Oleh Farieda Ilhami Zulaikha (Universitas Perjuangan Tasikmalaya)

Indonesia akhirnya menginjak usia 74 tahun yang disimbolkan sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, sudahkah kita benar-benar merdeka? Sudahkah kita terbebas dari segala perilaku ketimpangan dan ketidakadilan? Sudah seyogyanya kita kembali merenungi perjalanan Indonesia selama 74 tahun ini. 

Selama 74 tahun ini, diskriminasi gender dalam berbagai ranah kehidupan kerap terjadi yang akhirnya menciptakan perbedaan status sosial perempuan dan laki-laki Di wilayah yang masih kental dengan budaya patriarki perempuan dianggap sebagai “warga kelas dua”.  Padahal ketidaksetaraan gender di Indonesia disiyalir menjadi alasan turunnya nilai produk domestik bruto (PDB) sebesar US$135 miliar (Katadata, 7 Mei 2019). Dalam kurun waktu enam tahun ke depan, pemerintah harus dapat mengurangi disparitas gender yang terjadi.  Oleh sebab itulah isu gender selalu menjadi poin penting dalam program pembangunan berkelanjutan (SDGs). Program pembangunan berkelanjutan ini diterapkan dalam program pengarusutamaan gender (PUG). Pelakasanaan PUG di Indonesia diawali dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 yang diperkuat dengan Undang Undang (UU) No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.

Berhasil atau tidaknya PUG ini salah satunya dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Gender (IPG). Berdasarkan laporan Pembangungan Manusia berbasis Gender (2018), Kementerian  Pemberdayaan Perempuan dan Anak, pada tahun 2017 IPG di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,15 % dari tahun 2016. Namun nilai tersebut tidak serta merta menunjukan bahwa diskriminasi gender tidak lagi terjadi di Indonesia. Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang umumnya mempunyai nilai IPG yang lebih tinggi dibandingkan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tetap saja tidak mencerminkan bahwa semua daerah di KBI memiliki nilai IPG yang baik. Nilai IPG teredah di KBI diraih oleh Jawab Barat. Jawa Barat adalah provinsi dengan nilai IPG dibawah 90. IPG Jawa Barat mengalami penurunan dari tahun 2016 sebesar 0,38 poin. Penurunan ini disebabkan oleh harapan lama sekolah perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dan turunnya angka partisipasi sekolah perempuan di dua kelompok umur yakni 13-15 dan 16-18.

Rendahnya partisipasi sekolah perempuan perlu mendapatkan sorotan yang mendalam. Di pedesaan usia 15-18 merupakan usia yang rentan terhadap pernikahan dini (Ramadhani, Tirto, 1 Juli 2017). Berangkat dari adat istiadat yang telah terbentuk dan terintegrasi dalam masyarakat pedesaan, praktek menikah muda ini menjadi hal yang lumrah dilakukan. Di usia yang masih terlalu dini untuk menikah, mereka tidak mendapatkan perlindungan dan pendidikan atas hak reproduksi. Banyak perempuan yang tidak memahami kondisi kesehatan alat reproduksi yang dapat berpotensi mengancam jiwa mereka. Tabunya pembahasan tentang hal yang berbau seksual menyebabkan para perempuan ini tidak mendapatkan akses terhadap otoritas tubuh yang seharusnya. Bukanlah hal yang aneh jika melihat perempuan usia SMP sudah menggendong seorang anak, bahkan bukannya tidak mungkin usia 31 sudah menjadi seorang nenek. Sebutan perawan tua yang kerap disematkan kepada anak perempuan yang tidak kunjung menikah di usia 15 tahun keatas juga menjadi salah satu efek dan pemicu praktek menikah muda ini. Setelah menikah para perempuan desa  berhenti mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Praktek yang terus berulang ini tidak bisa dipandang sebagai fenomena yang sederhana. Dimulai dari, kuatnya tradisi, beban ekonomi, lokasi geografis yang mengarah pada minimnya akses pendidikan hingga besarnya disparitas gender dalam masyarakat pedesaan membuat fenomena ini menjadi sangat kompleks untuk dipecahkan.

Kuatnya Tradisi

Sumber: http://www.berdikarionline.com/perempuan-dan-uu-desa/
Sumber: http://www.berdikarionline.com/perempuan-dan-uu-desa/

Tradisi yang mengakar kuat dalam masyarakat yang terkesan melegalkan pernikahan usia dini menjadi salah satu faktor penentu terpenting yang menyebabkan maraknya praktek nikah muda. Pelarangan untuk menolak siapaun pria yang melamar seorang perempuan semakin meningkatkan jumlah pernikahan usia dini di pedesaan. Label perawan tua pun turut menambah rentetetan keharusan untuk segera menikah.

Adat istiadat yang kental dalam praktek bermasyarakat dapat terlihat dalam pergaulan masyarakat tradisional Sunda. Peribahasa yang selalu diejawantahkan dari generasi ke generasi memperkuat pernikahan usia dini tanpa dibekali ilmu yang cukup. Salah satu peribahasa Sunda menyiratkan bahwa hidup bahagia seorang suami ditentukan oleh istri yang cantik yang bisa menyenangkan suami lahir dan batin, Bojo denok, sawah ledok. Peribahasa Sunda ini menjadi bukti bahwa dalam budaya konvensional Sunda, perempuan yang dapat menyenangkan suami lahir batin lebih menitikberatkan pada fisik bukan dari kecakapan atau kematangan seorang wanita. Seorang pria dengan penghasilan yang cukup dan mendapatkan istri cantik dianggap sudah mencapai tingkat kebahagiaan yang diharapkan semua orang.

Beban Ekonomi

Rendahnya pendapatan membuat akses terhadap pendidikan pun tidak terlaksana secara maksimal. Seperti yang disampaikan oleh Lia Anggiasih (Ferrawati, Jurnal Perempuan, 25 Juli 2019) anak perempuan dianggap sebagai beban oleh para orang tua. Menyegerakan pernikahan menjadi solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Namun sayangnya pernikahan dini yang tidak dibekali dengan kemampuan mencari nafkah pun akhirnya membuat para orang tua kembali turun tangan membantu anak – anak mereka. Pengaruh psikologis pun tidak terelekkan lagi. Perempuan yang seharusnya masih bermain-main dengan teman sebaya dan masih dalam penanganan orang tua telah menjadi orang tua yang harus mengurus anak, suami dan rumah.

Lokasi Geografis

Lokasi setiap daerah di Indonesia yang beragam membuat kualitas dan akses terhadap pendidikan pun tidak sama. Walaupun telah dicanangkannya program pemerataan pendidikan, kesenjangan pendidikan antara desa dan kota tetap terlihat. Lokasi pedesaan yang jauh dari pusat pendidikan semakin memperparah kondisi ini. Dengan jarak yang cukup jauh ini tidak menutup kemungkinan keterlambatan informasi terjadi yang dapat menyebabkan kualitas pendidikan desa dan kota tidak merata.

Disparitas Gender dalam Masyarakat Pedesaan

Sumber: http://www.harnas.co/2015/12/15/peran-perempuan-desa-minim
Sumber: http://www.harnas.co/2015/12/15/peran-perempuan-desa-minim

Konstruksi sosial masyarakat pedesaan yang cenderung memarjinalkan perempuan menjadi hal yang memperparah kondisi ketimpangan gender. Praktek ini dapat terlihat dari subordinasi, dan pelabelan negatif bagi perempuan. Ketimpangan gender ini berasal dari praktek budaya yang terus dipertahankan oleh masyarakat desa. Salah satu produk budaya yang masih melekat dalam interaksi sosial masyarakat pedesaan adalah peribahasa. Peribahasa yang sarat akan nilai – nilai budaya yang diejawantahkan dalam bentuk nasihat, peringatan ataupun larangan ini tidak bisa terlepas dari bias gender. Seperti yang terjadi dalam peribahasa bahasa Sunda. Konstruksi perempuan yang dilabeli dengan dapur, dandan dan ranjang semakin menguatkan status sosial perempuan sebagai warga kelas dua dalam masyarakat. Tidak adanya kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk turut serta dalam ranah publik semakin mengerucutkan peran perempuan dalam rumah tangga di masyarakat tradisional Sunda. Relasi kuasa jelas terlihat dalam praktek sehari – hari dimana perempuan lebih banyak berkutat dalam urusan domestik. Adanya Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desa- desa tidak serta merta memberikan pengaruh positif dalam pemberdayaan perempuan, yang terjadi malah sebaliknya. Seperti halnya yang terjadi di Desa Cinyasag, Dusun Cengkir Manis. Keberadaan PKK malah kebali menguatkan kuasa laki-laki atas perempuan dimana perempuan memang difungsikan untuk mengurusi ranah domestik dalam rumah tangga. Sedangkan para pria bertugas untuk mengurusi ranah publik.

Jelas terlihat bahwa diskriminasi gender yang terjadi di masyarakat pedesaan hingga akhirnya berimbas pada penurusan angka partisiasi perempuan di sekolah bukanlah masalah yang dapat diselesaikan hanya dengan membalikkan telapak tangan. Literasi gender yang berkelanjutan, kesadaran dan pelibatan seluruh lapisan masyarakat menjadi faktor kunci dalam pebangunan gender di masyarakat pedesaan. Kemerdekaan bukan hanya dirasakan oleh golongan masyarakat tertentu tetapi harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat (Editor Ranny Rastati).

 

REFERENSI

Ferrawati, S. 2019. Hari Anak Nasional: Berikan Anak Ijazah, Bukan Buku Nikah. Diakses dari https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/category/all/2

Ramadhani, Y. 2017. Anak-Anak di Pedesaan Rentan Menikah pada Usia Dini. Diakses dari https://tirto.id/anak-anak-di-pedesaan-rentan-menikah-pada-usia-dini-cro3

Tim Publikasi Katadata. 2019. Indonesia Bakal Merugi Jika Kesetaraan Gender Tak Segera Diatasi. Diakses dari https://katadata.co.id/berita/2019/05/07/indonesia-bakal-merugi-jika-kesetaraan-gender-tak-segera-diatasi

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. 2018. Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Diakses dari www.kmenppa.go.id

_______________________________________

Tentang Penulis

Farieda Ilhami Zulaikha,  yang biasa disapa Riri telah menyelesaikan pendidikan sarjana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris pada tahun 2010 dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat dan magister Ilmu Linguistik pada tahun 2017 dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saaat ini merupakan dosen aktif di Universitas Perjuangan Tasikmalaya, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Sejak mengenyam pendidikan pascasarjana, ia tertarik meneliti bidang gender dan bahasa khususnya kajian Linguistik Antropologi. Ia menuangkan ketertarikannya melalui penelitian dan esai dari tahun 2016. Alamat email: riri.rieda@gmail.com.