Oleh Riwanto Tirtosudarmo

 

Abdul Rachman Patji, sahabat baik kita, semua, menghembuskan nafas yang terakhir saat hendak mengambil air wudhu, jam 12.10 WIB , tadi, di rumahnya di Pamulang, tentu biasanya akan terus ke Masjid untuk sholat Jumat. Tapi Jumat 1 Mei 2020 itu masyarakat masih dihimbau untuk tidak berkumpul karena ancaman pandemi virus Corona Covid 19. Kepergiannya terasa mendadak karena sehari sebelumnya masih membalas WhatsApp dan Facebook beberapa teman. Sebagai koleganya kita semua mengenal Pak Patji sebagai orang yang setiap saat tidak segan-segan mengulurkan tangan, membantu, siapa saja yang memerlukan bantuannya, tanpa membeda-bedakan siapa orangnya. Mungkin, sebagai orang Bugis, sikapnya bisa tegas dan prinsipil, tanpa pandang bulu. Sikapnya itu bisa dikesankan sebagai kaku dan galak, bagi orang yang belum mengenalnya. Pak Patji sejatinya orang yang berhati halus, tidak pernah menyombongkan diri, penuh pengertian dan mudah sekali tertawa.

 

Saya sudah mengenalnya sejak awal tahun 1980an, karena satu angkatan masuk LIPI, Pak Patji di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) dan saya di Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas). Pada tahun 1986 kedua lembaga itu disatukan, dan kami menjadi satu gedung yang baru di Jalan Gatot Subroto 10 Jakarta Selatan. Sekitar akhir tahun 80an kami sama-sama belajar di Australian National University (ANU), dia belajar antropologi saya belajar demografi. Pada akhir 1990an kami bersama lagi, karena saya diminta menjadi Kapus PMB dimana saat itu Pak Patji merupakan salah seorang kepala bidangnya, membantu Pak Hilman Adil, kapusnya yang kemudian saya gantikan. Saat itu saya merasa sangat terbantu oleh Pak Patji,  sebagai Kapus yang baru di sebuah pusat penelitian yang mengalami kesulitan menemukan Kapus pengganti yang berasal dari dalam sendiri. Pak Hilman Adil, Kapus PMB saat itu menderita sakit dan dari sudut usia memang sudah saatnya pensiun.

 

Saat itu tahun 1998 tidak lama setelah jatuhnya Suharto, Pak Arjuno, Deputi IPSK-LIPI meminta kesediaan saya untuk menjadi Kapus PMB menggantikan Pak Hilman Adil. Saat itu saya sebagai peneliti di PPT (Pusat Penelitian Penduduk dan Ketenagakerjaan) dan sedang menunggu berita apakah aplikasi sebagai fellow-in-residence di NIAS (Netherland Institute of Advance Studies), Belanda, untuk setahun, diterima atau tidak. Kepada Pak Arjuno saya mengatakan bersedia menjadi Kapus tetapi jika lamaran saya di NIAS diterima, jabatan Kapus saya serahkan kembali, dan Pak Arjuno setuju dengan syarat yang saya ajukan itu. Sejak itu saya menjadi PLT (Pelaksana Tugas) Kapus PMB. Saya tahu bahwa situasi hubungan antar peneliti di PMB agak kurang begitu akur, dan menurut Pak Arjuno itu alasannya mengapa Kapus harus dicari dari luar PMB. Setelah menjadi Kapus saya baru tahu bahwa sebelum meminta saya, Pak Arjuno telah meminta Dewi Fortuna Anwar dari Pusat Penelitian Politik, tetapi rupanya Dewi menolak. Tentang penokannya itu, Dewi sendiri yang bercerita, ketika suatu ketika bertemu, Dewi menyatakan keheranannya mengapa saya mau menjadi Kapus di tempat yang para penelitinya sangat dinamis itu.

 

Satu hal yang menenangkan saya ketika menerima menjadi Kapus di PMB adalah dukungan yang saya terima dari Pak Taufik Abdullah, orang yang paling senior di PMB-LIPI. Saya mendatangi Pak Taufik Abdullah di kamarnya yang penuh buku di Lantai 9 Gedung Bundar LIPI, dan meminta pendapatnya tentang permintaan Pak Arjuno kepada saya untuk menggantikan Pak Hilman Adil sebagai Kapus PMB. Kepada Pak Taufik Abdullah juga saya sampaikan kondisi saya yang sedang menunggu apakah aplikasi ke NIAS diterima atau tidak. Jadi Pak Taufik Abdullah mengetahui syarat yang saya ajukan kepada Pak Arjuno. Pak Taufik Abdullah ternyata mendukung saya menjadi Kapus PMB, dan dukungan ini bagi saya cukup untuk tidak ragu menerima tawaran Pak Arjuno menjadi Kapus PMB. Saya menjadi Kapus PMB tidak lama, sekitar 2 tahun, karena ternyata aplikasi saya ke NIAS ternyata diterima, dan jabatan Kapus PMB harus saya tinggalkan.  Apa yang ingin saya ceritakan sesungguhnya adalah betapa dalam menjalankan tugas sebagai Kapus PMB saya sangat berhutang budi pada Pak Patji yang dengan sepenuh hati membantu saya dalam menjalankan kepemimpinan di PMB. Tanpa sikap yang tegas dari Pak Patji, saya tidak mungkin memimpin PMB. Ketika saya harus meninggalkan PMB ke Belanda, saya bisa meninggalkannya dengan tenang karena selain ada Pak Patji, Pak Muhamad Hisyam peneliti senior di PMB yang mengambil studi doktornya di bidang sejarah di Universitas Leiden telah kembali ke PMB, dan jabatan Kapus bisa saya serahterimakan kepada Pak Hisyam.

 

Sepulang dari Belanda saya kembali sebagai peneliti di PMB, karena status kepegawaian saya telah dipindahkan dari PPT ke PMB. Di PMB terus terang yang membuat saya merasa nyaman bekerja adalah karena meskipun masa jabatan saya singkat sebagai Kapus, namun dalam masa yang singkat itu saya mendapatkan kolega-kolega yang tidak saja menyenangkan tetapi juga dapat memperkaya pemahaman saya tentang masyarakat dan kebudayaannya. Sebagai seorang antropolog Pak Patji telah membuktikan diri dengan menulis  tesis masternya di ANU tentang Orang Hadrami, sebuah kelompok etnis penting di Nusantara. Melalui Pak Patji, juga Mbak Ninuk, Pak John Haba dan Pak Hisyam; saya bergaul secara kolegial sambil bekerjasama dengan rekan-rekan peneliti lain yang sebagian besar jauh lebih muda.

 

Tidak sedikit pengalaman melakukan penelitian bersama Pak Patji, yang mengesankan adalah ketika melakukan penelitian tentang ketegangan hubungan antar etnis di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Suatu kali kami berdua berkesempatan nempresentasikan hasil penelitian itu di sebuah konferensi internasional di Norwegia. Saya masih teringat betapa gembiranya Pak Patji melihat ikan salmon yang selalu terhidang saat makan siang dan malam. Karena kondisi jantungnya yang sejak lama bermasalah dia memang dianjurkan lebih banyak makan ikan, dan di Jakarta ikan salmon, menurut penuturannya sangat mahal. Pergantian Kapus di PMB semakin lancar, setelah Pak Hisyam menyelesaikan masa tugasnya, penggantinya adalah Pak Patji. Setelah selesai menjadi Kapus Pak Patji kembali sebagai peneliti senior, dan kami menikmati masa kerja sampai diujung pengabdian sebagai pegawai negeri bersama-sama, saya, Pak John Haba dan Pak Patji. Tidak terasa memang waktu berjalan terus dengan kecepatan yang tidak terduga. Setelah pensiun pada usia 65 tahun pada awal Februari 2017 kami menjadi jarang bertemu lagi, meskipun terus saling bersapa, dan mengabarkan keadaan kami masing-masing.

 

Umur dan ajal memang hanya Tuhan yang tahu. Setelah Pak John Haba, sekarang giliran Pak Patji dipanggil Tuhan. Kematian adalah sebuah keniscayaan, dia akan menghampiri kita dan kita tidak mungkin mengelakkannya. Kematian seperti arisan, suatu saat kita pasti akan dapat arisan  Ketika kematian datang kita harus mengikhlaskan betapapun berat rasanya berpisah dengan teman kita yang baik ini, seorang sahabat sejati, kepergiannya di bulan yang penuh barokah ini, harus kita terima dengan lapang dada. Kepergiannya akan dikenang  oleh kita masing-masing sesuai dengan pengalaman kita selama bergaul dengan beliau. Saat ini kita hanya bisa mendoakan semoga arwah Pak Abdul Rachman Patji, diterima oleh Allah yang maha rachman dan rachim, sesuai dengan seluruh amal kebaikan semasa hidupnya. Sementara itu, istri anak-anak dan seluruh keluarga yang ditinggalkannya diberi ketabahan untuk merelakan kepergiannya. Inalillahiwainailaihirojiun, amin ya robal alamin.

Rawamangun, 1 Mei 2020

***

 

Catatan redaksi:

Obituari ini dipublikasikan atas izin dari bapak Riwanto Tirtosudarmo. Dimuat pula di laman lain yaitu http://kajanglako.com/id-10752-post-sahabat-sejati-abdul-rachman-patji-telah-pergi.html pada 3 Mei 2020.

Kami segenap keluarga besar PMB LIPI berduka cita atas berpulangnya salah satu peneliti terbaik PMB LIPI, bapak Abdul Rachman Patji. Innalillahi wa innailahi rojiun.

Editor: Ranny Rastati