Dalam usia 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, kita memang baru mengenyam 12 tahun perjalanan reformasi keamanan di Indonesia. Tentu banyak kemajuan yang dicapai secara struktural. Namun, di sisi lain daftar pekerjaan rumah masih panjang untuk dituntaskan.

Jarang dipahami bahwa keamanan termasuk masalah prioritas dari kaum miskin. Kita kerap membenturkan isu keamanan versus kesejahteraan, guns versus butter, jarang yang melihat bahwa keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang perlu diperjuangkan bersama-sama. Keamanan sama pentingnya dengan urusan kesejahteraan.

Bank Dunia pada tahun 1999 mengeluarkan sebuah laporan bertajuk “Voices of the Poor” (Suara Kaum Miskin) yang mencatat hasil diskusi dari 20 ribu rakyat miskin dari 200 komunitas di 23 negara. Apa yang dikatakan dengan jelas oleh rakyat miskin dalam laporan ini adalah bahwa keamanan merupakan prioritas utama bagi mereka. Keamanan dari kekerasan, dan keamanan bagi rumah mereka. Tanpa keamanan ini, tidaklah mungkin rakyat miskin dapat membangun hidup yang lebih baik dan berusaha keluar dari kemiskinan mereka.

Sebuah sektor keamanan yang dapat diandalkan, terstruktur dan terlatih bisa membantu menyediakan lingkungan yang aman dan terlindungi bagi rakyat miskin dan komunitasnya. Namun, jika sektor keamanannya tidak di reformasi, tidak disiplin dan bersifat represif, ini bisa menjadi sumber ketidakamanan, dan mendatangkan kekerasan dan bukannya melindungi orang-orang dari kekerasan.

Sebagai perbandingan, dalam skala makro negara-negara termiskin di dunia tidak akan berkembang kecuali bisa menjadi lebih baik dalam pencegahan konflik, penyelesaian konflik dan perdamaian. Faktanya, 20 dari 34 negara paling miskin dunia kini terlibat dalam konflik kekerasan atau baru saja bangkit dari konflik ini. Konflik kekerasan muncul di daerah sub-Sahara di Afrika, dengan 28 negara Afrika lainnya yang mengalami konflik bersenjata sejak dua dekade ini.

Dampaknya bagi perkembangan di negara adalah kekacauan, banyaknya orang yang terluka dan meninggal, serta hancurnya infrastruktur. Sementara konflik ini berlanjut, tidak ada perkembangan apapun bagi negara-negara ini dan kemiskinan terus bertambah. Coba saja lihat negara yang penuh sumber daya, seperti Angola, Sierra Leone, Sudan dan meningkatnya kekerasan di Thailand, juga merosotnya pembangunan di Sri Lanka atau kegagalan ekonomi dan penderitaan di Kamboja.

Sebagai tambahan, konflik yang memicu tindak kekerasan juga mengurangi keinginan bagi investor domestik dan luar negeri menanamkan modal di negara tersebut, dan tanpa investasi tersebut dan teknologi yang datang bersamanya, negara-negara tidak akan mencapai level pertumbuhan ekonomi yag dibutuhkan untuk menyelaraskan perkembangan mereka. Singkatnya, perang dan konflik kekerasan menghancurkan kemajuan perkembangan selama beberapa dekade, dan hal ini menghambat prospek di tahun-tahun berikutnya.

Di dunia pasca perang dingin, konflik relatif berpusat di negara berkembang dan hal ini menjebak mereka dalam kemiskinan. Tidak terkecuali Indonesia, yang grafik kekerasannya semakin meningkat beberapa bulan terakhir ini. Sebaran bentuk konflik yang ada di Indonesia, baik konflik horizontal maupun vertikal, semakin luas. Di antaranya konflik bernuansa separatisme, etnik, ideologis, politis, sosial, maupun konflik isu agama atau aliran kepercayaan, dan konflik yang ditimbulkan akibat kebijakan pemerintah. Seringkali hal tersebut berakhir dengan tindak kekerasan.

Memang benar bahwa penyebab di balik konflik sangatlah rumit dan berbeda di tiap negara. Namun, tema yang serupa di banyak konflik adalah peran dari sektor keamanan. Elemen di dalam sektor keamanan bisa menjadi sumber utama dari rasa tidak aman dan penyalahgunaan hak asasi manusia. Sektor keamanan yang represif dan tidak mengalami reformasi dapat memperburuk ketegangan politik dan sosial di dalam masyarakat, sehingga konflik akan sampai pada level kekerasan bersenjata.

Bila digabungkan, hal ini membentuk perkembangan yang buruk bagi sektor keamanan. Namun, dan ini sangat penting, perubahan ini bukanlah agenda yang bisa dilakukan oleh para aktor keamanan sendiri. Reformasi sektor keamanan yang efektif dan pencegahan konflik sangat bergantung pada gabungan pembuatan kebijakan dengan kementerian pemerintah yang relevan, dan juga dengan adanya pendekatan seimbang atas isu ini sebagai bagian dari institusi regional dan internasional.

Kita berharap kita semua akan melihat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), menteri pertahanan, panglima TNI, kepala BIN (Badan Intelijen Negara) dan para pejabat aktor keamanan lainnya menjadi pelopor dalam reformasi sektor keamanan, dengan suatu keinginan baru untuk mengatur tugas dan kewenangan serta menyediakan pelayanan yang lebih baik lagi untuk rakyatnya.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa pencegahan konflik sangat penting bagi pembangunan, lalu lari dari implikasinya. Konflik dan reformasi sektor keamanan memiliki risiko tinggi dan sangat rumit. Namun, pengalaman di banyak negara miskin, kita tidak akan maju sebelum berhasil menghadapinya. Dan untuk melakukan hal ini kita sebagai warga negara perlu membantu seperlunya dalam mereformasi sektor keamanan dengan manajemen yang disiplin dan kuat. Salah satunya melalui kontrol oleh masyarakat sipil yang demokratis dan media yang independen.

Judul                     : Reformasi Sektor Keamanan dan Kekerasan

Sumber                : Metrotvnews.com

Tautan Gambar: http://pasulukanlokagandasasmita.com/dinamika-internal-tni-dalam-reformasi-sektor-keamanan-dan-pemerintahan-1999-2004/

Jenis                    : Opini

Tanggal                : 17 Agustus 2010

Penulis                 : Jaleswari Pramodhawardani