[Masyarakat & Budaya, Vol. 28, No. 1, 2023]
A. Charis Albahri (Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya) & Rusydan Fathy (Peneliti PMB BRIN)
Pembangunan Bandara Kediri baru-baru ini merupakan contoh kecil dari sekian praktik pembangunan yang berujung pada kesengsaraan. Itu menjadi alarm bagi para sivitas akademik untuk senantiasa memperdebatkan dan menguji konsep-konsep pembangunan yang diimplementasikan. Kita tidak dapat menafikan bahwa pada kenyataannya, pembangunan kerap kali berseberangan dengan sistem maupun kultur masyarakat tertentu. Dampaknya, marginalitas masyarakat yang semakin menguat. Peningkatan kualitas kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi kian jauh dari misi pembangunan yang selama ini dicita-citakan tersebut.
Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat
Tersiarnya kabar rencana pendirian Bandara Kediri, Jawa Timur tahun 2019 menimbulkan berbagai respon publik. Banyak masyarakat merasa hal itu merupakan terobosan yang perlu disambut baik, namun tak sedikit yang menentangnya sejak 2012 yang lalu. Pembangunan tersebut merupakan langkah yang kurang tepat karena minimnya sisi pengamatan wilayah sasaran (Bappeda Jatim,2012).
Pembangunan Bandara Kediri yang mencakup 3 kecamatan wilayah padat penduduk dikhawatirkan menimbulkan depresi sosial masyarakat karena tidak stabilnya berbagai aspek diantaranya;ekonomi, lingkungan, serta sosial-budaya (Bappeda Jatim,2012). Depresi sosial merupakan kekhawatiran individu dan sosial atas nasibnya sendiri di tengah percepatan pembangunan (Jackson,2020).
Eskalasi permasalahan-pun termanifestasikan ketika program Corporate Social Responsibility disinyalir melanggar hak masyarakat terdampak. Berbagai pelanggaran disini, diantaranya; AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), kesehatan, akses publik, hingga mangkraknya program pelatihan wirausaha. Publik terlena atas berbagai harapan yang sempat dilontarkan perusahaan Gudang Garam (selaku pencetus) serta pemerintah, dimana diungkapkan bahwa Bandara Kediri nantinya dapat mendongkrak perekonomian lokal, meningkatkan pariwisata daerah, dan membuka lapangan pekerjaan. Namun seiring berjalannya waktu, harapan kian memudar dan justru menjelma keraguan di kalangan masyarakat.
“Jangankan nanti mas, lha wong sekarang saja banyak masyarakat yang merasa dirugikan. Kami seakan dibungkam di rumah kami sendiri” (Wawancara dengan Warga, Oktober,2021).
Ekonomi Destruktif dan Depresi Sosial
Keadaan demikian barangkali telah dibayangkan sebelumnya oleh James Midgley (1995) dalam konsep Social Development, yang mengkritik konsep pembangunan sektoral yang berbasis pada growth oriented. Konsep tersebut dinilai gagal mewujudkan pembangunan sosial secara berkelanjutan, karena sifatnya yang cenderung genuine (stagnan), berfokus pada output material (ekonomi), dan selalu sembunyi terhadap janji-janji politik para penguasa (Wirutomo,2013). Kegagalan atas pembangunan sektoral di sini juga terlihat dalam prosesnya yang bersifat yang eksklusif-hegemonik sehingga menyebabkan berbagai ranah di akar permasalahan masyarakat menjadi tidak tersentuh, seperti; struktur, kultur, serta proses sosial (Wirutomo,2013). Kekhawatiran ini diungkapkan pula oleh Joseph Shcumpter (1942) melalui konsep Creative Destruction, yang mengungkapkan bahwa dalam proses inovasi pembangunan tentu akan selalu dihadapkan pada periode kontraksi atas dampak dari proses restrukturisasi, seperti hilangnya pekerjaan, kemiskinan, dan rusaknya lingkungan (Jackson,2020). Dengan kata lain, masyarakat terseret ke dalam arus depresi sosial. Namun terkait hal ini, Schumpter seakan mewanti-wanti bahwasannya proses depresi sebagai dampak pembangunan harus segera dikendalikan, mengingat pentingnya esensi pembangunan dalam konteks keseimbangan antara percepatan dan stabilitas masyarakat.
Gambar 1. Bentuk protes warga
Itu merupakan tamparan keras terhadap praktik pembangunan termasuk dalam proyek Bandara Kediri, karena pembangunan hanya berpusat pada hasil namun seakan mengabaikan dinamika struktur, kultur, dan proses sosial dIdalamnya. Di dalam Permasalahan AMDAL misalnya, masyarakat mulai mengeluhkan terhadap dampak debu dari proyek bandara yang mulai mencemari lingkungan (udara, produksi pertanian, hingga air di pemukiman sekitar proyek).
“Saya jadi takut mas sekarang, Banyak warga yang mengeluh sesak napas dan bantuk kering” (Wawancara dengan Warga, Oktober,2021).
Gambar 1. Bentuk protes warga
Beberapa masyarakat pun mengaku bahwa semenjak dibangunnya Bandara Kediri, akses keluar desa menjadi semakin sulit. Hal ini disampaikan oleh beberapa warga dusun yang lokasinya persis di selatan proyek Bandara Kediri, yang mengeluh bahwa untuk sekedar ke pasar dan sekolah mereka harus memutar jalan hingga 3 kali lipat dari jarak sebelumnya. Keadaan demikian tentu merugikan warga, karena di samping efisiensi waktu, beberapa dari mereka perlu mengeluarkan biaya lebih untuk ongkos transportasi khususnya dalam distribusi hasil pertanian.
“Jauh kita mas kalo mau kemana-mana. Apalagi kalau mau ke pasar itu harus jalan mutar dulu. Saya pengennya itu dibangun pasar kecil-kecilan lah disini” (Wawancara dengan Warga, Januari, 2023).
Permasalahan lain yakni tentang ketidakjelasan program pelatihan wirausaha bagi warga terdampak. Hal ini didasarkan atas janji penyaluran dana pemberdayaan senilai 1,5 Milyar yang belum terealisasi. Pada proses perjanjian awal di tahun 2020, setiap kepala keluarga diminta untuk membuat proposal kegiatan wirausaha dengan maksud agar penyaluran dana senilai 1,5 Milyar bersifat jelas, dan merata bagi semua masyarakat. Akan tetapi penantian warga selama lebih dari 2 tahun pada akhirnya pupus karena berbagai alasan yang tidak jelas seperti pengalihan dana untuk Covid-19, serta jadwal yang terus tertunda tanpa adanya kepastian sedikitpun. Warga pun akhirnya memilih pasrah.
Mengembalikan Hakikat Pembangunan Sosial bagi Masyarakat
Tulisan ini barangkali berusaha untuk melihat studi pembangunan dalam kacamata yang berbeda, dimana poros pembangunan yang secara umum berpusat pada prinsip “social engineering” serta dengan tujuan ekonominya, dalam hal ini lebih diarahkan terhadap proses pembangunan yang bersifat sosietal (mencakup aspek sosial dan budaya yang lebih luas). Wirutomo dalam tulisannya mengungkapkan, bahwa pembangunan sosietal menjadi peluang baru dibidang pembangunan, dimana fokus atas ketercapaian ultimate goals dalam kehidupan sosial-budaya (good society) harus mencakup seluruh satuan masyarakat secara sistemik dan holistik (Wirutomo,2013). Melalui pembangunan Bandara Kediri ini, kita melihat bahwasannya pendekatan pembangunan berbasis “growth oriented” justru menimbulkan tiga krisis besar yakni; kekerasan, kemiskinan, serta kehancuran lingkungan (Korten,2006). Alih-alih mewujudkan harapan inovasi pembangunan, justru masyarakat justru gagal beradaptasi dan mengalami depresi sosial.
Tujuan dari pembangunan sosial sejatinya bukanlah sekedar untuk menghilangkan kemiskinan dalam arti sempit serta tujuan ekonomi yang lebih maju, melainkan pada proses penciptaan inklusifitas bagi setiap aspek kehidupan sosial-budaya di masyarakat. Konsep societal development sendiri, setidaknya menyarankan terhadap penerapan pembangunan sosial yang besifat sistemik-sosietal, yakni dengan menerapkan tiga elemen dasar dari kehidupan sosial-budaya di masyarakat yaitu struktur, kultur, serta proses sosial (Wirutomo,2013). Dalam pembangunan bandara kediri, proses pendekatan secara struktur dapat dicapai dengan memberikan pendampingan secara terstruktur terhadap pemulihan ekonomi di masyarakat. Pendampingan di sini yakni dengan memberikan pelatihan kewirausahaan dan pelatihan bahasa, yang nantinya akan sangat membantu memepersiapkan masyarakat untuk terlibat diberbagai sektor usaha didalam ekonomi bandara, yakni dalam usaha jasa maupun produk UMKM. Secara kultur, pendekatan yang dapat dicapai adalah dengan mendukung perekonomian lokal masyarakat yang berprofesi sebagai petani jeruk. Pemerintah dapat memulainya dengan melakukan pengembangan hasil pertanian jeruk baik dalam hal pelatihan, penyediaan bibit unggul, serta pemasaran dengan didukung akses distribusi yang baik. Selain itu secara proses sosial, pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat di setiap penentuan kebijakan program sehingga dapat tercapai komunikasi yang bersifat dua arah dan tujuan dari pembangunan bandara berjalan beriringan baik bagi masyarakat maupun pemerintah.
Ketiga elemen ini pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang berkelindan satu sama lain. Karena di dalam mewujudkan pembangunan yang bersifat inklusif-partisipatoris perlu dilandasi kesetaraan/keseimbangan struktur kuasa, keterlibatan unsur budaya dan atau sistem nilai masyarakat. Lebih lanjut, perlu adanya pemberian ruang bebas bagi segala unsur pembangunan untuk dapat berekspresi, berasosiasi, serta bernegosiasi satu sama lain, sehingga pada akhirnya tercapai pemajuan atas kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik (editor: Dicky Rachmawan).
Referensi:
Bappeda Jatim. (2012). Pembangunan Bandara di Kediri Ditolak, Rp2 Miliar Sia-Sia. Surabaya: Bappeda Jatim. https://bappeda.jatimprov.go.id/2012/04/27/pembangunan-bandara-di-kediri-ditolak-rp2-miliar-sia-sia/
Jackson, E. A. (2020). Fostering sustainable innovation through creative destruction theory. https://mpra.ub.uni-muenchen.de/id/eprint/102174
Korten, David C. 2006. The Great Turning. San Fransisco: Berret Koehler Publisher Inc. and Kumarian Press.
Wirutomo, P. (2013). Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor Informal di Kota Solo. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 18(1). https://doi.org/10.7454/mjs.v18i1.3735
_____________________________________
*) Opini dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB BRIN
_______________________________________
Tentang Penulis
Adalah mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya (UB). Haris memiliki ketertarikan dalam bidang politik-ekologi dan pembangunan masyarakat. Ia pernah aktif sebagai pengurus Ekseskutif Mahasiswa. Selain itu, ia berkecimpung dalam kegiatan penelitian bersama dosen antropologi dengan mengangkat isu “eksistensi komunitas kesenian malang”. Untuk Korespondensi, Haris dapat dihubungi melalui surel: charisalbahri28@gmail.com
Rusydan Fathy adalah Peneliti Ahli Pertama bidang Sosiologi Perkotaan di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional. Saat ini Rusydan sedang menyelesaikan tesisnya dengan tema pengembangan pariwisata kampung tematik dan smart city di Sosiologi Universitas Indonesia. Rusydan aktif menulis artikel opini di beberapa media seperti “Orang Miskin dan Paradigma Pembangunan Inklusif” (Geotimes), “Permukiman Layak bagi Kaum Miskin Jakarta” (Detik.com), dan “Sampah Perkotaan dan Cara Pemulung Memperkuat Komunitasnya” (The Conversation). Untuk korespondensi, Rusydan dapat dihubungi melaui surel: rusydanfathy@gmail.com
Diunggah oleh

Unggahan lainnya
Artikel2023.03.16Komunikasi Politik Folklore
Artikel2023.02.23Empati atau Suntik Mati: Refleksi Surplus Manula di Jepang dalam Film “Plan 75”
Berita2023.02.20Call for Papers for Conference on Social Faultlines in Indonesia: Persistence and Change in An Evolving Landscape
Artikel2023.02.17Pembangunan Sosietal, Depresi Sosial & Warga yang Sial