Home Artikel Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan...

Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah

0

[Masyarakat dan Budaya: Volume 11, Nomor 17, September 2020]

Oleh Moh. Rifal Salamses (Mahasiswa Universitas Tadulako, Palu)

Indonesia merupakan Negara yang kaya, bukan hanya keanekaragaman hayati dan hasil tambangnya, namun juga akan budaya dan tradisi yang dimiliki dan dijalani oleh  leluhur bangsanya di masa lampau, bahkan tetap lestari dan eksis hingga saat ini. Budaya dan tradisi bangsa Indonesia sangat kaya dengan adat istiadatnya masing-masing dan sudah terkenal ke seluruh penjuru dunia.

Tak terkecuali salah satu provinsi di Indonesia, terletak tepat di tengah-tengah kepulauan Nusantara yaitu pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah yang menyimpan sejuta keindahan bukan hanya alam. Selain itu kultur dan tradisi kearifan lokal masyarakatnya juga tidak kalah dari daerah-daerah lain di Indonesia.

Gambar 1. Prosesi Perayaan Padungku, (Sumber : http://indonesianall.blogspot.com/2015/07/budaya-tradisi-padungu-poso-sulawesi.html#)

 Salah satu budaya Sulawesi Tengah yang tetap lestari dan eksis hingga saat ini adalah padungku. Perayaan padungku umum di temukan di Kabupaten Poso, Tojo Una-una, dan Morowali dan Morowali Utara. Kata padungku secara harfiah berasal dari bahasa Pamona, yang berarti semua sudah rapi, sudah tuntas. (Siruyu, Mosintuwu, 2010). Makna tersirat padungku berarti padi sudah di lumbung, alat pembajak sudah dibersihkan dan disimpan di kolong rumah, serta semua rangkaian panen padi sudah selesai,  maka seluruh petani di desa atau kampung mulai bersiap mengadakan pesta bersama yakni mo padungku. (Siruyu, Mosintuwu, 2010)

Kebudayaan ini berasal dari nenek moyang suku Pamona yang mayoritas berada di Poso. Namun menyebar hingga beberapa daerah sekitar Poso, Tojo una-una, dan Morowali. Mirip dengan dengan beberapa kebudayaan di tanah Jawa, inti dari perayaan ini adalah merayakan dan bersyukur atas panen yang hasil utamanya adalah “pae” atau beras. Masyarakat mulai bersiap seminggu sebelum acara dimulai, semua masyarakat desa mulai mencari daun-daun dan bamboo. Kemudian para pria mulai membangun tenda-tenda terpal di lapangan desa. Melalui padungku, terlihat  nilai-nilai gotong royong dan persaudaraan sangat terasa di sini (Hajar, 2014).

Gambar 2. Saat acara Padungku Berlangsung (Sumber: https://www.kompasiana.com/dhave/55cc085c519773551c1a9899/padungku-tradisi-yang-mempertemukan-dan-mendamaikan?page=all)

Satu hari sebelum acara, pada sore hari desa dihiasi dengan kepulan asap dari pembakaran nasi bamboo atau nasi bulu. Para ibu sibuk menyiapkan berbagai bahan masakan seperti ayam, sapi, dan kambing. Sementara para kaum muda sibuk menyiapkan tempat acara, panggung, dekorasi, dan yang paling mencolok adalah adanya janur kuning yang menghiasi tempat acara hingga malam hari tiba (Hajar, 2014)

Dalam mo padungku, para petani akan mengolah seluruh hasil panennya, terutama padi yang pertama kali di panen (Mosintuwu.com). Padi yang sudah tersimpan di lumbung, kemudian diolah menjadi masakan khas yaitu nasi bambu. Nasi bambu kemudian di bawa ke balai desa atau tempat pesta untuk dimakan bersama-sama.

Suasana persaudaraan saling menjalin silaturahmi sangat terasa. Masyarakat saling bercanda dan timbul tawa hangat. Biasanya pada malam harinya akan diadakan tarian seperti tari Dero yang biasanya dibawakan saat ada acara-acara adat (Siruyu, Mosintuwu, 2010)

Gambar 3. Tarian Dero (sumber : http://www.buletinsulawesi.com/2018/07/13/tmmd-turut-mempertahankan-budaya-lokal-posotari-modero/)

Lain cerita dengan suku Mori di kabupaten Morowali, suku  Mori merayakannya dengan saling berkunjung ke rumah-rumah tetangga, saudara, kerabat, dan kolega. Setiap rumah di desa menyiapkan sendiri hidangan khas keluarga mereka untuk dihidangkan kepada tamu-tamu yang akan berkunjung (Palu Poso, Kumparan, 2019). Tidak hanya sesama warga desa, warga dari desa lain pun dipersilahkan untuk bertamu untuk mempererat persaudaraan dan silaturahmi antar sesama warga yang merayakan padungku. Suku Mori menyebut nasi bambu mereka dengan dinaha yang hidangan selalu di sajikan saat padungku tiba (Palo Poso, Kumparan, 2019)

Gambar 4. Nasi bambu yang sekilas mirip lemang (sumber : http://sulawesihebat.blogspot.com/2016/06/ini-dia-budaya-unik-padungku-di-poso_98.html)

Selain dinaha, yang menjadi hidangan khas lainnya adalah, jajanan khas yang di temukan di pasar-pasar. Sebagai contoh, hidangan bebek dan burasa atau buras (seperti lontong tapi tanpa isi). Kedua hidangan ini selalu hadir di meja makan suku Mori saat padungku tiba. Pada masa ini, nasi biasanya jarang disajikan. Padungku tak ubahnya seperti hari raya untuk suku Mori. Biasanya, setelah saling mengunjungi, padungku akan dibuat acara umum di tanah lapang desa (Palu Poso, Kumparan, 2019)

Sementara itu, orang ta’a dan bare’e di Tojo Una-una menyebut padungku dengan sebutan praa atau mo raa yangberarti darah atau “mendarahi”. Istilah ini merujuk pada adat orang bare’e dan ta’a yang ketika melakukan sesuatu, mereka meminta keridhoan sang “Pue” atau Tuhan dengan memberikan darah ayam kampung hitam ke benda-benda yang akan di gunakan. Bahkan orang yang akan melakukan penanaman diolesi dengan darah terlebih dahulu. Hal ini juga dilakukan saat semua rangkaian panen telah selesai semua hasil panen biasanya akan diolesi dengan darah ayam, hal ini di percaya menjadi berkat atau braka.      

Ada satu adat yang unik ketika orang ta’a dan bare’e akan menanam padi lading. Mereka biasanya saling mengundang mulai dari kaum muda hingga dewasa. Lalu, saat akan mulai menanam mereka akan saling mengolesi arang ke sekujur tubuh mereka terlebih dahulu. Biasanya para kaum muda akan saling kejar demi mengolesi arang ke tubuh mereka satu sama lain. Hal ini sudah menjadi adat yang turun temurun di kerjakan. Konon jika satu dari rangkaian adat di atas terlewatkan, maka hal buruk akan terjadi pada tanaman padi dan pemilik ladang. Dalam perayaan mo raa warga akan saling berkunjung dan menghidangkan makanan.

 Untuk di kabupaten Tojo una-una sendiri, banyak masyarakat yang mulai meninggalkan menanam padi di lading karena prosesi adat yang panjang dan sedikit rumit. Imbasnya, mo raa atau padungku ini dirayakan bukan untuk panen padi lagi, tetapi panen-panen hasil ladang lain, seperti jagung dan kacang.

Nilai-nilai gotong-royong dan persaudaraan dalam padungku sangat terasa. Nilai ini bukan hanya diartikan sebagai persembahan syukur kepada sang “Pue” atau Tuhan yang Maha Kuasa, tetapi juga tentang nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia pada umumnya. Bhineka Tunggal Ika menjadi pelajaran dasar dari budaya ini, semua elemen masyarakat bersatu tanpa sekat dan kasta. Bukan hanya petani, tetapi semua orang dapat merasakannya makan dalam satu “dulang” atau baki dan melupakan sejenak kepenatan hidup (Siruyu, Mosintuwu, 2010) (Editor Hidayatullah Rabbani).

***

Referensi

Hajar, Siti NA. (2014). Padungku Masih Bertahan Pada Etnis Baree di Desa Uedele Kecamatan Tojo Timur Kabupaten Tojo Una-una, Vol. 6 No. 02, https://media.neliti.com/media/publications/28579-ID-padungku-masih-bertahan-pada-etnis-baree-di-desa-uedele-kecamatan-tojo-timur-kab.pdf

Siruyu, Pian. (2010). Padungku, Hari Raya Panen di Poso, (Edisi Rabu, 24/09/2010),  Mosintuwu.com, http://www.mosintuwu.com/2010/09/22/padungku-hari-raya-panen-di-poso/

Palu Poso. (2019), Padungku, Tradisi Syukuran Hasil Panen Suku Mori di Sulawesi Tengah, (Edisi 12 Juli 2012), Kumparan.com,

https://kumparan.com/paluposo/padungku-tradisi-syukuran-hasil-panen-suku-mori-di-sulawesi-tengah-1rSCtc6Iz2k

Ilustrasi:

http://indonesianall.blogspot.com/2015/07/budaya-tradisi-padungu-poso-sulawesi.html#)

_________________________________

 Tentang Penulis

Moh. Rifal Salamses adalah mahasiswa Program Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah. Ia berdomisili di Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah.   Penulis dapat dihubungi melalui rifalsalamses@gmail.com.

NO COMMENTS

Exit mobile version