[Masyarakat dan Budaya: Volume 11, Nomor 15, Agustus 2020]

***

Oleh Annisa Meutia Ratri(Peneliti PMB LIPI)

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi telah dideklarasikan oleh World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia sejak Maret 2020, yang berarti virus ini telah menyebar secara luas di dunia. Setelah itu, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 ditetapkan sebagai strategi menanggulangi penyebaran Pandemi COVID-19 yang disebutkan sebagai bencana nasional.  Pandemi COVID-19 dikategorikan sebagai bencana karena tidak hanya sistem kesehatan dan layanan kegawatdaruratan diuji secara luar biasa, namun pada kondisi risiko dan juga dampak terhadap kehidupan masyarakat. Secara umum, Lavel dkk (2020) telah menyajikan tulisannya yang berjudul “The Social Construction of The Covid-19 Pandemic: Disaster, Risk Accumulation and Public Policymenjelaskan konstruksi sosial dari pandemi ini. Lavel menjelaskan bagaimana Covid-19 dipandang sebagai bencana yang memiliki aspek risiko terhadap kehidupan manusia, sistem kesehatan dan ekonomi masyarakat (Lavell, Mansilla, Maskrey, & Ramirez, 2020). Oleh karena itu, pandemi ini memiliki risiko luas dan dampak sosial serta ekonomi di berbagai sektor di Indonesia, salah satunya adalah sektor perikanan dan para aktor di dalamnya.

Di sektor perikanan, pandemi COVID-19 telah mempengaruhi keberlangsungan aktivitas produksi dan pemasaran hasil perikanan. Rantai pasok komoditas perikanan terjadi penurunan permintaan ekspor di Indonesia sebesar 10-20 persen. Kondisi ini disebabkan banyak restoran tutup dan kebijakan pembatasan ekspor di berbagai negara, seperti di Amerika Serikat dan Tiongkok (Widyastuti, 2020). Sebanyak 26.675 Rumah Tangga Perikanan (RTP) terdampak COVID-19, baik karena harga ikan yang anjlok maupun pemasaran untuk ekspor yang tertutup (Efrizal, 2020). Selain itu, kebijakan penutupan beberapa daerah juga mempengaruhi penyerapan hasil produksi perikanan para nelayan. Nelayan di beberapa daerah mengalami kesulitan dalam menjual ikan dan mendapatkan harga yang pantas.

Sumber: (Detik.com/Utama, 2020)

Pandemi COVID-19 ini termanisfetasi dalam pola risiko yang kompleks bagi para nelayan. Nelayan  didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (UU Perikanan 45/2009 tentang Perubahan UU 31/2004, 2009). Secara umum, nelayan tidaklah tunggal terdapat berbagai jenis/ karakteristik nelayan berdasarkan atas faktor sarana penangkapan ikan jenis perairan, teknologi, besaran kapal/perahu, dan mata pencaharian. Pada situasi pandemi COVID-19 ini, hampir seluruh jenis nelayan mengalami dampak karena yang paling berpengaruh adalah harga ikan. Meskipun demikian, baik nelayan kecil dan besar memiliki skala dampak yang berbeda. Nelayan kecil misalnya menghadapi kondisi paling rentan karena dari peluang diversifikasi mata pencaharian yang terbatas. Kondisi pandemi telah menambah risiko para nelayan yang juga rentan terhadap ancaman perubahan iklim dan overfishing sertabencana lainnya, seperti gempa bumi, angin topan, kekeringan, dan tsunami. Oleh karena itu, penting secara khusus paket perlindungan kepada nelayan untuk diberikan secara tepat dan cepat dalam menghadapi pandemi ini.

Situasi pandemi telah menyebabkan kondisi dimana nelayan tidak dapat melaut.  Pada tanggal 23 April 2020, Liputan6.com merilis berita tentang puluhan nelayan di Cirebon terpaksa berhenti melaut akibat dampak dari pandemi (Prayitno, 2020). Hal ini mendorong para nelayan untuk memiliki mekanisme kebertahanan dalam menghadapi ketidakpastian atas situasi pandemi ini, seperti halnya mereka memiliki mekanisme kebertahanan ketika tidak dapat melaut di musim panceklik. Jika dilihat dari pembelajaran cara bertahan nelayan selama musim panceklik ketika mereka tidak dapat melaut. Yoserizal dkk, dalam tulisannya berjudul “The Study towards the Traditional Fisherman Survival Mechanism in Facing Famine Season in Meskom Village of Bengkalis Regency, Indonesia”, memuat tentang bagaimana mekanisme bertahan nelayan tradisional di Bengkalis pada musim panceklik. Nelayan bertahan dengan beberapa cara, seperti bergantung pada hasil tabungan selama musim tangkapan, hanya membeli makanan pokok untuk bertahan  hidup, menggadaikan barang, dan berhutang (Yoserizal, Yusri, & Ramli, 2016).

Berbicara tentang hutang dan kaitannya dengan strategi bertahan nelayan, hutang tidak hanya menjadi alternatif bagi nelayan untuk keberlangsungan hidup tetapi juga mengakses sumber daya. Hal ini menjadi logika sederhana, jika nelayan tidak dapat menjual ikannya, hal ini berarti mereka akan kesulitan memiliki modal melaut berikutnya atau konsumsi sehari-hari. Hutang menjadi jalan keluar untuk mendapatkan stimulus modal dan stabilitas kondisi sosial-ekonomi mereka. Hutang menjadi pilihan rasional untuk bertahan yang dilakukan dalam menangkal kecemasan akibat kurangnya dukungan sosial dan kelembagaan (Horsley, 2015). Kondisi ini mungkin tidak hanya terjadi pada nelayan tetapi para lapisan lain di masyarakat, seperti berita yang dimuat oleh the Guardian pada 18 Maret 2020, berjudul “Why Debt Relief Should Be The Answer To This Coronavirus Crash”, telah menyebutkan bahwa pandemi tidak hanya memberikan dampak kepada kesehatan, tetapi juga aspek lain dalam kehidupan khususnya dalam aspek ekonomi (Pistor, 2020). Dalam artikel tersebut tertulis bahwa bagi mereka yang tidak terinfeksi virus, kebertahanan ekonomi menjadi fokus utama. Para self-employed atau temporary workers dapat kehilangan penghasilan akibat terganggunya rantai nilai bisnis. Untuk itu, strategi kebertahanan mereka adalah dengan pinjaman menjadi salah satu pilihan rasional yang dapat diambil.

Jika kondisi ini semakin memburuk maka akan berdampak pada kesejahteraan dan keberlanjutan mata pencaharian yang dapat berujung konflik. Leif Ohlsson (2003) dalam tulisannya tentang “Livelihood Conflicts: Linking Poverty and Environment as Causes of Conflict” mengungkapkan pembelajaran sejarah bahwa konflik yang melanda Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin selama dekade terakhir disebabkan karena kemiskinan dan akibat dari kehilangan penghasilan serta mata pencaharian (Ohlsson, 2000). Meskipun kasus yang dipakai dalam tulisan ini adalah kasus lingkungan, namun setidaknya memberikan gambaran bahwa ancaman konflik mungkin terjadi ketika individu terputus untuk dari akses terhadap sumber daya dan usaha. Untuk itu, dalam memahami pandemi ini tidak hanya penting menjamin produktifitas dan lancarnya rantai pasok komoditas perikanan, serta akses terkait sumber daya produktif terkait mata pencaharian mereka, tetapi juga mengetahui dampak sosial secara umum.

Sumber: (Dokumentasi Ibu Masnuah, PPNI Demak, 2020)

Pandemi COVID-19 juga telah menjadi momentum untuk kembali mengingatkan pentingnya kehadiran negara dalam memastikan kebertahanan masyarakatnya, apakah melalui kepastian pengetahuan dan informasi terkait pandemi COVID-19, paket-paket kebijakan di multisektor, baik sektor kesehatan atau non-kesehatan, dan dukungan sosial serta kelembagaan, khususnya untuk kelompok rentan seperti nelayan.  Selain itu.  dukungan antar sesama masyarakat pesisir juga dapat menjadi strategi dalam membantu adaptasi nelayan di masa sulit ini.  salah satu inisiatif muncul dari perempuan nelayan di Pesisir Demak misalnya, mereka tidak hanya berhasil menggalang bantuan kemanusiaan untuk membantu para nelayan yang terkena dampak pandemi tetapi juga menyebarkan semangat solidaritas meskipun mereka sendiri masih harus berjuang untuk kehidupannya. Kolaborasi dan solidaritas ini dapat menjadi kunci penting. Kolaborasi tersebut bisa dalam bentuk data dan implementasi program serta gerakan solidaritas dari tingkat internasional hingga tapak guna membantu para pahlawan protein bangsa kita (baca: nelayan) dalam menghadapi dampak COVID-19 (Editor Hidayatullah Rabbani).

***

Referensi:

Ilustrasi: ANTARA FOTO/Moch Asim. (2020). Derita Nelayan di Tengah Tekanan Corona. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200423090041-94-496371/foto-derita-nelayan-di-tengah-tekanan-corona

Detik.com/Utama, P. (2020). Semangat Nelayan di Tengah Pandemi COVID-19. Retrieved from https://finance.detik.com/foto-bisnis/d-5031889/semangat-nelayan-di-tengah-pandemi-covid-19

Efrizal, R. (2020, April 24). Dampak COVID-19, Nelayan di Sumsel Jual Ikan dengan Harga Miring. Retrieved from https://sumsel.idntimes.com/news/sumsel/muhammad-rangga-erfizal/dampak-covid-19-nelayan-di-sumsel-jual-ikan-dengan-harga-miring/4

Horsley, M. (2015). The Dark Side of Prosperity: Late Capitalism’s Culture of Indebtedness. United Kingdom: Ashgate.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2O2O Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 Sebagai Bencana Nasional (2020).

Lavell, A., Mansilla, E., Maskrey, A., & Ramirez, F. (2020). The Social Construction of the COVID-19 pandemic: disaster, risk accumulation and public policy, 10. Retrieved from https://www.desenredando.org/

Ohlsson, L. (2000). Livelihood Conflicts : Linking poverty and environment as causes of conflict. Policy, (December), 1–16. Retrieved from http://waterwiki.net/images/6/68/Livelihood_conflicts_linking_poverty_and_environment_as_causes_of_conflict.pdf

Pistor, K. (2020). Why Debt Relief Should Be The Answer To This Coronavirus Crash. Retrieved from https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/mar/18/debt-relief-coronavirus-crash

Prayitno, P. (2020, April 23). Cerita Puluhan Nelayan Cirebon Berhenti Melaut Imbas Covid-19. Retrieved from https://www.liputan6.com/regional/read/4235301/cerita-puluhan-nelayan-cirebon-berhenti-melaut-imbas-covid-19

UU Perikanan 45/2009 tentang Perubahan UU 31/2004 (2009).

Widyastuti, R. A. Y. (2020). Edhy Prabowo: Corona Turunkan Permintaan Ikan Hingga 20 Persen. Retrieved from https://bisnis.tempo.co/read/1325245/edhy-prabowo-corona-turunkan-permintaan-ikan-hingga-20-persen/full&view=ok

Yoserizal, Yusri, A., & Ramli, Z. (2016). The Study towards the Traditional Fisherman Survival Mechanism in Facing Famine Season in Meskom Village of Bengkalis Regency, Indonesia. Mediterranean Journal of Social Sciences. https://doi.org/10.5901/mjss.2016.v7n4p363

_________________________________________________

Tentang Penulis

Annisa Meutia Ratri merupakan peneliti pada Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI). Annisa menyelesaikan pendidikan di jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia pada tahun 2012 dan Sejarah di Universitas Leiden pada tahun 2015. Annisa pernah menulis tentang Studi tentang dinamika Governance structure, Institutional Environment dan Informal Structure dalam Koperasi dengan Soft System Methodology dan Women’s Survival Strategies and Empowerment: The Case study from Indonesian Fisher women’s Collective Action. Annisa memiliki minat pada kajian sosiologi maritim, sosiologi ekonomi, sosiologi lingkungan, inklusi sosial, perubahan sosial, dan sejarah sosial. Penulis dapat dikontak melalui email annisa.meutia.r@gmail.com.