Oleh Luis Feneteruma (Peneliti PMB LIPI)
Undang-Undang Desa (UU Desa) Nomor 6 tahun 2014 sudah ditetapkan dan berjalan sekitar dua tahun lebih dengan fokus pembangunan daerah pinggiran dan desa sesuai dengan program Nawacita. Dari total 74.910 desa yang tersebar di seluruh Indonesia, wilayah timur provinsi Papua Barat ada 1.743 desa yang berada di 12 kabupaten. Jumlah kampung ini semakin meningkat dengan adanya pemekaran daerah otonomi baru di beberapa wilayah seperti kabupaten Manokwari Selatan, kabupaten Pegunungan Arfak, kabupaten Tambrauw, dan kabupaten Maybrat.
Dengan bertambahnya jumlah kampung maka jumlah dana kampung yang dikucurkan oleh pemerintah pusat mengalami perubahan. Di tahun 2017 total dana kampung untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp1.364.412.395.000, ini lebih besar alokasi dana di tahun 2016 sebesar Rp1,074 milyar dan tahun 2015 sebesar Rp 449 miliar (sumber: lm, Radar Sorong, 13 Juli 2017). Besaran dana kampung untuk setiap kabupaten kota berbeda disesuaikan dengan jumlah kampung yang dimiliki. Dana kampung tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan kampung baik program pembangunan fisik maupun non fisik. Pertanyaannya apakah dengan jumlah dana kampung yang bertambah dapat menyejahterakan masyarakat kampung? Ini perlu dipahami secara baik oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kemudian pertanyaan yang kedua adalah apakah selama ini pembangunan kampung yang ada di Papua Barat berbasis potensi sumber daya lokal?

Untuk menjawab hal itu, harus ada perencanaan pembangunan kampung yang baik sesuai letak geografis dan sosial budaya masyarakat setempat serta prioritas kebutuhan kampung misalnya listrik, pengembangan pariwisata, perikanan, perkebunan dan lain sebagainya. Ini yang harus direncanakan secara seksama antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sehingga arah pelaksanaan pembangunan kampung tepat sasaran dan sesuai tujuan yang sudah direncanakan. Pembangunan kampung bisa saja mengikuti perencanaan daerah jangka panjang yang sudah ditetapkan, tetapi alangkah baiknya jika pembangunan kebutuhan dasar atau pelayanan dasar kampung dipenuhi terlebih dahulu agar mendukung pembangunan jangka panjang yang direncanakan oleh pemerintah.
Pembanguan kampung di Papua Barat selama ini ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil seperti yang diberitakan oleh media nasional. Penyebabnya adalah dana kampung yang dikorupsi dan tidak sesuai peruntukan. Menurut data dari Koran Tempo tanggal 04 Agustus 2017 bahwa ada 362 laporan mengenai penyalahgunaan dana desa yang sudah diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan tidak menutup kemungkinan sebagian penyalahgunaan dana desa berasal dari Papua Barat.
Dengan demikian, ke depannya harus diadakan evaluasi secara detail oleh pemerintah daerah agar sisi positif dan negatif pemberian dana kampung dapat diketahui dan dicari solusinya. Harus ada bukti kongkrit dilapangan bahwa dana kampung memang benar – benar digunakan untuk pembangunan kebutuhan masyarat kampung, yang selama ini terjadi adalah penilaian menggunakan indikator suksesnya realisasi anggaran dana kampung yang sudah terserap 100% tetapi tidak sesuai dengan fakta lapangan. Jadi sebenarnya dana bukan merupakan faktor tunggal pembangunan tetapi yang dibutuhkan adalah komitmen masyarakat dalam pembangunan.
Satu contoh nyata dan menarik yang penulis lihat adalah hasil pembangunan salah satu kampung di kabupaten sorong-papua barat yaitu kampung Malaumkarta, dimana penggunaan dana kampung itu disesuaikan dengan potensi kampung yaitu pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Program PLTA ini dibangun atas musyawarah bersama antara pemerintahan kampung dan seluruh elemen masyarakat kampung Malaumkarta. Didalam proses pekerjaan pun mereka bahu-membahu dalam pembangunan PLTA tersebut, hal ini patut dicontoh dan diikuti oleh kampung–kampung lainnya yang ada di Papua Barat. Dana kampung harus dikelola sesuai kebutuhan yang mengeksplor sumber daya atau potensi lokal. Bukan program asal-asalan yang dikerjakan tetapi program yang mempunyai dampak sosial serta berjangka panjang dan meningkatkan kesadaran gotong royong masyarakat kampung.

Lebih lanjut di kampung Malaumkarta rencananya akan dibangun tempat pariwisata. Gagasan ini sudah ditetapkan bersama dalam musyawarah kampung kemudian untuk strategi pariwisata mereka sudah menyiapkan pemetaan spot-spot yang menjadi tujuan wisatawan serta pemetaan lokasi lainnya seperti home stay dan tempat parkir. Selain itu di Malaumkarta juga sudah ada pusat peneluran Penyu yang mendapat dukungan dari Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (PSPL) Sorong dengan menyiapkan demonstrasi plot (petak percontohan) penangkaran dan bak penampungan Tukik (bayi penyu). Ini bukti bahwa kampung bisa menjadi kampung mandiri yang dapat menyejahterakan masyarakatnya dengan pengelolaan sumber daya lokal yang dimiliki secara baik dan berkelanjutan.
Selain pembangunan PLTA, pariwisata, tempat penangkaran dan penampungan Tukik yang sudah dijelsakan. Di kampung malaumkarta juga sebelumnya sudah melaksanakan konsevasi laut berbasis adat atau yang dikenal umum dengan nama Sasi (dalam bahasa Moi disebut Yegek) . Sasi ini dilakukan pertama kali pada tahun 2011 dan masih dipertahankan hingga sekarang. Hasil dari sasi ini banyak membantu masyarkat dalam memenuhi kebutuhan kehidupan mereka sehari – hari.
Dibalik kesuksesan pembangunan kampung malaumkarta tidak terlepas dari peran pemuda yang aktif menjadi ujung tombak dalam menggerakan konsep, tenaga dan waktu serta ide-ide kreatif mereka. Ada satu lembaga yang didirikan oleh pemuda malaumkarta, namanya Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM). PGM ini bertugas untuk merencanakan pembangunan kampung di malaumkarta baik itu segi sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA) yang ada demi kesejahteraan bersama masyarakat kampung malaumkarta yang juga berdampak bagi kemajuan pembangunan daerah. PGM tidak hanya terdiri dari pemuda/i saja tetapi toko perempuan dan toko adat juga dilibatkan dalam sturktur organisasi PGM.
Pembangunan kampung yang sesuai tujuan Undang-Undang Desa dibutuhkan waktu yang lama dan bertahap karena selalu ada tantangan yang akan dihadapi baik itu dari internal maupun eksternal. Belajar dari contoh kampung Malaumkarta, hal utama dalam pembangunan kampung adalah adanya perencanaan kampung yang baik dan kesadaran masyarakat dalam gotong-royong yang dapat dijadikan kekuatan serta adanya organisasi yang menggerakan sumber daya yang ada. Memang disadari terdapat berbagai perbedaan dari segi potensi sumber daya lokal yang ada di setiap kampung di Papua Barat, tetapi itu bukan menjadi alasan untuk tidak berpikir kreatif dan membangun. Masih banyak sumber daya lain yang dapat digali untuk kemajuan sebuah kampung. (Editor: Ranny Rastati)
Referensi :
UU No. 6 Tahun 2014 http://peraturan.go.id/uu/nomor-6-tahun-2014.html (diakses tanggal, 28 Agustus 2017)
Lm, Total Dana Desa di Papua Barat Rp1,36 Triliun, Radar Sorong, 13 Juli 2017 www.radarsorong.com/read/2017/07/13/51959/Total-Dana-Desa-di-Papua-Barat-Rp136-Triliun (diakses tanggal, 29 Agustus 2017)
Korupsi Dana Desa, 362 Laporan Masuk ke KPK, Tempo, 04 Agustus 2017
https://www.tempo.co/read/fokus/2017/08/04/3538/korupsi-dana-desa-362-laporan-masuk-ke-kpk (diakses tanggal, 29 Agustus 2017)
______________________________________
Tentang Penulis
Luis Feneteruma adalah Kandidat Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK – LIPI). Ia bergabung dengan P2KK – LIPI pada tahun 2015. Menyelesaikan S1 di Universitas Muhamadiyah Sorong (UMS) Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Adat dan Keagrariaan 2012. Bidang yang ditekuni dalam penelitian adalah Hukum Adat dan Kebudayaan. Disamping itu bergabung juga dengan Kelompok Peneliti Hukum (Kelti Hukum) P2KK – LIPI. Alamat email : lfenetruma@gmail.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah