Sementara Katubi, peneliti bahasa di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, mengatakan bahwa tahapan revitalisasi bahasa diantaranya melalui pendidikan, sebagai upaya menyelamatkan Bahasa Daerah yang hampir punah. “Di Indonesia ada sekitar 700-an bahasa daerah dan 400 bahasa ada di Indonesia Timur terancam punah,” tegasnya. Dikatakan Katubi, ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap terancam punahnya suatu Bahasa, yaitu: Adanya penaklukan, pagebluk, tekanan ekonomi dan kontak Bahasa, politik bahasa serta budaya yang dapat meleburkan bahasa.
Hal tersebut akan sangat merugikan baik terhadap komunitas maupun dunia ilmu pengetahuan. “Bagi komunitas adalah punahnya bahasa sama dengan hilangnya identitas budaya juga punahnya bahasa sama dengan punahnya ungkapan artistik dalam tradisi lebih jauh lagi adalah dengan punahnya bahasa sama dengan punahnya pengetahuan budaya,” jelas Katubi. “Sedangkan kerugian bagi dunia ilmu pengetahuan adalah punahnya bahasa merupakan ancaman terhadap pemahaman kita tentang sejarah manusia, kognisi manusia dan dunia hayati,” imbuhnya.
Lebih lanjut Katubi menegaskan bahwa, tidak ada satu rute revitalisasi yang cocok untuk semua bahasa yang hampir punah, karena memerlukan pandangan jangka panjang tentang proses revitalisasi atau proses antar generasi. “Karena tidak ada bahasa yang tidak dapat diapa-apakan sama sekali selalu ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk bahasa yang dalam kategori punah. Sebenarnya perencanaan bahasa berbasis komunitas harus terpusat pada manusia dan komunitasnya dan bukan pada bahasa itu sendiri,”tegasnya.
Tahapan revitalisasi bahasa ada beberapa, seperti melalui pendidikan. “Tidak semua revitalisasi bahasa harus melalui muatan local, sebaiknya merancang program revitalisasi bahasa berbasis keluarga di rumah,” ungkap Katubi. Selain itu juga dapat memanfaatkan teknologi digital, hal ini berpengaruh pada dokumentasi bahasa modern selain itu juga dapat menjajagi kemungkinan baru yang dapat dicapai melalui jejaring sosial, video , streaming, smartphones, kamus bicara secara digital, pemanfaatan media sosial dan sebagainya,ungkapnya. “Mari kita merawat kekayaan bahasa daerah sebagai laboratorium terbesar kedua di dunia dengan memanfaatkannya secara positip dan menjunjung tinggi bahasa kita, Bahasa Indonesia,” pungkas Katubi. (Rdn/Ed:mtr)
_____________________
*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI
*) Ilustrasi: Shutterstock
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.06.08“Jelita Di Tengah Bara”: Meneroka Inovasi Konservasi Sosial Ekonomi Anggrek Endemik Vanda tricolor Di Kawasan Gunung Merapi Berita2023.06.08BRIN – Populix Jalin Kerja Sama Riset Budaya Ilmiah Pada Generasi Milenial dan Gen Z Call for Paper2023.06.06CALL FOR PAPERS INTERNATIONAL FORUM ON SPICE ROUTE (IFSR) 2023 Artikel2023.05.04Re-Rekognisi Mitos Maskulinitas (yang) Mahal Dalam Uang Panai’