[Masyarakat & Budaya, Vol. 25, No. 27, April 2022]

Oleh : Kadek Ayu Ariningsih (Mahasiswa Doktoral Filsafat Universitas Gadjah Mada)

Pasar tradisional adalah tempat bertemunya antara penjual dan pembeli. Ketika ditelisik kembali mengenai siapakah yang menjadi subjek dari kata “penjual” dan “pembeli”, jawabannya adalah perempuan.  Meski persentase keterlibatan perempuan tidaklah seratus persen, namun peran laki-laki dalam pergerakan aktifitas pasar tradisional di Indonesia hanya memiliki angka disekitar lima belas persen dari keseluruhan persentase (Fujiati, 2017). Proporsi persentase peran perempuan sebagai subjek dalam pergerakan pasar tradisional menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam suatu kebudayaan.

Perempuan dalam kebudayaan khususnya masyarakat Bali lebih banyak terlibat dalam aktifitas pasar tradisional. Aspek-aspek sentral produksi-konsumsi dalam pergerakan ekonomi pasar tradisional Bali melibatkan peran perempuan secara aktif (Wahyuni & Marhaeni, 2021). Pemandangan pasar tradisional yang dipenuhi perempuan Bali sebagai pelaku ekonomi adalah lumrah dalam keseharian masyarakat Bali. Mari kita berkeliling di pasar-pasar tradisional yang ada di Bali, maka perempuan Bali tidak hanya tampil sebagai wajah sebagai konsumen, namun juga terlibat sebagai penjual barang dan jasa, semisal menjadi pedagang hingga profesi tukang suun. Profesi-profesi yang dijalankan, terlebih pada profesi tukang suun yang merupakan profesi jasa angkut barang, sebuah profesi yang sudah tentu berat karena melibatkan aktifitas fisik yang memerlukan daya otot yang besar. Profesi-profesi yang dijalani perempuan Bali di pasar tradisional ini nampak bertalian jauh dengan aksen feminitas yang melekat pada sosok perempuan. Profesi-profesi yang dijalankan oleh para perempuan Bali menunjukkan peran pentingnya perempuan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Perjalanan historis tentang kematangan perempuan Bali dalam bidang kewirusahaan selalu dikaitkan dengan tokoh Ratu Ayu Mas Melanting. Literatur sejarah menyebutkan bahwa Ratu Ayu Mas Melanting adalah Putri dari Dang Hyang Nirarta. Ratu Ayu Mas Melanting memiliki nama asli Ida Ayu Swabhawa yang memiliki karakter bijaksana, cerdas dan ahli dalam perniagaan. Kecantikan serta karakter Ida Ayu Swabhawa menyebabkan dirinya terkenal sebagai pedagang yang selalu digemari oleh pelanggannya dan menjadi contoh bagi masyarakat tempat tinggalnya yang juga berprofesi sebagai pedagang. Hingga kini penghormatan terhadap Ratu Ayu Mas Melanting masih dilakukan oleh masyarakat Bali. Ratu Ayu Mas Melanting menjadi simbolis intelektual perempuan Bali dalam bidang kewirausahaan. Baru-baru ini bahkan patung dengan mengambil refleksi bentuk Ratu Ayu Mas Melanting dibangun sebagai icon baru Pasar Badung yang dibangun tepat di depan Pura Melanting Pasar Badung. Keberadaan patung Ratu Ayu Mas Melanting semakin menegaskan kiprah perempuan dalam aktifitas perdagangan telah ada sejak lama.

Kecantikan dan karakter Ratu Ayu Mas Melanting memiliki dimensi filosofis dalam aktifitas perdagangan pada pasar tradisional masyarakat Bali. Kecantikan Ratu Ayu Mas Melanting seolah menjadi simbol bahwa perempuan memiliki daya tarik yang natural dalam aktifitas perniagaan. Kata cantik merepresentasikan bentuk-bentuk yang dianggap ideal berdasarkan budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat. Pada berbagai kebudayaan dari masa ke masa, konstruksi kecantikan selalu mampu menjadi daya tarik suatu produk (Sari, 2019). Sedangkan karakter dari Ratu Ayu Mas Melanting yang bijaksana dan cerdas menyiratkan aspek-aspek etika dan moral yang hendaknya perlu dipegang oleh setiap insan, tidak hanya oleh para pedagang. Hal ini menyimpulkan bahwa dimensi berdasarkan aspek historis menyampaikan makna bahwa intelektualitas kaum perempuan dalam kewirausahaan mampu mendatangkan nilai (value) apabila disertai kebijaksanaan dalam bentuk etika dan moral yang mendatangkan keuntungan materiil dan moril.

Lebih lanjut, peran perempuan dan religiusitas juga kental dalam aktifitas pasar tradisional yang terlihat melalui keterlibatannya dalam rutinitas pelaksanaan ritual sesajen, baik di Pura Melanting ataupun pada lapak dagangannya. Pura Melanting adalah bangunan suci yang umumnya terdapat dalam satu wilayah pasar tradisional Bali dan merupakan area yang sakral bagi kaum masyarakat pasar. Pura Melanting menjadi media penghubung antara pedagang dengan manifestasi Tuhan dalam perwujudan Ratu Ayu Mas Melanting.  Aspek religius ini tidak hanya dapat dilihat melalui intensitas persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat pasar tradisional. Religiusitas masyarakat pasar tradisional juga dapat dilihat melalui perwujudan harmonisasi atas relasi antara setiap pribadi masyarakat pasar yang memunculkan ketaatan terhadap aturan-aturan yang bahkan tidak memiliki legalitas tertulis, semisal kesepakatan untuk partisipasi aktif menjaga kebersihan pasar tradisional dan menciptakan kondisi lingkungan pasar yang tetap kondusif. Internalisasi nilai-nilai religius telah mendukung aktifitas pasar tradisional secara menyeluruh.

Pada perkembangannya dengan kemajuan pesat era kapitalisme modern saat ini berpengaruh pada dinamika keikutsertaan perempuan dalam aktifitas pasar tradisional yang mulai mengalami pergeseran. Saat ini terlihat mulai sulit menemukan perempuan muda (dibawah 30 tahun) yang menjalani profesi sebagai pelaku pada pasar tradisional. Salah satu faktor penyebabnya adalah perkembangan teknologi digital yang semakin masif saat ini. Pasar konvensional mulai digantikan oleh toko online yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai platform belanja online. Para investor dan produsen dunia kini terus berinovasi dalam pengembangan teknologi digital untuk menawarkan berbagai kemudahan dalam persaingan pasar global. Penggiat teknologi digital terus meningkatkan dan meluaskan sumber daya finansial serta sumber daya manusia untuk mampu menarik dan menjangkau konsumen dari berbagai lapisan dan kalangan masyarakat. Kini pola pikir masyarakat pun mulai berubah ketika kemudahan teknologi ini berdatangan. Perubahan pola pikir masyarakat di wilayah pedesaan tentu tidak secepat di wilayah perkotaan, namun perubahan tersebut ada dan nyata secara perlahan dalam segala aspek kehidupan di masyarakat. Arus global telah menimbulkan pertanyaan mengenai potensi pengembangan pasar tradisional di masa depan. Hal inilah yang menyebabkan banyak perempuan Bali yang kemudian menggunakan pendidikan untuk mencari dan menemukan alternatif pilihan pekerjaan yang lebih beragam.

Pendidikan adalah respon adaptif perempuan Bali dalam menghadapi dinamika kebudayaan pasar tradisional. Kebudayaan pasar tradisional bergerak memasuki fase stagnansi dengan adanya iklim kapitalis berbasis teknologi. Arah perkembangan kebudayaan bukanlah hal yang pasti (Husodo, 2018). Bukan tidak mungkin, pasar tradisional direlokasi ke dunia metaverse dan kebudayaan lokal lainnya hanya akan ada dalam bentuk Augmented Reality (realitas tambahan). Adaptasi merupakan bentuk kausal dari peluang dan ancaman global. Adaptasi tidak dapat digeneralisasi sebagai suatu kesimpulan bahwa perempuan Bali meninggalkan nilai-nilai budaya lokal atau nilai kearifan dirinya dalam peran sebagai penjaga budaya. Ini adalah hal naluriah atas kepemilikan intelektualitas dari setiap insan guna menjangkau masa depan. Konteks adaptasi jelas tidak mengacu pada sikap pesimis atau kelonggaran sikap terhadap ancaman keberlangsungan budaya lokal, lebih dari itu, adaptasi pendidikan muncul melengkapi eksistensi perempuan Bali dari sisi lainnya.

Sampai saat ini peran penting perempuan Bali telah dan akan tetap menjadi bagian peradaban pasar tradisional, meskipun sudah mulai terjadi pergeseran. Dimana kehadiran pasar tradisional memberikan ruang bagi perempuan Bali untuk tetap berdaya di bidang ekonomi. Lebih dalam dari hanya nilai ekonomi semata, perempuan Bali berperan penting dalam kebudayaan pasar tradisional yang mencakup nilai dasar pembangunan karakter manusia yakni nilai religius, etika, dan moralitas. Ketiga nilai tersebut adalah nilai-nilai yang dapat menjadi pilar harmonisasi kehidupan masyarakat dalam kebudayaan itu sendiri. Hal ini menjadi ciri khas yang menguatkan eksistensi dan citra perempuan Bali sebagai perempuan kuat yang cerdas, tangguh dan mandiri. (Editor: Dicky Rachmawan)

 

Referensi.

Fujiati, D. (2017). Perempuan Pedagang dan Pasar Tradisional. Muwazah (Jurnal Kajian Gender), 9(2), 106–124. Retrieved from http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/1123

Husodo, P. (2018). Keruntuhan Peradaban Barat menurut Oswald Spengler. Analisis Sejarah, 6(2), 169–185.

Sari, I. P. (2019). Rekonstruksi dan Manipulasi Simbol Kecantikan. Hawa, 1(1). https://doi.org/10.29300/hawapsga.v1i1.2221

Wahyuni, P. U. S., & Marhaeni, A. A. I. N. (2021). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONTRIBUSI PEREMPUAN BALI PADA PENDAPATAN RUMAH TANGGA PEDAGANG PASAR TRADISIONAL KETAPIAN DENPASAR TIMUR. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana, 10(1).

______________________________________

*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN

_______________________________________

 

Tentang Penulis

Kadek Ayu Ariningsih adalah Mahasiswa Doktoral Jurusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.  Publikasi ilmiahnya yang pernah dilakukannya meliputi topik pendidikan agama Hindu, filsafat dan kearifan lokal. Sejak 2021 menempuh studi doktoral di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Email: ayuari.md@gmail.com