Home Artikel Nelayan Tradisional Yang Terpinggirkan Pembangunan

Nelayan Tradisional Yang Terpinggirkan Pembangunan

0

Jakarta, Humas LIPI. Masyarakat atau Komunitas Adat di Indonesia sangat beraneka ragam. Hal ini tidak lepas dari banyaknya suku atau etnisitas dan tradisi yang juga sangat beragam di Indonesia. Dalam kaitannya dengan pembangunan, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan, sebagaimana termaktub di Pembukaan UUD 1945, yaitu mewujudkan rakyat Indonesia yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”, serta berupaya “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, masih terus dilakukan.

Begitu juga halnya upaya melibatkan berbagai komunitas adat dalam pembangunan sudah banyak dilakukan pemerintah, hal ini antara lain dapat dilihat dengan pembentukan Sub Direktorat Masyarakat Hukum Adat di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Namun seperti kata pepatah “Tak Ada Gading Yang Tak retak”, upaya pembangunan di sisi yang lain juga ada yang meminggirkan masyarakat adat tersebut.

Kontradiksi ini menjadi bahan diskusi yang sangat menarik dimana Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya  LIPI dan Pusat Studi Heritage Nusantara – Universitas Kristen Satya Wacana,Salatiga, menggelar Diskusi Daring bertajuk “Komunitas Adat dan Indonesia Sebagai Proyek Bersama”, pada Selasa, 15/2 lalu.

Peneliti Pusat penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, Dedi S. Adhuri, menyoroti dampak negatif pembangunan pada Masyarakat Nelayan dan Komunitas (Adat) Pesisir di sejumlah wilayah Indonesia. Diantaranya kasus proyek reklamasi Teluk Jakarta baru-baru ini, ada sejumlah kerugian yang diderita masyarakat nelayan tradisional setempat, seperti produktifitas perikanan yang menurun. “Belum lagi dampak negatif ekologis yang ditimbulkan,” ungkapnya.

Dedi juga mengangkat kasus konflik antara Usaha Sawit dan Nelayan Lokal di Pesisir Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Konflik bermula dengan dibangunnya tanggul oleh perusahaan sawit setempat. “karna terletak di pesisir yang berdekatan dengan usaha perikanan nelayan lokal, keberadaan tanggul ini merusak ekosistem mangrove yang ada di sana dan ini berdampak juga pada menurunnya produktifitas usaha perikanan nelayan setempat”, demikian papar Dedi.

Masih ada sejumlah praktek pembangunan yang dilakukan sejumlah pihak, yang dalam istilah Dedi, mengutip teori dari T. Satterfield, dkk (2015), “Ocean Grabbing”, yaitu sejumlah perilaku perampasan / pengambil alihan, kontrol, akses, dari ruang atau sumber daya laut dari pengguna, pemilik hak, dan penghuni sebelumnya. “ Berakibat pada tata kelola yang tidak baik dan mendompleng peraturan yang mengabaikan faktor keamanan manusia, mata pencaharian, dan dampak negatif yang mengurangi kesejahteraan lingkungan,” sebut Dedi.

Konflik kepentingan yang terjadi di atas, menurut Dedi diakibatkan antara lain kurangnya pelibatan atau partisipasi dari Komunitas Adat Pesisir atau Nelayan dalam pembangunan suatu kebijakan yang berdampak bagi kehidupan mereka. “Jika dibiarkan terus-menerus dan tidak ada usaha mencari solusi, dikhawatirkan akan makin me-marjinalkan komunitas nelayan tradisional yang pada akhirnya turut mengurangi produktifitas usaha perikanan nasional,” pungkas Dedi (bn/ed: mtr)

_____________________

*) Berita dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi website PMB LIPI

*) Ilustrasi: Shutterstock

NO COMMENTS

Exit mobile version