[Masyarakat & Budaya, Vol. 26, No. 11, Juli 2022]
oleh Nikodemus Niko (Dosen Program Studi Sosiologi, Universitas Maritim Raja Ali Haji) dan Asrul Nur Iman (Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pejuang Republik Indonesia, Makassar)
Tulisan ini merupakan refleksi pengalaman penulis (Nikodemus Niko: Dayak Benawan dan Asrul Nur Iman: Bugis) melakukan penelitian pada masyarakat adat. Relasi gender pada masyarakat adat ini, masih kental tergambarkan pada ruang domestik dan ruang publik yang tidak setara—perempuan cenderung dalam posisi yang terpinggirkan. Sehingga kebijakan tentang gender pada masyarakat adat masih sangat terbatas, dimana pada ketentuan hak-hak perempuan adat cenderung terabaikan dan masih kurang memadai (Radcliffe & Pequeño, 2010). Argumen kami bahwa pada masyarakat adat Dayak Benawan dan masyarakat adat Bugis yang masih menjunjung tradisi dan adat sebagai pedoman hidup, memiliki relasi yang masih timpang antara akses laki-laki dan akses perempuan terhadap sumber-sumber daya. Pada persinggungan etnis, kelas, dan gender, posisi perempuan adat seringkali didiskriminasi karena mereka adalah suku asli, miskin, dan perempuan (Burman, 2016).
Relasi Gender sebagai Budaya Turun Temurun
Ras dan juga gender sebetulnya adalah konstruksi sosial yang bukan saja sebagai produk penjajahan melainkan juga penindasan satu kelompok atas kelompok lainnya (Kubik, Bourassa & Hamptom, 2009). Konseptualisasi masyarakat adat tentang gender dan peran gender tercermin dalam sistem sosial dan pemerintahan mereka yang tradisional (Hinzo, 2016). Hal ini pula terdeskripsi dalam kehidupan masyarakat adat Dayak Benawan dan masyarakat adat Bugis yang masih memiliki sistem adat yang kuat. Sementara, kriteria pembedaan peran gender didasarkan pada kecenderungan sosial dalam perilaku umum dari individu (Daéng Mangemba, 1975).
Masyarakat adat Dayak Benawan, dilihat pada relasi laki-laki dan perempuan diekspresikan dalam pasangan sebagai suami istri. Sehingga dapat digambarkan bahwa akses laki-laki pada pekerjaan di ranah publik lebih besar, sedangkan perempuan lebih pada pekerjaan ranah domestik. Seiring perkembangan desa yang terus berdinamika, masyarakat Dayak Benawan tidak hanya bermata pencaharian dengan berladang (bertani subsisten) dan menyadap karet, mereka sudah banyak yang bermigrasi untuk bekerja ke wilayah perkebunan kelapa sawit. Dimana dalam pekerjaan ini, pekerja laki-laki lebih mendominasi daripada pekerja perempuan.
Mata pencaharian yang beralih pada arah dominasi kapital ini berkontribusi pada penciptaan ketimpangan dalam struktur rumah tangga masyarakat adat Dayak Benawan. Dimana, akses terhadap pekerjaan di perkebunan kelapa sawit didominasi oleh laki-laki. Pada sistem kapitalis, ketimpangan adalah kebutuhan yang mutlak (Kubik, Bourassa & Hamptom, 2009). Pada persaingan tenaga kerja dan pasar, perempuan adat tersisih dari persaingan karena adanya pemisahan gender dalam pasar tenaga kerja (Radcliffe, Laurie, & Andolina, 2004).
Orang Bugis menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam sistem kekerabatan bilateral, dimana ibu dan ayah memiliki peran yang sama, untuk menentukan garis kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam kehidupan sosial (Pelras, 1996). Pada masyarakat Bugis, Raffles (1817:XXIX) menuliskan bahwa:
“Perempuan tampak lebih terhormat daripada apa yang diharapkan, dibandingkan dengan tingkat kemajuan yang dicapai oleh peradaban Bugis pada umunya, dan perempuan-perempuan tidak menyadari kerasnya hidup, kemiskinan atau kesulitan.”
Pernyataan Raffles tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemajuan perempuan Bugis ketika itu hanyalah isapan jempol belaka, dimana keberdayaan mereka masih bertumpu pada relasi mereka dengan laki-laki. Dengan kata lain Idrus (2006) menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis distratifikasi berdasarkan status sosial dan pencapaian pribadi, bukanlah berdasarkan gender.
Demikian pula pada peradaban Dayak, yang mana mereka dikenal sebagai penjaga hutan Kalimantan yang melegenda (Haug, 2017). Meski demikian, terjadinya peminggiran terhadap orang Dayak (terutama perempuan) berlangsung lama dengan adanya kontrol negara mengeksplorasi, mengeksploitasi, dan ekspansi besar-besaran sumber hutan tropis yang menjadi tempat mereka hidup (Tsing, 1992). Seperti yang terjadi di Masyarakat Dayak Benawan, kedudukan perempuan dalam struktur publik tidak dipertimbangkan. Misalnya kesempatan perempuan menjadi pejabat di pemerintahan desa cukup sulit.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada tatanan kebijakan, seringkali hak-hak perempuan adat terabaikan (Richards, 2005). Seperti kebijakan pemberian izin konsesi lahan di wilayah desa orang Dayak Benawan, dimana kebijakan ini diputuskan oleh pejabat desa—yang dominasi adalah laki-laki. Sehingga tidak ada keterlibatan dan sudut pandang perempuan dalam pengambilan keputusan. Sejauh inipun, belum terdapat aturan khusus yang melindungi hak kolektif perempuan adat (Anggraini, 2020). Hak kolektif Perempuan Adat berkaitan dengan hal pengetahuan tradisional, kerja, dan peran tertentu dalam Masyarakat Adat yang khas dan hanya dimiliki oleh perempuan (Wibowo & Demadevina, 2021).
Relasi gender dalam masyarakat Bugis dilihat dari bagaimana seseorang dipersepsikan berdasarkan status sosialnya secara hirarkis (Millar, 1983), dimana ‘status sosial’ seseorang lebih penting daripada ‘klasifikasi gender’ seseorang (status sosial dapat diukur berdasarkan kebangsawanan, tetapi dapat pula melalui sesuatu yang diraih oleh seseorang yang ditunjukkan, misalnya dengan akumulasi kekayaan, naik haji, tingkat pendidikan dan hal lain yang diperoleh dengan berusaha. Artinya bahwa perempuan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menduduki suatu kelas di ruang publik, seperti menduduki jabatan dan urusan publik.
Perempuan Dayak Benawan memiliki ketertinggalan dan tantangan dalam mendapatkan pengakuan di ruang publik (Niko, 2018). Kemudian, dalam struktur sosial, mereka hanya menjadi pelengkap keberadaan kepala keluarga (laki-laki). Seperti dalam sistem nafkah, mereka dianggap sebagai penopang ekonomi rumah tangga, dan bukan sebagai pencari nafkah utama. Meski pada realitanya, mereka bersama-sama dengan suami sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Perempuan sebagai second class citizen, seperti yang digambarkan oleh Kubik, Bourassa & Hamptom (2009) yaitu terpinggirkan, miskin dan tidak sehat (jauh dari akses kesehatan dasar).
Penutup
Relasi gender pada masyarakat adat yang beragam di Indonesia, tidak seragam. Seperti yang terdeskripsi pada masyarakat adat Dayak Benawan yang masih didominasi oleh laki-laki pada wilayah publik bahkan domestik. Juga terdeskripsi pada masyarakat adat Bugis yang mana perempuan memiliki keberdayaan dalam ruang publik. Masyarakat Bugis seperti lazimnya masyarakat lain di seluruh dunia, laki-laki dan perempuan memiliki wilayah kegiatannya masing-masing. Namun tidak menganggap bahwa laki-laki dan perempuan lebih dominan antara satu dengan yang lainnya. Relasi kesetaraan laki-laki dan perempuan pada masyarakat Bugis bertolak belakang dengan situasi masyarakat Dayak Benawan, dimana dominasi laki-laki masih terjadi di ruang publik maupun domestik (Editor: Hidyatullah R).
Referensi
Anggraini, D. (2020). Belum ada peraturan khusus yang melindungi hak-hak kolektif perempuan adat. Diakses dari: https://foresteract.com/belum-ada-peraturan-khusus-yang-melindungi-hak-hak-kolektif-perempuan-adat/
Burman, A. (2016). Gender, Politics, and the State: Indigenous Women. The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies. 1–6. doi:10.1002/9781118663219
Daéng Mangemba, H. (1975). Le statut des femmes bugis et makassar vu par leurs propres sociétés. Archipel. 10(1):153–157. https://doi.org/10.3406/arch.1975.1246
Haug, M. (2017). Men, women, and environmental change in Indonesia: The gendered face of development among the Dayak Benuaq. Austrian Journal of South-East Asian Studies. 10(1): 29-46.
Hinzo, A. M. (2016). Indigenous Knowledges and Gender. The Wiley Blackwell Encyclopedia of Gender and Sexuality Studies. 1–5. doi:10.1002/9781118663219
Idrus, N. I. (2006). Antropologi Feminis: Etnografi, Relasi Gender dan Relativisme Budaya di Indonesia. Antropologi Indonesia. 30(3):272–296. https://doi.org/10.7454/ai.v30i3.3568
Kubik, W., Bourassa, C., & Hampton, M. (2009). Stolen Sisters, Second Class Citizens, Poor Health: The Legacy of Colonization in Canada. Humanity & Society. 33(1–2):18–34. https://doi.org/10.1177/016059760903300103
Millar, S. B. (1983). On Interpreting Gender in Bugis Society. American Ethnologist. 10(3):477–493. https://doi.org/10.1525/ae.1983.10.3.02a00050
Niko, N. (2018). Perempuan Dayak Benawan: Kedudukan pada Struktur Domestik dan Publik. Yogyakarta: Deepublish.
Pelras, C. (1996). Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Radcliffe, S. A., & Pequeño, A. (2010). Ethnicity, Development and Gender: Tsáchila Indigenous Women in Ecuador. Development and Change. 41(6):983-1016. https://doi.org/10.1111/j.1467-7660.2010.01671.x
Radcliffe, S. A., Laurie, N., & Andolina, R. (2004). The Transnationalization of Gender and Reimagining Andean Indigenous Development. Signs: Journal of Women in Culture and Society. 29(2): 387-416. https://doi.org/10.1086/378108
Raffles, T. S. (1817). The History of Java (Vol. II). London: Gilbert and Rivington.
Richards, P. (2005). The Politics of Gender, Human Rights, and Being Indigenous in Chile. Gender & Society. 19(2): 199–220. https://doi.org/10.1177/0891243204272706
Tsing, A. L. (1993). In the realm of the diamond queen: Marginality in an out-of-the-way place. Princeton University Press.
Wibowo, A., & Demadevina, N. (2021). Kertas Kebijakan Hak Kolektif Perempuan Adat Wajib Dimaktubkan dalam Undang-Undang Masyarakat Adat. Diakses dari: https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2021/01/Hak-Kolektif-Perempuan-Adat.pdf
______________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Nikodemus Niko adalah kandidat Doktor Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Saat ini penulis adalah staf pengajar di Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji. Penulis memiliki ketertarikan pada kajian Sosiologi Gender dan Masyarakat Adat. Penulis dapat dihubungi melalui: nikodemus15001@mail.unpad.ac.id
Asrul Nur Iman adalah Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pejuang Republik Indonesia. Saat ini penulis merupakan seorang Doktor Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Penulis memiliki ketertarikan pada kajian Gender dan Komunikasi Budaya. Penulis dapat dihubungi melalui: asrulnur@gmail.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75” Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial