[Masyarakat & Budaya, Volume 19, Nomor 13, Juli 2021]

Oleh Bayu Prasetyo Pambudi (Mahasiswa Magister Geografi Universitas Indonesia)

Indonesia merupakan wilayah dengan aktivitas bencana yang selalu terjadi setiap saat. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa sampai bulan April 2021, tercatat ada 1.125 kejadian bencana yang terjadi. Data menunjukan bahwa terjadi 476 kejadian bencana banjir sejak awal tahun 2021. Selain itu tercatat terjadi puting beliung mencapai 308 kejadian, tanah longsor sebanyak 218 kejadian, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebanyak 90 kejadian, gempa bumi 17 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 15 kejadian, serta kekeringan 1 kejadian. Sementara itu berdasarkan data terakhir Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana mencapai Rp22.8 triliun tiap tahun dengan korban jiwa mencapai 1.183 jiwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (Purnamasari, Kompas, 15 Maret 2021).

Untuk mengantisipasi kerugian yang dihasilkan dari peristiwa bencana, perlu dilakukan mitigasi bencana. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana[1], mitigasi merupakan serangkaian upaya yang dilakukan dalam mengurangi risiko bencana, baik lewat pembangunan fisik atau penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Dalam kaitannya terhadap aktivitas mitigasi bencana, terdapat dua jenis mitigasi bencana, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural (Putri, Kompas, 26 April 2021).

Mitigasi struktural merupakan upaya dalam menurunkan tingkat kerentanan suatu bencana melalui bangunan tahan bencana. Mitigasi ini dilakukan dengan melakukan pembangunan fisik dan menggunakan rekayasa teknologi dalam menciptakan sarana prasarana tahan bencana. Bangunan tahan bencana merupakan bangunan dengan struktur pondasi yang telah dibuat sedemikian rupa agar dapat meminimalisir risiko kerusakan serta timbulnya korban jiwa. Sementara itu, mitigasi non struktural adalah upaya mitigasi yang dilakukan selain pada pembangunan sarana prasaran fisik. Mitigasi non struktural dapat dilakukan melalui pembuatan regulasi yang bertujuan meminimalisir kerugian akibat bencana dan hal lainnya.

Jaminan Sosial

Peristiwa bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial, dapat menciptakan permasalahan di bidang sosial ekonomi seperti kehilangan mata pencaharian dan harta benda. Hal ini akan mengarah terhadap ketimpangan sosial serta kemiskinan dan keduanya merupakan isu sentral dari permasalahan kependudukan. Setiap negara memiliki sistem, strategi serta pendekatan yang berbeda dalam penanganannya, dan salah satu bentuk dari solusi dari permasalahan tersebut adalah program jaminan sosial.

Istilah jaminan sosial pertama kali muncul di Amerika Serikat dalam The Social Security Act tahun 1935 (Quadagno, 1984), disebutkan bahwa jaminan sosial bertujuan untuk mengatasi masalah pengangguran, orang-orang sakit dan anak terlantar akibat dari depresi ekonomi pada masa itu. Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial di negara-negara maju sudah mengalami perubahan arti, namun pada dasarnya penyelenggaraan jaminan sosial pada hakekatnya merupakan bentuk nyata dari perlindungan negara terhadap rakyatnya ( Mudiyono, 2002).

Menurut Cheyne, O’Brein dan Belgrave, jaminan sosial merupakan pelaksanaan fungsi sosial dari negara (Mudiyono, 2002). Negara menjalankan fungsi perlindungan terhadap warga negara dengan kondisi tertentu (lemah secara finansial) melalui dukungan finansial atau disebut juga santunan. Selain itu, terdapat kelompok masyarakat lainnya yang dianggap memiliki kondisi tertentu adalah kelompok yang tidak mampu meningkatkan finansialnya karena sakit, cacat dan hamil.

Salah satu regulasi dalam pelaksanaan program jaminan sosial adalah Undang Undang (UU) No 6 Tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial[2]. UU tersebut mengatur bahwa jaminan sosial merupakan perwujudan dari sekuritas sosial, yaitu keseluruhan sistem untuk perlindungan serta pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi warga negara Indonesia. Hal itu pun sudah tertuang  dalam amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Program Jaminan Sosial Pasca Bencana

Sayekti dan Sudaryati (2010) menjelaskan bahwa jaminan sosial memiliki peranan dalam membantu masyarakat yang terdampak bencana sebagai usaha untuk pemulihan dan penyembuhan. Misalnya, bantuan untuk masyarakat korban bencana, lanjut usia, yatim piatu, dan berbagai ketunaan. Menurut Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 01 Tahun 2013, bantuan sosial merupakan upaya yang dilakukan agar individu maupun kelompok yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial agar dapat hidup secara wajar.

Tujuan dari pemberian bantuan sosial terhadap korban bencana adalah agar kelangsungan hidup korban dapat terpenuhi sesuai kebutuhan dasar melalui peningkatan kemampuan ekonomi, pemulihan kondisi psikologi korban bencana, serta memberikan akses terhadap sumber dan potensi kesejahteraan sosial (Kementrian Sosial RI, 2013). Sebagai contoh, pada studi kasus bencana longsor di Kabupaten Banjarnegara, bantuan sosial yang diberikan oleh Kementerian Sosial terdiri dari dua tahap, yaitu pada pada masa tanggap darurat dan masa pasca bencana.

Pada masa tanggap darurat misalnya, bantuan yang diberikan berupa evakuasi korban dan pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih, sandang, pangan, kesehatan, dan sanitasi. Di sisi lain, bantuan sosial pada masa pasca bencana berupa bahan bangunan rumah, jaminan hidup, isi hunian sementara, dan santunan terhadap ahli waris (Kementerian Sosial RI, 2015). Bantuan tersebut diberikan agar kehidupan korban bencana alam dapat segera pulih dan kembali pada kehidupan normal.

Sementara itu, pada aspek pengelolaan swasta, jaminan sosial dapat berbentuk asuransi. Asuransi kesehatan  misalnya, berguna untuk memberikan penggantian tunai atas biaya berobat atau keperluan medis lainnya. Masyarakat yang mengikuti program ini terikat pada perjanjian yang tertuang dalam polis asuransi yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi. Dalam kaitannya terhadap mitigasi pasca bencana, asuransi dapat membantu para korban terdampak bencana untuk meningkatkan kembali kemampuan finansial setelah terjadinya bencana.

Selain itu, ada pula asuransi kesehatan milik pemerintah yaitu Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Pada tahun 2018, BPJS telah mencairkan klaim sebesar Rp24,05 triliun untuk peserta BPJS Ketenagakerjaan (Sukirno, Alinea, 10 Januari 2019). Salah satu penyebab klaim tersebut adalah terjadinya bencana  yang terjadi pada tahun 2018 seperti tsunami Selat Sunda, gempa bumi di Lombok, banjir bandang di Mandailing Natal, dan kecelakaan transportasi jatuhnya pesawat Air Asia di Perairan Tanjung Pinang (Toyudho, BBC, Desember 2018).

Namun walaupun begitu, masyarakat Indonesia masih kurang menyadari pentingnya jaminan sosial seperti asuransi swasta dan BPJS. BPJS Ketenagakerjaan sendiri memastikan bahwa hanya 1-3% dari korban bencana alam sepanjang tahun 2018 yang aktif sebagai peserta aktif (Safitri, Kontan, 22 Januari 2019).  Kurangnya kesadaran masyarakat akan asuransi membuat masyarakat tidak terlindungi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu diperlukan peran serta pemerintah dalam mendukung program jaminan sosial berupa edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat umum akan pentingnya jaminan sosial (Editor Ranny Rastati).

[1] Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Diakses tanggal 8 Juli 2021 dari http://bnpb.go.id

[2] Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974  tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Diakses tanggal 8 Juli 2021 dari http://peraturan.bpk.go.id

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Mudiyono. (2002). Jaminan Sosial di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 67-78.

Sayekti, Nidya Waras dan  Sudarwati, Yuni. (2010). Analisis Terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 1-24.

Purnamasari, D. M. “Sepanjang 2021 Sebanyak 1125 Bencana Alam Terjadi di Tanah Air”. Kompas (15 Maret 2021), https://nasional.kompas.com/read/2021/04/15/17354991/sepanjang-2021-sebanyak-1125-bencana-alam-terjadi-di-tanah-air (diakses tanggal 2 Juni 2021

Putri, V. K. (2021, April 26). “Mitigasi Bencana Pengertian Tujuan Jenis dan Contohnya”. Kompas (26 April 2021), https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/26/141402669/mitigasi-bencana-pengertian-tujuan-jenis-dan-contohnya?page=all (diakses tanggal 2 Juni 2021)

Sukirno. “Banyak Bencana BPJS Ketenagakerjaan Cairkan Klaim Rp24.05T”. Alinea (10 Januari 2019), https://www.alinea.id/bisnis/banyak-bencana-bpjs-ketenagakerjaan-cairkan-klaim-rp24-05-t-b1WZz9gBU (diakses tanggal 6 Juni 2021)

Quadagno. (1984). Welfare Capitalism and the Social Security Act of 1935. JSTOR, 632-647.

Safitri, K. (2019, Januari 22). “Hanya Sekitar 3 Korban Bencana yang Merupakan Peserta Aktif Jaminan Sosial. Kontan (22 Januari 2019), https://nasional.kontan.co.id/news/hanya-sekitar-3-korban-bencana-yang-merupakan-peserta-aktif-jaminan-sosial (diakses tanggal 8 Juli 2021)

Tampi, CH. Andreas G dan Kawung, J.R Evelin. (2016) Dampak Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Terhadap Masyarakat di Kelurahan Tingkulu. E Journal Acta Diurna, 1-14.

Toyudho, E.S. “Deretan Bencana Alam Mematikan yang Menerjang Indonesia Sepanjang 2018”. BBC (30 Desember 2018), https://www.bbc.com/indonesia/majalah-46691586 (diakses tanggal 8 Juli 2021)

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

_______________________________________

Tentang Penulis

 Saat ini, penulis sedang menyelesaikan studi magister di S2 Ilmu Geografi Universitas Indonesia sejak tahun 2020. Dalam kesehariannya penulis tertarik terhadap bidang kajian geografi terkait geografi sosial dan kebencanaan. Email: bayu.prasetyo01@ui.ac.id