[Masyarakat & Budaya, Volume 20, Nomor 16, Agustus 2021]

Oleh Alfin Dwi Rahmawan (Mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung)

Salah satu tantangan terbesar untuk menciptakan generasi Indonesia yang tangguh dan kompetitif adalah menciptakan sumber daya manusia yang berkompeten, dan memiliki keterampilan diri untuk dapat bersaing. Menciptakan individu yang mampu mengembangkan keterampilan diri merupakan tujuan dalam pembangunan nasional Indonesia sehingga dapat memetik manfaat dari momentum bonus demografi dan Indonesia Emas Tahun 2045. Guna menciptakan generasi Indonesia yang berkemajuan tentu dibutuhkan sinergi yang kuat di semua lini, dan tidak terkecuali institusi terkecil yakni keluarga. Keluarga yang berkualitas menjadi salah satu pondasi dasar untuk menciptakan bangsa yang maju. Sebab, semua yang berada di dalam masyarakat baik itu perilaku, interaksi, dan tindakan sosial masyarakat berawal dari pendidikan yang dibangun dalam keluarga.

Namun, dalam menciptakan sebuah keluarga yang berkualitas tentu ada tantangan tersendiri. Salah satunya adalah pernikahan dini atau perkawinan anak. Perkawinan anak sejatinya memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan anak. Sebagai contoh tertundanya perkembangan anak yang berimplikasi beralihnya fokus utama anak dari pendidikan ke masalah domestik rumah tangga. Selain itu juga, implikasi yang diberikan dari tindakan perkawinan anak secara sosial yakni berkurangnya komunitas bermain karena anak sudah mengurusi keluarga dan juga secara kesehatan ketika seorang anak perempuan hamil di usia yang belum cukup akan menimbulkan resiko kematian ibu dan janin, tekanan darah tinggi, eklampsia, dan proses persalinan yang memakan waktu lama.

Sesuai dengan amanah Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Sementara itu di Ayat 2, setiap anak memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tentunya dengan amanah ini apabila perkawinan terjadi pada usia dibawah 18 tahun maka dapat dipastikan sebagai perkawinan anak. Mirisnya berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2020) yang dipublikasikan ke dalam laporan “pencegahan perkawinan anak: percepatan yang tidak bisa di tunda” tahun 2020, 2 dari 100 pemuda melakukan perkawinan di bawah umur 16 tahun, dan 6% perempuan usia 15-19 tahun sudah menjadi ibu.

Dalam mencegah terjadinya lonjakan kasus perkawinan anak, melalui program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dari BKKBN melakukan berbagai upaya pendekatan seperti program bina keluarga remaja dan juga program generasi berencana yang memang memfokuskan pada persiapan masa depan remaja hingga sosialisasi secara masif kepada lapisan masyarakat. Namun ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, kebijakan penetapaan pendewasaan usia perkawinan yang dilakukan sangat diperlukan untuk menekan angka perkawinan anak. Tetapi faktor-faktor lain seperti faktor kemiskinan, tingkat pendidikan orang tua dan keluarga yang rendah, tradisi dan perilaku menikahkan anak perempuan sejak dini, faktor pemahaman terhadap agama, dan juga tata nilai dan sosial di dalam masyarakat menjadi faktor dalam melanggengkan usia perkawinan anak.

Isu perkawinan anak juga sangat erat dengan isu-isu kesetaraan dan keadilan gender. Salah satunya ditunjukkan dari kecendrungan bahwa usia anak lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Maria Ulfa Anshor mantan komisoner KPAI mengatakan anak-anak perempuan dalam perkawinan anak rentan dalam beberapa hal, yakni rentan menjadi korban perceraian sepihak; rentan menjadi korban kekerasan seksual dan pedophilia; rentan menjadi korban KDRT; rentan pendidikan formal terputus (drop out) dan membatasi akses ke dunia kerja (Anshor, 2016).

Secara teoretis sosio-antropologis, perkawinan sebagai suatu transaksi menurut adat kebiasaan dan untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat (Samsudin, 2017). Oleh karena itu, nilai-nilai dalam masyarakat juga menjadi salah satu faktor pendorong tindakan perkawinan. Seperti sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mathur, Greene, & Malhotra (2003) bahwa pernikahan dini (usia anak) disebabkan oleh kombinasi antara tradisi, kemiskinan, dan kurangnya kesempatan dalam mengakses sumber daya pembangunan. Indonesia yang masih kental terhadap nilai-nilai kebiasaan masyarakat menjadi salah satu faktor pendorong dalam melanggengkan perkawinan usia anak. Di Provinsi Bangka Belitung misalnya angka perempuan menikah di bawah usia 18 tahun berada diposisi ke-8 dengan persentase 15.5 % di Indonesia pada tahun 2019 (Liputan 6, 2020). Hal ini kemudian menjadikan Provinsi Bangka Belitung menjadi urutan tertinggi ketiga secara nasional (Dodoe, 2020).

Perkawinan anak yang melibatkan anak perempuan yang terjadi di Provinsi Bangka Belitung tidak terlepas dari faktor-faktor budaya dan kebiasaan yang melekat di dalam kelompok masyarakat. Maraknya perkawinan anak di biasanya terjadi pada daerah yang notebene nya berada pada wilayah perdesaan jika dilihat dari disagregasi menurut daerah tempat tinggal yang dihimpun oleh PUSKAPA Child Marriage Report 2020, dan tentu juga terjadi di Provinsi Bangka Belitung. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pola pikir masyarakat desa masih terpaku kepada lanskap ekonomi saja, yakni lebih memikirkan untuk mendapatkan uang ketimbang menempuh pendidikan. Berakar dari sinilah biasanya anak-anak yang ada di desa bekerja di sektor penambangan atau bekerja di kebun. Masyarakat perdesaan yang biasanya bekerja pada sektor lokal seperti timah, perkebunan sawit, lada, dan karet menjadikan sektor-sektor ini sebagai sektor utama untuk menghidupi keluarga ditengah kerasnya tantangan mencukupi kehidupan keluarga.

Di negara-negara yang memiliki tingkat kesejahteraan dan ekonomi yang relatif rendah, yang pertama kali dikorbankan dalam pendidikan adalah perempuan. Adanya persepsi dalam masyarakat yang melekat akibat adanya kontruksi sosial gender bahwa perempuan setelah dewasa pada akhirnya hanya mengurus anak dan suami. Disisi lain laki-laki dianggap memiliki peran sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Akibatnya perempuan disini mengalami subordinasi dalam konteks perkawinan.

Oleh karena kerasnya tuntutan hidup, menjadikan keluarga yang memiliki anak perempuan lebih memilih menikahkan anaknya ketimbang membeerikan akses pendidikan lanjutan. Imbasnya banyak anak perempuan yang menikah sebelum menamatkan pendidikannya di jenjang sekolah menengah atas (SMA) atau menikah setelah menamatkan pendidikannya di jenjang SMA. Tindakan inilah yang jika dianalisis menurut Harbert Blumer yang mempengaruhi perilaku sosial suatu masyarakat. Dengan demikian keinginan untuk melakukan perkawinan pada usia muda merupakan hasil dari tindakan dan keinginan dari manusia itu sendiri. Seperti halnya beberapa perilaku perkawinan anak yang masih terjadi di beberapa daerah di Bangka Belitung, tindakan ini mendapatkan dorongan dari keluarga dan kebiasaan masyarakat yang telah menjadi tradisi dan mengakibatkan fenomena perkawinan anak masih terus terjadi.

Berdasarkan observasi di lapangan, banyak anak perempuan yang lebih memilih bekerja di berbagai sektor seperti menjaga ruko, berjualan di warung kelontong, membantu di kebun, atau membantu kedua orang tuanya dalam bekerja setelah menamatkan pendidikan jenjang SMA. Sebab anggapan orang tua yang masih melekat bahwa kelak ketika dewasa sang anak hanya akan menjadi seorang ibu dan mengurusi rumah tangga saja sehingga pendidikan yang tinggi tidak begitu diperhatikan oleh orang tua. Aspek-aspek sosial seperti yang seperti dijelaskan menjadi faktor pendorong tindakan perkawinan anak sehingga patut diperhatikan guna melakukan upaya intervensi solutif. Diperlukan alternatif kebijakan yang tepat untuk memutus mata rantai perkawinan anak. Kebijakan- kebijakan yang menyasar langsung ke lapisan terbawah seperti anak-anak yang sedang menempuh pendidikan dasar hingga orang tua yang masih kekurangan dalam mendapatkan edukasi perkawinan perlu dilakukan secara holistik.

Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan seperti penguatan hukum dan kebijakan yang tepat dan tegas dalam melindungi anak terutama anak perempuan dari tindakan perkawinan anak, baik secara paksaan maupun tidak. Mengatasi kemiskinan juga dapat menjadi salah satu alternatif agar keluarga dan anak mendapatkan kesejahteraan dan menghindari tindakan-tindakan yang membuat anak dan keluarga mengambil tindakan yang salah serta juga memperhatikan kebijakan yang memfokuskan secara responsif terhadap gender.

Program-program yang saat ini dilakukan masih hanya sebatas edukasi dan sosialisasi. Diperlukan upaya pemberdayaan solutif terhadap kelompok-kelompok rentan seperti keluarga yang telah menikahkan anaknya di usia yang belum ideal yakni usia 21 untuk perempuan dan 25 untuk laki-laki berdasarkan BKKBN[1] dan juga usia 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan jika merujuk pada undang-undang perkawinan Nomor 16 Tahun 2019[2]. Atau juga menyasar kepada anak-anak yang sudah terlanjur menikah agar mereka dapat membina rumah tangga sesuai fungsi-fungsi keluarga dan menciptakan generasi yang lebih baik lagi.

Oleh karena itu, dengan berbagai upaya preventif yang dilakukan, permasalahan demografi yang diakibatkan oleh perkawinan anak dapat ditekan dan menciptakan masyarakat yang perduli dalam merencanakan masa depannya. Upaya ini juga diperlukan agar menghindari risiko dan kemungkinan-kemungkinan seperti kemiskinan yang berkelanjutan, resiko perceraian dan kekerasan yang terjadi dalam membangun sebuah keluarga. Upaya-upaya solutif menjadi sebuah tantangan bagi para stakeholder terkait dalam upaya menekan angka perkawinan usia anak di Provinsi Bangka Belitung. Diperlukan juga pendekatan bottom up agar dapat menjangkau lebih jauh dan melihat fakta-fakta di lapangan, yang sebenarnya penyebab dari tindakan ini semua seperti halnya fenomena gunung es. Banyak latar belakang permasalahan yang tidak muncul dipermukaan dan luput dari upaya pencegahan (Editor Ranny Rastati).

[1] Lihat BKKBN.go.id

[2] Lihat https://jdihn.go.id/files/4/2019uu016.pdf

Referensi

Ilustrasi: Shutterstock

Anshor, M. Ulfah. 2016. Kerentanan Anak Dalam Pernikahan Anak. Jurnal Perempuan. Vol. 2. No. 1.

BKKBN. Usia Ideal Menikah 21-25 Tahun. https://www.bkkbn.go.id/detailpost/bkkbn-usia-pernikahan-ideal-21-25-tahun.

Dodoe, Amir. 2020. Menggali Intervensi Solutif dan Alternatif Kebijakan terhadap Problem Demografi Lokal. Journal of Political Issues. 2(1); 47-57.

Mathur, S. Greene, M. & Malhotra, A. 2003. Too Young to Wed: The Lives, Rights, and Health of Young Married Girls. Internasional Center for Research on Women. https://www.researchgate.net/publication/237413840_The_Lives_Rights_and_Health_of_Young_Married_Girls.

Liputan 6. 2020. Data Pusat Statistik: Angka Pernikahan Dini di Kalimantan Selatan Tertinggi di Indonesia. https://www.liputan6.com/health/read/4351605/data-badan-pusat-statistik-angka-pernikahan-dini-di-kalimantan-selatan-tertinggi-di-indonesia.

Badan Pusat Statistik & PUSKAPA Child Merriage Report 2020. Pencegahan Perkawinan Anak Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda. 2020. https://www.unicef.org/indonesia/media/2851/file/Child-Marriage-Report-2020.pdf

Samsudin. 2017. Sosiologi Keluarga, Studi Perubahan Fungsi Keluarga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

_______________________________________

Tentang Penulis

Alfin Dwi Rahmawan merupakan mahasiswa Sosiologi Universitas Bangka Belitung, sekaligus juga Duta Generasi Berencana Provinsi Kep. Bangka Belitung 2019. Suka mengamati fenomena sosial sekaligus peneliti independen yang telah menghasilkan beberapa karya hasil penelitian berupa jurnal ilmiah dan prosiding. Aktif menulis di beberapa media lokal dan nasional. Email: alfindwirahmawan98@gmail.com