Oleh Ranny Rastati (Peneliti PMB LIPI)
Hampir dua dekade lalu, film berlatar Perang Dunia II dengan judul Pearl Harbour (2001) rilis di layar kaca. Kisah cinta segitiga antara Rafe McCawley (Ben Affleck), Danny Walker (Josh Harnett), dan Evelyn Johnson McCawley (Kate Beckinsale) ini mengambil latar penyerangan Jepang di Pearl Harbour pada 7 Desember 1941. Meskipun menuai banyak ulasan negatif dari kritikus film, Pearl Harbour berhasil menyabet penghargaan Best Sound Editing di ajang Oscar pada tahun 2002. Film yang saya tonton kala remaja itu membuat saya penasaran tentang seperti apa sesungguhnya wajah Hawai’i. Image yang melekat pada Hawai’i tentu saja sebagai salah satu destinasi liburan paling terkenal di dunia. Gunung, pantai, resort mewah tentu agak kontras dengan tampilan yang disajikan di film Pearl Harbour.
Takdir kemudian mempertemukan saya dengan negara bagian termuda dari Amerika tersebut. Melalui Profesor John, saya diundang untuk konferensi studi Jepang di University of Hawai’i at Manoa (UHM) pada Mei lalu. Selain kegiatan ilmiah, kami pun diajak berkunjung ke Japanese Cultural Center of Hawai’i yang terletak di salah satu sudut kota Honolulu. Museum ini mengusung tema おかげさまで atau Okage Sama De yang berarti ‘semuanya berkat anda’. Agak sulit mencari padanan arti yang benar-benar menggambarkan rasa Okage Sama De dari museum ini. Namun, pilihan frase ‘I am what I am because of you’, yang dipilih oleh museum rasanya paling tepat.
Japanese Cultural Center of Hawai’i tampak depan (Sumber: dokumentasi penulis)
Museum yang dibuka pada tahun 1995 ini menceritakan kisah gelombang pertama imin atau imigran Jepang di Hawai’i pada tahun 1868 hingga keturunannya pada era kontemporer. Tidak hanya galeri foto dinding, museum ini juga menampilkan alat perkakas, miniatur rumah, miniatur kelas, dan video kesaksian dari warga keturunan Jepang di Hawai’i. Sambil mendengarkan penjelasan petugas museum yang bernama John, saya tersentuh oleh salah satu tulisan dinding bertuliskan “If I stay home, I may make only 10 yen this year. If I go to Hawai’i, I will make 212 yen” atau “Jika saya tetap di sini, mungkin tahun ini saya hanya mendapat 10 yen. Jika saya pergi ke Hawai’i, saya akan menghasilkan 212 yen”. Keadaan ekonomi yang sulit membuat orang Jepang merantau lebih dari 6.600 kilometer dari rumah.
Petugas museum sedang menjelaskan kisah imigran Jepang di Hawai’i (Sumber: dokumentasi penulis)
Pada tahun 1868, sebanyak 148 orang yang terdiri dari 140 laki-laki, 6 perempuan, dan 2 anak-anak (Nordyke dan Matsumoto, 1977) tiba di Hawai’i dari Yokohama untuk bekerja sebagai pekerja perkebunan tebu. Mereka dikenal sebagau Gannen Momo yang berarti orang-orang dari era Meiji tahun pertama. Ironisnya, kedatangan mereka tidak melalui jalur resmi. Sebagian besar dari mereka pun tidak berprofesi sebagai petani sehingga tidak memiliki keterampilan bekerja di ladang. Hal ini kemudian menimbulkan keluhan dan konflik antara Gannen Momo dan perusahaan. Pemerintah Meiji kemudian mengirim utusan ke Hawai’i dan membawa lebih dari 50 orang kembali ke Jepang. Beberapa dari Gannen Momo memilih menikah dan menetap di Hawai’i.
Pada tahun 1885, barulah pemerintah Jepang mengizinkan warganya bekerja di Hawai’i secara resmi. Generasi pertama imigran Jepang ini kemudian dikenal sebagai Issei. Pada masa itu, sebanyak 30.000 orang tiba di Hawai’i untuk kontrak kerja selama 3 tahun dengan gaji sebesar 15 dollar untuk laki-laki dan 10 dollar untuk perempuan. Meskipun mendapatkan bayaran lebih sedikit dari laki-laki, beban kerja yang diberikan kepada perempuan sama beratnya. Untuk mendapatkan uang lebih, perempuan pun menyiapkan makanan dan membersihkan pakaian para pekerja laki-laki.
Pakaian para pekerja perempuan perkebunan di Hawai’i (Sumber: dokumentasi penulis)
Perbedaan iklim dan budaya ditambah beratnya beban kerja membuat kehidupan para pekerja semakin sulit. Para pekerja yang kelelahan kemudian menyenandungkan nyanyian yang disebut Holehole bushi. Holehole berarti tebu kering, bushi berarti lagu. Beberapa syair dalam bahasa Jepang jika diterjemahkan berarti “Hawai’i yang indah, atau begitulah yang kudengar. Satu tatapan dan terasa seperti neraka. Para manajer yang jahat dan luna (pengawas) seperti iblis”.
Salah satu bagian eksibisi yang paling menarik adalah proses pencarian jodoh untuk para pekerja. Dalam artikel jurnal berjudul The Japanese in Hawaii: A Historical and Demographic Perspective (1977) karya Nordyke dan Matsumoto, tahun 1908 sampai 1920 adalah sebuah periode yang dikenal sebagai Yobiyose Jidai atau “periode pemanggilan” pengantin dari Jepang ke Hawai’i. Berbeda dengan orang China dan pekerja Kaukasia yang melakukan pernikahan dengan penduduk setempat dan perempuan Portugis, laki-laki Jepang lebih banyak menikah dengan sesama Jepang.
Proses pencarian jodoh dilakukan melalui kerabat terpercaya yang berperan sebagai nakodo atau makcomblang. Laki-laki mengirimkan fotonya ke makcomblang di Jepang untuk dicarikan jodoh. Jika ada perempuan yang bersedia, makcomblang akan mengirimkan foto calon mempelai perempuan ke pihak laki-laki di Hawai’i. Jika keduanya sama-sama setuju, mempelai perempuan di Jepang akan “dinikahkan” secara jarak jauh dengan mempelai laki-laki di Hawai’i. Selain pernikahan jarak jauh, pernikahan pun dapat dilakukan saat mempelai perempuan tiba di Hawai’i. Ketika istri menyusul suaminya di Hawai’i, ia harus menunjukkan foto suaminya kepada petugas agar dapat memasuki teritori Hawai’i. Petugas pun melakukan verifikasi dengan meminta suami menunjukkan foto istrinya. Pertemuan suami istri tersebut adalah kali pertama keduanya berjumpa. Proses pernikahan seperti ini dikenal juga sebagai “picture brides” atau “pengantin foto”. Dalam kurun waktu 1911 hingga 1919, tercatat ada 9.841 foto pengantin yang diterima di pelabuhan Honolulu (Nordyke dan Matsumoto, 1977).
Keterangan: Foto kedua calon pengantin dan foto bersama sebagai suami istri setelah tiba di Hawai’i (Sumber: dokumentasi penulis)
Para Issei atau imigran generasi pertama kemudian melahirkan anak-anaknya yang disebut sebagai Nisei atau generasi kedua. Para Nisei yang lahir di Hawai’i pun menjadi warga negara Amerika berdasarkan kelahiran. Mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Banyak dari mereka yang menempuh pendidikan tinggi di Hawai’i dan daratan Amerika sehingga memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Imbasnya, taraf hidup para imigran Jepang pun meningkat.
Keterangan: Karakteristik fisik imigran Jepang di Hawai’i: Issei (generasi pertama), Nisei (generasi kedua), Sansei (generasi ketiga), dan Yonsei (generasi keempat). (Sumber: dokumentasi penulis)
Salah satu keturunan Jepang Amerika yang paling terkenal adalah Daniel Ken Inouye. yang merupakan Nisei atau imigran generasi kedua. Inouye adalah Jepang Amerika pertama yang duduk di parlemen Amerika. Ia menjabat sebagai senator dari Hawai’i dari tahun 1963 hingga 2012 (United States Senate, Tt). Untuk mengenang jasanya, bandara internasional di Honolulu diberi nama sesuai dengan namanya. Pada 2013, Inouye dianugerahi Presidential Medal of Freedom (penghargaan tertinggi untuk rakyat sipil yang diberikan oleh Presiden Amerika) yang membuatnya menjadi senator pertama (dan sampai saat ini) yang menerima medali kehormatan tersebut (United States Senate, Tt) (Editor Hidayatullah Rabbani).
Referensi
Nordyke, EC dan Matsumoto, YS. (1977). The Japanese in Hawaii: A Historical and Demographic Perspective. Evols University of Hawai’i at Manoa, hal 162-174
United States Senate. (Tt) “Daniel K. Inouye: A Featured Biography”, https://www.senate.gov/artandhistory/history/common/generic/Featured_Bio_Inouye.htm (diakses 8 November 2019)
_______________________________________________
TENTANG PENULIS
Ranny Rastati, often called Chibi, is a Researcher at Research Center for Society and Culture-Indonesian Institute of Sciences (PMB-LIPI). She received her bachelor’s in Japanese Studies at University of Indonesia and master’s in Communication Studies at University of Indonesia. Publications include popular books such Ohayou Gozaimasu (2014) and Korean celebrity: Daehan Minguk Manse (2015) ; articles journal on hijab cosplay (2015), cyberbullying (2016), Islamic manga (2017), media literacy (2018), halal tourism (2018), and cosplay as creative dawah (2019). Her research interests include cosplay, Japan and Korean pop culture, also media studies. Her current research topics are hijab cosplay as preaching Islam, cosplay as contents tourism and halal tourism that have been presented in the USA, Japan, and Southeast Asia. She also manages a nonprofit organization for social activity and voluntary service, Chibi Ranran Help Center (www.chibiranranhelpcenter.com), since 2013. Her works can be viewed via personal blog rannyrastati.wordpress.com. She can be contacted at ranny.rastati@gmail.com.
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Artikel2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah