Home Artikel Perlunya Pengakuan Kedudukan Masyarakat Adat Sebagai Subyek Hukum

Perlunya Pengakuan Kedudukan Masyarakat Adat Sebagai Subyek Hukum

0

Jakarta, Humas LIPI. Komunitas Hukum Adat sebagai subyek hukum pada masyarakat suku Baduy dan Minangkabau masih menjadi subyek yang menarik untuk didiskusikan. “Persoalan masyarakat Adat sebagai subyek hukum ini akan sangat menarik. Hal ini karena keterkaitannya dengan perkembangan hukum adat dan sebagainya dengan perkembangan dari hukum-hukum internasional yang terkait dengan permasalahannya,” ungkap Plt. Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ahmad Najib Burhani saat sambutan pada acara Forum Diskusi Seri 14 yang mengusung tema “Komunitas Tradisional dan Adat Sebagai Subyek Hukum” pada Senin (31/5).

Sementara itu, Lilis Mulyani, peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, lebih menyoroti terkait dengan Komunitas Hukum Adat Sebagai Subyek Hukum. Dalam penelitiannya, yang diambil dalam studi kasus adalah masyarakat Baduy dan Masyarakat Minangkabau, Nagari SB. Menurut Lilis tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih mengetahui mengapa satu kelompok orang bisa maju secara konsep di dalam hukum Indonesia sementara ada kelompok lain yang secara hukum masih tertinggal jauh. “Dalam hal ini ada argumen utama yang melandasinya seperti untuk memahami prinsip dasar personalitas hukum dari kelompok orang atau grup. Ada hal lain lagi yaitu bagaimana pemerintah Indonesia yang berwenang memutuskan subyek hukum kelompok dan bagaimana kelompok hukum itu didefinisikan dalam pemerintahan. Dan yang lebih penting lagi bagaimana komunitas hukum adat itu sendiri merespon kebijakan tersebut,” tegas Lilis.

Ada beberapa hal yang dapat disampaikan yang dilihat dari beberapa isu dari komunitas Asli Baduy, Lebak Banten. “Komunitas Baduy telah memiliki bentuk pengakuan dalam peraturan daerah kabupaten dengan mendapatkan penamaan spesifik dalam perda Kabupaten. Upaya yang dinilai berhasil lainnya adalah diakuinya hutan lindung Baduy tahun 1968, perda masyarakat suku Baduy dan hak ulayatnya tahun 2001serta yang menarik adanya keputusan Menteri ATR/BPN tentang pemberian hak komunal terhadap masyarakat Baduy tahun 2015. Dari sini muncul keluaran yang telah diusahakan oleh Masyarakat Baduy bahwa status hukum sah dan diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat,” jelas Lilis.

Lebih lanjut, menurut Lilis berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau, Nagari SB. “Bentuk pengakuan menurut peraturan Daerah Provinsi yaitu mendapatkan penamaan umum dalam Perda Provinsi. Sementara upaya yang dinilai berhasil adalah peraturan pemerintah daerah Provinsi tentang Nagari tahun 2001 dan tentang peraturan hak ulayat nagari tahun 2006 serta adanya keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan Desa yakni Hutan nagari sebagai bagian dari program Perhutanan Sosial tahun 2013. Keluaran yang dihasilkan adalah akses sah mengelola hutan dibawah kementerian kehutanan dan tidak diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki hak atas hutan nagari,” lanjut Lilis.

“Dari beberapa hal yang telah disampaikan diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebenarnya grup atau kelompok constructed legal person hood atau real personhood, kelompok tradisional berdasarkan hukum adat adalah didasarkan pada sifat dan karakter personalitas asli dan bisa  exist tanpa pengakuan negara, membuat relasi hukum yang mana didalamnya termasuk untuk meng-exercise haknya dan yang lebih menarik lagi adanya syarat pengakuan negara dari identitas yang berbeda dan aspirasi kelompok,” pungkasnya. (Rdn/ed:sf)

_________________________

*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

*) Ilustrasi: Shutterstock

NO COMMENTS

Exit mobile version