[Masyarakat dan Budaya: Volume 11, Nomor 15, Agustus 2020]

***

Oleh Muhammad Kamarullah (Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang)

Sebutan Jalasveva Jayamahe yang berarti, “Di Lautan Kita Jaya” dan istilah “Nenek Moyangku Orang Pelaut” adalah salah satu fakta sejarah. Kedua ungkapan tersebut menyatakan bahwa masyarakat Indonesia dulunya memiliki orientasi yang cenderung ke laut, serta memiliki kehidupan yang terpusat pada perdagangan melalui laut. Bahkan di wilayah Nusantara pernah ada kerajaan berbasis maritim, seperti Sriwijaya. Kerajaan ini pada masa kejayaannya pernah merajai kawasan jalur perdagangan bahari. Beragam fakta tersebut menunjukkan bahwa identitas Indonesia adalah negara yang berhubungan erat dengan bidang kelautan dan kemaritiman.

Catatan sejarah pada 1949-1957 juga mengingatkan kita akan pentingnya keberadaan laut sebagai pengikat identitas Indonesia. Negara ini kala itu berhadapan dengan munculnya pemberontakan di berbagai daerah. Kondisi negara kian genting karena beberapa negara asing juga tercatat melakukan pengiriman senjata melalui berbagai pantai yang tidak terpantu. Terjadinya pemberontakan di sejumlah daerah di Indonesia dan konflik politik dengan Belanda mengenai Irian Barat (Papua) yang belum terselesaikan saat itu menyebabkan masalah kewilayahan laut ini menjadi sangat genting, karena kapal-kapal perang asing bebas berkeliaran di antara pulau-pulau Nusantara. Sementara Indonesia tidak berkutik mencegahnya karena kendala hukum dan sarana-prasarana.

Untuk mengatasi persoalan tersebut Presiden Soekarno meminta Perdana Menteri Djuanda untuk segera menyusun peraturan mengenai pemberian kewenangan penuh bagi Indonesia terhadap perairan teritori dan segera untuk melakukan deklarasi. Akhirnya, pada tahun 1982 melalui konferensi Hukum Laut III di Montegyo Bay, Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara kepulauan. Kemudian oleh PBB Indonesia secara resmi mendapat pengakuan hukum secara Internasional terkait status, hak dan kewajiban sebagai negara kepulauan. Dan juga melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) diratifikasi melalui UU No. 17 tahun 1985.

Selain faktor historis, secara geografis, Indonesia terletak di antara benua Asia dan Australia serta dan samudera Pasifik dan Hindia. Terdiri dari 17 ribu pulau lebih dengan garis pantai 99.000 km. Bentang alam tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
Kanada. Indonesia juga memiliki luas wilayah laut yang sangat besar, 2/3 atau 5,8 juta km2 dari luas wilayah Indonesia negara ini adalah laut.

Gambar. ALKI (Sumber: http://maritimnews.com/2017/10/pemanfaatan-alki-bagi-pembangunan-wilayah-tertinggal/)

Posisi Indonesia yang amat strategis, menjadikan negara ini memiliki tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dengan potensi nilai perdagangan 1,3 juta dolar AS per hari, atau setara dengan Rp 18 milliar per hari. Potensi laut Indonesia memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran karena Indonesia memiliki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang terbentang seluas 2,4 juta kilometer dengan berbagai potensi kekayaan alam. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia merupakan negara dengan produksi perikanan tangkap terbesar kedua setelah Tiongkok. Produksi perikanan tangkap di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 6,83 ton dengan nilai mencapai 125,3 trilliun.

Potensi ekonomi tersebut menjanjikan prospek pencapaian kinerja perekonomian yang mampu menyejahterakan rakyat. Selain itu, potensi perekonomian kelautan dapat dikembangkan melalui berbagai sektor lain seperti perikanan budidaya, perdagangan, pengolahan perikanan, pelayaran dan pariwisata.

Beberapa waktu lalu, pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo kembali mendorong wacana Poros Maritim Dunia (PMD). Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 Asia Timur di Myanmar, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia adalah poros maritim dunia. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, pemerintah Jokowi-JK menetapkan lima pilar utama yang diagendakan dalam pembangunan, yaitu: membangun kembali budaya maritim Indonesia, menjaga dan mengelola sumber daya laut, memprioritaskan pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, melaksanakan diplomasi maritim dan membangun kekuatan pertahanan maritim. Humphrey Wangke dalam bukunya “Diplomasi Indonesia dan Pembangunan Konektivitas Maritim (2018)” mengemukakan bahwa dalam membangun negara maritim, pemerintah harus membangun infrastruktur dan institusi kemaritiman. Pembangunan kedua aspek tersebut akan memaksimalkan fungsi tradisi dan masyarakat maritim. Selain itu program yang sama dapat mendorong tradisi mobilitas perdagangan antar pulau maupun perdagangan luar negeri melalui laut.

Visi Poros Maritim Dunia yang digarap Jokowi, secara konseptual ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat aktivitas kemaritiman dan kelautan (perdagangan, pengembangan riset, dan teknologi). Indonesia dengan demikian diharapkan mampu memegang peran penting dalam proses pengambilan kebijakan. Dalam peraturan Presiden No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa Poros Maritim Dunia merupakan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang maju, mandiri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Oleh karena itu, sudah sepantasnya semua potensi kemaritiman harus didorong dan dimaksimalkan.

Salah satu yang tidak boleh lupa diperhatikan dalam tujuan Poros Maritim Dunia, adalah pelibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya laut. Aspek ini penting diperhatikan sebab masyarakat pesisir amat tergantung dari laut sebagai sumber penghidupan. Pusat data dan Informasi sekretariat jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), pada 2017 mencatat jumlah desa di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di Indonesia. Dari seluruh data tersebut tercatat ada 8.077.719 rumah tangga perikanan yang hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupan terhadap aktivitas perikanan.

Kekayaan laut seperti yang dimiliki Indonesia, merupakan modal penting untuk negara agar memiliki kekuatan dan daya saing di dunia Internasional. Alfred Thayer Manhan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The Influence of Sea Power upon History (1890)”, mengemukakan teori bahwa kekuatan laut merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan-kekuatan laut tersebut diabaikan, akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut.

Dari sudut pandang ini, maka Indonesia seharusnya mampu untuk bersaing dengan negara-negara lain. Selain dapat memiliki ekonomi yang tangguh, Indonesia juga dapat menggunakan laut agar memiliki daya tawar yang kuat sebagai negara maritim di kawasan ASEAN dan juga dunia. Saat ini misalnya, Indonesia telah menjadi pusat kerja sama maritim ASEAN yang termasuk dalam ASEAN Political-Security Community (APSC). Selain itu, perairan di kawasan Asia Tenggara memiliki posisi penting bagi negara-negara dunia sebagai alternatif di wilayah perdagangan Internasional dalam jalur komunikasi laut (Sea Lanes of Communication/ SLOC).

Kekuatan dan peluang strategis yang dimiliki Indonesia ini memberikan optimisme bahwa Indonesia bisa mengembalikan kejayaan maritimnya. Visi Poros Maritim Dunia sudah seharusnya mendapat perhatian yang lebih serius lagi bagi pemerintah. Namun, visi tersebut sulit terwujud jika upaya-upaya komprehensif tidak dilakukan. Sebaliknya, jika kita mampu mengejar visi tersebut, harapan besar soal pembangunan industri maritim yang kuat, ataupun upaya membangun kekuatan ekonomi masyarakat dapat dilaksanakan pula (Editor Ibnu Nadzir).

***

Referensi

Ilustrasi: https://bobo.grid.id/read/08675900/laut-indonesia-sumber-kekayaan-hayati-dunia

Bhakti, I. N. (2011). Indonesia dan ASEAN Political and Security Community. LIPI. Diakses pada 4 Agustus 2020. Dalam http://lipi.go.id/berita/indonesia-dan-asean-political-and-security-community/6283

CNNIndonesia. (2014). Doktrin Poros Maritim Jokowi di Myanmar. Diakses pada 24 Juli 2020. Dalam https://www.cnnindonesia.com/internasional/20141113125042-106-11288/doktrin-poros-maritim-jokowi-di-myanmar

Manhan, A. T. (1890). “The Influence of Sea Power upon History 1660-1783. United State: Little, Brown and Co.

Nontji, A. (2017, Desember 11). DEKLARASI JUANDA: MENUJU KEUTUHAN WILAYAH TANAH AIR INDONESIA. p. 2. Diakses pada 4 Agustus 2020. Dalam http://oseanografi.lipi.go.id/datakolom/39%20Juanda.pdf

United Nation on the Law of The Sea 1982. (n.d.). UNCLOS. Montego Bay, Jamaika: www.un.org. Diakses pada 28 Juli 2020. Dalam https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf

Wangke, H. (2018). Diplomasi Indonesia dan Pembangunan Konektivitas Maritim . Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

_______________________________________

Tentang Penulis

Muhammad Kamarullah adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang dan sebagai pengurus bidang penelitian dan pengembangan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) Komisariat Ilmu Sosial Politik (FISIP) UMM. Sering menulis di media cetak : Malangpost.com , dan online : Geotimes.com , Mojok.co (Terminal) , PinterPolitik.com, Qureta.com, Islami.co dan beberapa media online lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui email kamarullahrulas12345@gmail.com.