya banyak (Haryono, 2017). Adanya jabatan opsir Tionghoa ini kemudian memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat Tionghoa terutama dalam penggunaan unsur budaya Barat yang dipadukan dengan unsur budaya nusantara dan Tiongkok dalam kehidupan sehari-hari seperti penggunaan pakaian, alat makan, perabot rumah tangga, bahan masakan dan sebagainya. Akulturasi budaya pun terjadi sehingga membentuk budaya Tionghoa yang khas Indonesia.
Masyarakat Tionghoa, terutama di Batavia, kemudian menduplikasi atau mengambil contoh dari apa yang dilakukan para opsir Tionghoa dan keluarganya karena para opsir Tionghoa saat itu merupakan pemimpin dari masyarakat Tionghoa. Kuliner dalam masyarakat Tionghoa tidak sekedar sebagai bukti akulturasi budaya, juga merepresentasikan kelas sosial dan ekonomi masyarakat Tionghoa, serta merepresentasikan harapan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara masyarakat Tionghoa di Jakarta pada Februari, September dan Desember 2018, fungsi kuliner dari dapat dikategorikan kedalam tiga bagian.
Pertama, kuliner untuk ritual keagamaan. Kuliner untuk ritual keagamaan misalnya untuk sembahyang pada leluhur, atau persembahan di meja abu/meja sembahyang dan altar dewa. Ritual ini merepresentasikan niat luhur, tanda bakti, rasa syukur dan penghormatan ke alam semesta seperti samseng (sajian berupa tiga daging unsur darat (babi), laut (ikan atau kepiting) dan udara (bebek atau ayam). sajian dalam sembahyang tahun baru, Ceng Beng (Hari ziarah makam) , kematian dan sembahyang lainnya.
Kedua, kuliner untuk hari-hari khusus. Kuliner untuk hari-hari khusus misalnya pada saat ulang tahun berupa mi panjang umur, kue keranjang dan pindang bandeng pada perayaan tahun baru imlek/sincia (sincia = sebutan tahun baru dalam Bahasa hokkien), lontong cap go meh (lima belas hari setelah tahun baru imlek/Sincia), kue bulan untuk perayaan kue bulan, dan kue lapis pada pernikahan. Kuliner di hari khusus ini merepresentasikan tradisi yang muncul dari keadaan pada saat perayaan atau harapan pada perayaan tersebut.
Ketiga, kuliner untuk keseharian. Kuliner yang dinikmati sehari-hari tidak harus menunggu pada saat hari khusus, dan ada beberapa kuliner yang tidak boleh dinikmati pada saat perayaan misalnya bubur yang tidak boleh dinikmati pada perayaan tahun baru karena merepresentasikan harapan untuk kehidupan yang sulit.
Dalam tiga fungsi kuliner tersebut, ternyata ada rempah-rempah Nusantara yang dipakai untuk memasak. Menurut ibu Lie (penjual makanan khas Tionghoa di Jakarta,68 tahun)[1], rempah-rempah yang digunakan untuk membuat sayur atau lauk yaitu lada atau merica dan jahe. Hal ini dikuatkan oleh Koh Aji (penulis kuliner Peranakan Tionghoa, almarhum)[2] mengatakan bahwa selain dua rempah tersebut, masyarakat Tionghoa terutama masyarakat Peranakan Tionghoa di Pulau Jawa juga biasa menggunakan keluak, lengkuas, kencur, daun salam, dan jinten.
Pada makanan khas tahun baru seperti Pindang Bandeng, masyarakat Tionghoa menggunakan sereh, lengkuas, bawang putih, daun salam dan kecap sebagai bumbu. Pindang Bandeng merupakan makanan wajib tersedia pada perayaan tahun baru bagi masyarakat Tionghoa di Jakarta karena merepresentasikan harapan untuk kesuksesan dan ketekunan yang terus berlanjut sehingga menghasilkan kemakmuran.
Selain itu, kue lapis legit biasa di makan pada saat tahun baru dan pernikahan. Kue lapis legit menggunakan rempah Nusantara berupa kapulaga, kayumanis, cengkeh, adas manis, dan bunga pala. Bahan dari Eropa seperti telur, tepung terigu dan margarin. Bahan tersebut digunakan masyarakat Tionghoa sebagai representasi harapan untuk kemakmuran, rejeki dan nasib baik yang berlapis-lapis pada keluarga di tahun baru dan pasangan yang baru menikah. Masyarakat Tionghoa juga menggunakan kue lapis untuk perayaan tahun baru dan pernikahan karena bermakna sama dengan kue lapis legit, hanya berbeda bahan, pembuatan dan bentuknya. Kue lapis menggunakan rempah berupa vanili dan kelapa dari Nusantara, dicampur dengan tepung beras yang biasa di produksi oleh orang Tionghoa dan gula pasir yang diproduksi perusahaan Belanda pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada kuliner sehari-hari seperti siomay. menggunakan merica atau lada dan bawang putih sebagai rempah utama. Bahan pembuatannya berdasar dari ikan dicampur tepung kanji, ayam dan udang. Siomay sendiri kemudian menjadi makanan khas kota Bandung.
Menurut Koh Aji, rempah lainnya seperti pekak, pala, kapulaga, bunga lawang dan kayu manisbiasa digunakan untuk membuat penyedap seperti kecap atau gula jawa. Sayuran atau lauk pada masyarakat Tionghoa di Jakarta tidak hanya menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu, tetapi juga dicampur dengan bumbu yang biasa di pakai dalam kuliner Tiongkok (Bromokusumo, 2013) yaitu garam, bawang putih, angciu (ang=warna merah, ciu=arak, arak merah terbuat dari anggur), air tape dan tauco (fermentasi kedelai) sehingga menjadi lebih kental rasanya. Penggunaan kaldu ikan atau ayam pada siomay membuat rasa ikan atau ayam menjadi lebih kuat.
Bumbu Masyarakat Tionghoa juga sering menggunakan sari atau kaldu hewani seperti ikan, ayam, daging sapi, dan babi dalam masakannya. Untuk rempah-rempah yang sering digunakan pada kue, menurut ibu Yan (penjual kue, 64 tahun)[3] yaitu kayu manis, cengkeh, jahe dan pala. Pemakaian rempah-rempah dalam kue Tionghoa kemudian juga dicampur dengan bumbu dari Eropa seperti gula pasir seperti bahan kue lapis dan lapis legit yang sudah diuraikan sebelumnya. Penggunaan rempah-rempah Nusantara pada kuliner masyarakat Tionghoa merupakan bukti nyata bahwa akulturasi budaya sudah terjalin jauh sebelum adanya pembentukan negara Indonesia. Oleh karena itu, ketika membicarakan mengenai budaya Indonesia, maka yang ditampilkan merupakan budaya akulturasi tersebut (Editor Al Araf Assadalah Marzuki).
Referensi
Ilustrasi: Shutterstock
Bromokusumo, Aji Chen. 2013. Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Blackburn, Susan. 2012. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta.
Haryono, Steve. 2017. Perkawinan Strategis Hubungan Keluarga antara Opsir Opsir Tionghoa dan “Cabang Atas” di Jawa pada Abad ke 19 dan 20. Rotterdam: Diterbitkan sendiri.
Lohanda, Mona. 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Depok: Masup Jakarta.
Turner, Jack. 2011. Sejarah Rempah. Depok: Komunitas Bambu.
[1] Wawancara pada Januari 2018.
[2] Wawancara pada September 2018, beliau meninggal pada 2020
[3] Wawancara pada Februari 2018
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI
_______________________________________
Tentang Penulis
Diyah Wara Restiyati banyak melakukan penelitian dan penulisan mengenai masyarakat Tionghoa terutama berkaitan dengan pelestarian cagar budaya dan kajian mengenai pelestarian burung hantu. Email: diyahrestiyati@gmail.com.
Diunggah oleh

[…] “Akulturasi budaya pun terjadi sehingga membentuk budaya Tionghoa yang khas Indonesia,” tulis Ahli Antropologi, Diyah Wara Restiyati dalam Rempah dalam Kuliner Masyarakat Tionghoa di Jakarta. […]