Home Artikel Perhutanan Sosial dan Akses yang Dijual

Perhutanan Sosial dan Akses yang Dijual

0

[Masyarakat & Budaya, Vol. 27, No. 8, November  2022]

oleh Moh. Andika Lawasi (Peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN)

Pada awal Oktober 2022 yang lalu, majalah Tempo dalam artikel investigasinya bertajuk “Para Penunggang Hutan Sosial” sempat mengangkat isu mengenai dugaan terjadinya pungutan liar dalam program perhutanan sosial. Pungutan ini diduga dilakukan oleh oknum pendamping dengan dalih sebagai syarat administratif (bagi petani) untuk tetap diakui menjadi anggota Kelompok Tani Hutan (KTH).  Menurut Peraturan Menteri LHK No.9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, menjadi anggota KTH memang diharuskan bagi petani (khususnya untuk skema Hutan Kemasyarakatan), karena dengan begitu mereka dapat diperbolehkan mengakses lahan yang telah disediakan.  Namun dalam prakteknya, aturan ini malah menjadi peluang kejahatan bagi beberapa oknum pendamping yang bermaksud mencari keuntungan. Para oknum ini dengan sengaja mematok “membership cost” KTH kepada petani yang tetap mau bergabung dengan alasan untuk biaya operasional organisasi. Konon, pungutan yang telah dikumpulkan tersebut diprediksi dapat mencapai hingga 300 miliar rupiah (Hermawan, 2022). Sebuah “omset” pungutan yang bahkan mengalahkan korupsi Bansos Covid-19 ala Juliari Batubara.

Akibat kasus ini, banyak petani yang ramai-ramai mengeluh dan merasa dirugikan. Salah satunya adalah Ibu Sumila, seorang petani miskin yang dalam artikel investigasi Tempo tersebut dikisahkan harus pontang-panting mencari pinjaman untuk bisa dapatkan dana sebesar 500 ribu rupiah sebagai “mahar“ keanggotaan KTH (Hermawan, 2022). Sungguh sangat ironis, dimana lahan perhutanan sosial yang seharusnya gratis untuk digarap, namun malah dikenakan tarif yang amat mencekik. Peristiwa ini tentunya sangat mencederai semangat yang terkandung dalam program Perhutanan Sosial. Program yang seharusnya menjadi gerbong terdepan pemberdayaan untuk menyejahterakan masyarakat petani miskin melalui pemberian akses atas pengelolaan hutan negara, malah justru menjadi beban baru yang tak semestinya dipikul oleh petani.

Meskipun sejauh ini baru ditemukan pada beberapa lokasi di pulau Jawa, kasus pungutan liar semacam ini bukan tidak mungkin sudah menyebar pula di tempat-tempat lainnya. Mengingat luasnya kawasan program Perhutanan Sosial dan tingginya tekanan kebutuhan masyarakat petani terhadap lahan.  Adanya kasus ini juga turut menunjukkan bahwa aturan main Perhutanan Sosial masih berpotensi disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab, terlebih di tengah kondisi pengawasan terhadap pelaksanaan program yang secara riil dinilai masih sangat lemah eksekusinya di lapangan. Alih- -alih kita berharap petani dapat segera sejahtera dari mengelola hutan negara, pada konteks ini meminta akses tehadap lahan pun terasa sulit dan birokratis. Sederhananya, bagaimana petani bisa mendapatkan penghasilan dari hasil menanam bila menginjakkan kaki ke lahan saja masih belum sempat karena terlalu kompleksnya permasalahan administrasi ditambah pungutan yang menghantui.

Fenomena pungutan liar dalam program Perhutanan Sosial menunjukkan bahwa betapa rapuhnya aturan akses petani terhadap lahan, sehingga membuatnya bertransformasi menjadi sarana pemiskinan baru yang membuat petani semakin tidak berdaya.  Bilamana aksi-aksi pungutan seperti ini terus dibiarkan terjadi tanpa ada kontrol dan sanksi yang tegas dari pihak yang berwenang, maka program perhutanan sosial mungkin akan kembali berjalan di tempat. Pada sisi lainnya, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani pun ibarat menegakkan sehelai benang yang basah.

Kasus pungutan liar di atas merupakan salah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi petani terkait program Perhutanan Sosial. Beragamnya masalah tersebut akhirnya turut pula berdampak terhadap belum tercapainya tujuan besar penyelenggaraannya, yakni menyejahterakan masyarakat sekitar hutan melalui pemberian akses lahan yang distributif dan proporsional.  Sejak digulirkan Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya sebagai salah satu program prioritas nasional, perhutanan sosial pada faktanya belum mampu berbicara banyak terkait sejauh apa masyarakat petani hutan berkembang dan sejahtera. Realitanya masih banyak persoalan yang dihadapi sekedar untuk mewujudkan agar program ini dapat berjalan, seperti mekanisme pemantapan batas kawasan yang masih ruwet, tata laksana perizinan yang sangat kompleks, kelembagaan petani hutan yang belum kokoh, rendahnya jumlah, dan terbatasnya kapabilitas penyuluh dan pendamping, serta masih menumpuknya persoalan administrasi lahan yang belum final.

Andaikata pemerintah dan seluruh stakeholder terkait benar-benar ingin melihat petani kita sejahtera, maka seyogyanya perlu memperkecil rintangan-rintangan administratif dan menghapus  kendala-kendala non-substantif seperti yang disebutkan sebelumnya. Terutama terkait pada hal-hal yang membelenggu akses langsung petani terhadap sumber daya hutan. Pemerintah juga perlu mendindak tegas dan “menghabisi” semua praktek-praktek penyelewengan para oknum di segala tingkatan pemerintahan (pusat-desa) yang coba memanen untung dari situasi yang menyulitkan petani.  Sebaliknya, pemerintah juga perlu merilis lebih banyak lagi instrumen kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan petani sehingga tujuan pemberdayaan dapat tersampaikan secara tepat kepada petani.

Faktanya keinginan petani terhadap perhutanan sosial sebenarnya tidaklah terlalu muluk. Harapan mereka adalah untuk bisa menggarap lahan dengan tenang tanpa terus-menerus terintimidasi baik oleh aturan kelembagaan yang rumit ataupun terancam oleh aksi-aksi maneuver aktor tertentu yang merasa punya kuasa terhadap lahan.  Kebebasan petani terhadap akses lahan adalah kunci mendasar pemberdayaan yang sesungguhnya (Damanik, 2019; Reski et al., 2017).  Bilamana petani dapat dengan bebas menggarap lahan, maka ketergantungannya pada pihak luar dapat berubah menjadi kemandirian (Soetomo, 2011). Dalam masyarakat petani, apa yang kita sebut dengan modal sosial, kecerdasan kolektif, dan inisiatif lokal sesungguhnya telah built-in dalam diri masyarakat yang mana akan muncul dengan sendirinya manakala ekosistem sosial dan lingkungannya mendukung. Mka dari itu, tugas negara adalah menciptakan ekosistem sosial dan lingkungannya tersebut menjadi sehat, sehingga segala ide, inovasi, maupun prakarsa lokal petani dapat berkembang secara progresif untuk mencapai kesejahteraannya secara mandiri, tanpa harus selalu bergantung pada bantuan pemerintah maupun dorongan external aid (bantuan pihak luar) lainnya.

 Pada akhirnya dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan dewasa ini, perhutanan sosial menjadi tema yang paling banyak ditantang. Tantangan tersebut adalah untuk membuktikan bahwa dengan membagi ruang kelola kawasan hutan kepada petani akan mensejahterakan petani yang sekaligus memberikan rasa adil. Perhutanan sosial, dengan 5 skemanya (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Adat, Kemitraan Kehutanan, dan Hutan Tanaman Rakyat), diharapkan mampu menjadi pembeda dari sekian banyak dorongan eksternal yang selama ini kerap gagal mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin, terutama terhadap mereka yang hidup secara subsisten dari hasil hutan.

Sudah saatnya kini perhutanan sosial benar-benar menjadi solusi sejati atas persoalan kemiskinan sekitar hutan, konflik tenurial, serta ketidakberdayaan komunitas pedesaan. Bukan lagi sekedar menjadi program seremonial belaka yang ikut berakhir bila rezim dan pejabatnya berhenti. Kita berharap bahwa akan ada kesungguhan dan komitmen yang nyata dari para elit (pusat-daerah-lokal-dan komunitas) untuk mengawal program ini sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan. Tentunya harus diiringi dengan perbaikan menyeluruh dari level regulasi hingga pengaturan di tingkat tapak. Bila perbaikan tersebut benar-benar dijalankan secara tepat dan efektif, maka mari menaruh harapan bahwa ekosistem perhutanan sosial kita ke depan bisa jauh lebih baik dari sebelumnya. Dan semoga apa yang kita sebut dengan taglinemembangun Indonesia dari pinggiran desa“ dapat tercapai secara nyata. (Editor: Dicky Rachmawan)

Referensi:

Damanik, S. E. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Hutan. Uwais Inspirasi Indonesia.

Hermawan, E. (2022, Oktober 02). Para Penunggang Hutan Sosial : Pungutan Liar Perhutanan Sosial. Diakses Dari Https://Majalah.Tempo.Co/Read/Investigasi/167032/Para-Penunggang-Hutan-Sosial.

Reski, N. A., Yusran, Y., & Makkarennu, M. (2017). Rancangan Pemberdayaan Masyarakat pada Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Desa Pacekke, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Jurnal Hutan Dan Masyarakat, 37–43.

Soetomo. (2011). Pemberdayaan masyarakat: mungkinkah muncul antitesisnya? Pustaka Pelajar.

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

Tentang Penulis

Moh. Andika Lawasi adalah peneliti pada Kelompok Riset Dinamika Masyarakat dan Hutan, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN. Ia tertarik dengan isu-isu kehutanan masyarakat, kearifan lokal, ekologi sosial-politik sumber daya hutan, serta isu kehutanan lainnya. Ia bisa dikontak melalui: andika.lawasi@gmail.com atau moha072@brin.go.id.

NO COMMENTS

Exit mobile version