Jakarta, Humas BRIN. Bangsa Indonesia yang berusia 76 tahun sudah memperoleh banyak kemajuan, baik di bidang ekonomi, pendidikan, maupun infrastruktur. Walau sudah banyak kemajuan fisik yang dicapai, namun masih ada sisi non-fisik yang masih terus diperbaiki dan dikembangkan sampai sekarang, yaitu “Bangunan Kewarganegaraan”. Hal ini diutarakan M. Khoirul Muqtafa, peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PMB) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PMB-BRIN), dalam webinar bertajuk “Dari Cacah ke Warga Negara : Tantangan Kewarganegaraan Indonesia”, Selasa (14/9), yang diselenggarakan oleh PMB-BRIN dan Pusat Studi Heritage Nusantara – Universitas Kristen Satya Wacana (PSHN – UKSW).
Menurut Khoirul, ada perbedaaan lahirnya bangsa-bangsa di Eropa dengan Indonesia. “Kalau di Eropa, bangsa / negara lahir dari keinginan lepas dari Kekuasaan Dinasti atau Etis, namun di Indonesia, keinginan berbangsa itu lahir dari keinginan hidup bersama dari entitas atau elemen yang berbeda-beda,” ujar Khoirul.
Adapun entitas yang membentuk Indonesia beraneka ragam unsurnya. Entitas suku atau etnik bisa puluhan jumlahnya, begitu pula ideologi politik bisa beraneka warna alirannya. Belum lagi Agama dan Kepercayaan yang dianut. “Ini sebuah tantangan bagi Negara/Bangsa Indonesia, bagaimana memfasilitasi keberagaman/kebhinekaan itu,” tutur Khoirul. Dirinya mengatakan, pada entitas keagamaan, dalam praktiknya memunculkan sejumlah perbedaan aliran/pemahaman.“Yang satu mengklaim sebagai aliran yang lurus, menghakimi atau menertibkan aliran yang dianggap menyimpang, seperti penyerangan terhadap Komunitas Ahmadiyah di Kalimantan baru-baru ini,” sebut Khoirul. Kasus ini menjadi salah satu contoh masalah hubungan identitas dan kewarganegaraan.
“Identitas keagamaan, suku, dan lain sebagainya, sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, sedangkan identitas politik warga negara, masih dalam proses pembentukan yang belum final”, tutur Khoirul. Ikatan-ikatan primordial seperti agama dan adat, akan tetap ada dan tidak bisa dihilangkan dalam hubungan keseharian berbangsa dan bernegara. “Kita bukan negara agama, bukan juga negara sekuler, Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar negara, dalam praktik keseharian bernegara, belum memiliki terjemahan yang memadai,” tegas Khoirul “Dalam masa Orde Baru, Pancasila bahkan dipakai sebagai alat politis/dipolitisasi untuk legitimasi kekuasaan yang otoriter,” jelas Khoirul.
Selanjutnya, kita tidak mungkin menihilkan perbedaan/keragaman itu dan menganut totaliter-otoriter. Politik identitas apapun baik agama, etnik, gender, dan lain sebagainya memang tidak bisa dipisahkan dalam keseharian.Yang tidak boleh adalah politik identitas yang ugly. “Ugly di sini yang dimaksud sebagai politik identitas yang terlalu mementingkan agenda kelompoknya, yang bahkan disertai dengan cara kekerasan dalam penerapannya,” lanjutnya.
Khoirul mendorong setiap entitas yang ada menerapkan good political identity, yaitu politik identitas yang dalam praktiknya dapat menopang demokrasi, memerangi ketidak adilan, marjinalisasi, dan pro toleransi. Menurut Khoirul pentingnya peran atau upaya “Pendidikan Kewarganegaraan” dalam menghadapi realitas politik identitas yang beragam. Pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan harus bersifat inklusif, yaitu bersifat menyatukan tanpa menihilkan keragaman itu. Dalam penjelasan penutupnya, Khoirul menyampaikan, ada tiga cara bagaimana mewujudkan “Pendidikan Kewarganegaraan” yang inklusif itu, yaitu : 1). Recognition: pengakuan bahwa setiap kelompok identitas punya hak yang sama untuk meng-artikulasikan dan mempraktikan nilai-nilai kewarganegaraan; 2). Partisipasi, yaitu tiap kelompok identitas terlibat aktif dalam merumuskan kebijakan publik; 3). Representasi, yaitu adanya keterkaitan antara yang diwakili dengan yang mewakilkan karena adanya ikatan kepentingan, opini, dan perspektif yang sama. (BN, edit: rdn/mtr)
_____________________
*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
*) Ilustrasi: Shutterstock
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2023.06.08“Jelita Di Tengah Bara”: Meneroka Inovasi Konservasi Sosial Ekonomi Anggrek Endemik Vanda tricolor Di Kawasan Gunung Merapi Berita2023.06.08BRIN – Populix Jalin Kerja Sama Riset Budaya Ilmiah Pada Generasi Milenial dan Gen Z Call for Paper2023.06.06CALL FOR PAPERS INTERNATIONAL FORUM ON SPICE ROUTE (IFSR) 2023 Artikel2023.05.04Re-Rekognisi Mitos Maskulinitas (yang) Mahal Dalam Uang Panai’