Orang-orang melambaikan bendera dalam pawai untuk mengenang korban kudeta gagal 15 Juli 2016, di Istanbul, Turki, 15 Juli 2019. https://www.voaindonesia.com/a/turki-peringati-3-tahun-kudeta-militer-yang-gagal/5002069.html
Oleh Arief Isdiman Saleh (Mahasiswa Program Doktoral Bidang Hubungan Internasional, Selçuk University, Turki)*
Pada tanggal 15 Juli 2019 yang lalu, Turki memperingati Hari Demokrasi dan Persatuan Nasional (Milli Demokrasi ve Birlik Günü) yang ke-3. Tanggal tersebut sekaligus pula diperingati sebagai keberhasilan pemerintah dan masyarakat Turki dalam mengatasi upaya penggulingan pemerintah yang sah yang dilakukan oleh sebagian faksi dalam militer Turki. Faksi tersebut ditengarai memiliki hubungan dan afiliasi dengan kelompok FETÖ (Fethullahçı Teror Örgütü/ Kelompok Teror Fethullah) yang dikendalikan oleh tokoh utama dari organisasi tersebut, Fethullah Gülen. Sampai saat ini, Fethullah Gülen diketahui sedang menjalani pengasingan di Pensylvannia, Amerika Serikat.
Atas keterlibatannya dalam peristiwa percobaan kudeta tanggal 15 Juli 2016, Fethullah Gülen menjadi target buruan nomor satu oleh pemerintah Turki bersama dengan ribuan pengikut aliran Güien. Sampai saat ini Fethullah Gülen belum berhasil ditangkap karena kendala perjanjian ekstradisi dengan Amerika Serikat. Meskipun demikian, kurang lebih terdapat ribuan pengikut aliran Gülen yang ditangkap oleh aparat keamanan Turki pasca peristiwa 15 Juli 2016. Selain dari faksi militer, banyak diantara mereka yang ditangkap adalah pegawai negeri sipil meliputi pegawai kehakiman, profesor, dan tenaga pengajar. Berdasarkan laporan kantor berita Turki, Anadolu Ajansi, sampai saat ini terdapat 4.163 orang yang ditangkap terkait gerakan Gülen. Angka ini bisa jadi akan terus bertambah mengingat pemerintah dan aparat keamanan Turki terus berusaha untuk memberantas jaringan kelompok Gülen baik di Turki maupun di luar Turki.
Gambar 1. Suasana Perayaan Hari Demokrasi dan Persatuan Nasional Turki di Istanbul. Sumber: https://www.ahaber.com.tr/gundem/2019/07/15/15-temmuz-etkinlikleri-nelerdir-2019-istanbul-15-temmuz-etkinlikleri-nerede
Dalam bidang politik dalam negeri, peristiwa 15 Juli juga mempengaruhi jalannya sistem pemerintahan yang ada. Beberapa bulan setelah terjadinya peristiwa 15 Juli, pemerintah Turki menyetujui adanya upaya perubahan konstitusi yang mengatur sistem pemerintahan yang ada di Turki. Poin utama dari perubahan konstitusi tersebut adalah perubahan sistem pemerintahan dari yang sebelumnya sistem pemerintahan parlementer menjadi sistem presidensial. Adapun tujuan dari perubahan sistem pemerintahan tersebut untuk memperkuat posisi badan eksekutif apabila situasi politik dalam negeri tidak stabil. Upaya perubahan konstitusi tersebut kemudian diejawantahkan dalam referendum konstitusional pada bulan April 2017. Dalam referendum tersebut 51,41% pemilih menyatakan persetujuannya atas perubahan konstitusi.
Meskipun demikian, banyak pihak yang menentang perubahan konstitusi tersebut terutama pihak oposisi yang diwakili oleh Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi) dan Partai HDP dari golongan etnis Kurdi. Menurut pihak oposisi tersebut, perubahan konstitusi dalam hal ini sistem pemerintahan akan mengakibatkan pemerintahan yang sedang berjalan mengarah kepada sistem otoritarian. Hal tersebut disebabkan adanya poin-poin dalam konstitusi baru tersebut yang dianggap memberi “privilege” terhadap presiden untuk memiliki wewenang penuh dalam menjalankan pemerintahan.
Pasca peristiwa 15 Juli 2016, pemerintahan Presiden Erdoğan masih mendapatkan legitimasi dari mayoritas masyarakat Turki. Hanya saja, tantangan terhadap pemerintahan dari kalangan oposisi semakin hari semakin bertambah pesat. Tantangan terhadap pemerintahan Presiden Erdoğan mencapai puncaknya pada pemilihan umum tingkat lokal pada bulan Maret 2019. Meskipun secara keseluruhan Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Parti) beserta partai-partai dalam Koalisi Republik (Cumhur İttifaki) unggul dengan suara sebesar 51,64% atas koalisi partai-partai oposisi, namun mayoritas calon yang diusung oleh Partai Keadilan dan Pembangunan kalah di kota-kota terbesar dan strategis Turki termasuk Ankara dan Istanbul. Dengan demikian, Partai AKP beserta koalisi pemerintahan kehilangan kontrol terhadap pemerintahan lokal di kota-kota terbesar dan strategis seperti Ankara, Istanbul, dan Izmir sekalipun secara keseluruhan masih menjadi partai mayoritas di Turki.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Faktor pendorong utama adalah perekonomian nasional Turki yang melemah disusul dengan turut melemahnya nilai tukar Lira terhadap Dolar Amerika. Hal tersebut kemudian diperparah dengan tingginya angka pengangguran dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di kota-kota besar. Kondisi tersebut pada akhirnya mendorong masyarakat terutama di kota-kota untuk mengalihkan hak pilih kepada calon yang dianggap lebih menjanjikan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan serius bagi pemerintahan Presiden Erdoğan dan partai pendukung pemerintahan. Apabila hal tersebut tidak dapat diatasi dengan baik, bukan tidak mungkin pada Pemilu tingkat nasional pada tahun 2023 mendatang Partai AKP berserta koalisi pemerintahan akan kehilangan banyak suara.
Perkembangan politik dan hubungan luar negeri Turki 3 tahun pasca peristiwa 15 Juli diwarnai dengan semakin memanasnya hubungan Turki dengan Amerika Serikat. Salah satu pemicu memanasnya hubungan Amerika Serikat dan Turki pasca peristiwa 15 Juli 2016 adalah penahanan terhadap pendeta asal Amerika Serikat, Andrew Bronson dengan tuduhan terlibat dalam organisasi terlarang FETÖ serta tindakan spionase atas urusan dalam negeri Turki. Akibat penahanan Andrew Brunson tersebut, Amerika Serikat kemudian memberi tekanan terhadap Turki. Salah satu tekanan yang dilakukan oleh Amerika Serikat ialah dengan memberlakukan bea masuk terhadap produk-produk asal Turki seperti aluminium dan perak. Akibat pemberlakuan bea masuk tersebut, nilai tukar Lira terhadap Dolar Amerika sempat melemah.
Gambar 2. Andrew Brunson saat akan menjalani proses persidangan. Sumber: https://www.dailysabah.com/war-on-terror/2018/07/25/andrew-brunson-us-pastor-linked-to-terrorist-groups-released
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah Turki kemudian memutuskan untuk membebaskan Andrew Brunson dari tahanan. Adapun faktor yang mendorong Turki melakukan hal tersebut adalah permintaan ekstradisi atas Fethullah Gülen serta pembebasan salah satu bankir asal Turki yang ditahan di Amerika Serikat. Faktor lainnya adalah investigasi pembunuhan jurnalis Arab Saudi, Jamal Khassogi yang diduga dibunuh di dalam konsulat jenderal Arab Saudi di Istanbul. Dalam kasus Khassogi, Turki membutuhkan bantuan Amerika Serikat untuk menekan Arab Saudi terkait langkah-langkah investigasi atas pembunuhan Khassogi. Hanya saja, untuk permintaan ekstradisi atas Fethullah Gülen sampai saat ini belum ditanggapi oleh Amerika Serikat.
Masalah lain yang turut memperpanas hubungan antara Amerika Serikat dan Turki adalah keputusan Turki untuk membeli perangkat rudal pertahanan udara S-400 dari Rusia. Pada awalnya, sebagai anggota NATO, Turki ingin mengakuisisi sistem pertahanan udara Patriot sejak tahun 2013. Namun karena permintaan Turki untuk mendapatkan spesifikasi dan pengetahuan teknis dari rudal Patriot ditolak oleh Amerika Serikat serta kebutuhan akan sistem pertahanan udara yang sangat mendesak, akhirnya Turki menjatuhkan pilihan kepada rudal pertahanan udara S-400 asal Rusia. Pilihan tersebut bukan tanpa resiko, apabila Turki bersikeras untuk membeli sistem pertahanan Rusia ada beberapa sanksi yang akan diterapkan oleh AS terhadap Turki.
Gambar 3. Kedatangan gelombang pertama rudal pertahanan udara S-400 ke Turki. Sumber: https://www.yenisafak.com/gundem/ve-s-400-turkiyede-3498289
Pada tanggal 13 Juli 2019 yang lalu, Turki menerima pesanan rudal S-400 pertamanya. Sebagai akibat dari hal tersebut, Turki kemudian dikeluarkan oleh Amerika Serikat dari program pengembangan jet tempur F-35. Padahal, dalam proyek tersebut Turki turut berperan serta bahkan 900 komponen dalam pesawat F-35 berasal dari Turki. Tidak hanya itu, saat rencana akuisisi rudal S-400 mengemuka, Amerika Serikat menghentikan pelatihan pilot-pilot Turki yang diproyeksikan akan menerbangkan F-35 untuk Angkatan Udara Turki. Hal ini tentu saja berdampak pada upaya modernisasi Angkatan Udara Turki mengingat keikutsertaan Turki dalam proyek F-35 adalah untuk memperkuat kekuatan udara Turki (Editor Hidayatullah Rabbani).
*Artikel ini adalah hasil kerjasama antara PMB LIPI dan PPI Turki
_______________________________________________
Tentang Penulis
Arief Isdiman Saleh yang akrab disapa Arief, menyelesaikan pendidikan sarjana program studi Hubungan Internasional pada tahun 2015 dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran Yogyakarta dan magister Sains Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam pada tahun 2018 dari Universitas Indonesia. Arief Isdiman bergabung sebagai anggota PPI Turki pada tahun 2018 sebagai anggota biasa. Saat ini dalam kepengurusan PPI Turki menjabat sebagai staf Departemen Akademik dan Profesi. Sebelum bergabung sebagai anggota PPI Turki, Arief sempat menjadi kontributor rubrik dunia Islam pada Majalah Tabligh PP Muhammadiyah. Adapun bidang dan minat kajian yang ditekuni adalah pertahanan dan keamanan, demokrasi, politik internasional, serta isu dunia Islam dan Timur Tengah. Alamat email: ariefisdiman93@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Berita2020.12.04Jurnal Masyarakat dan Budaya, Terbitkan Edisi Transformasi Sosial Budaya
Berita2020.12.02Meninjau Ulang Revolusi Indonesia (1945-1949) sebagai Perjuangan Umat Islam
Opini2020.12.02Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat
Berita2020.08.09Dua Belas Prinsip Pendekatan Ekosistem dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam