Oleh Luis Feneteruma (Peneliti PMB LIPI)

Secara kelembagaan adat, masyarakat adat di tanah Papua memiliki berbagai macam karakter kelembagaan. Ada sistem kelembagaan yang mekanismenya rumit, namun ada pula yang menggunakan mekanisme sederhana. Jika dilihat dari sifat kelembagaan, aitem kelembagaan umumnya ada dua kategori yaitu bersifat feodal yang di kuasai oleh laki-laki dan bersifat egaliter yang memberikan ruang bagi perempuan dalam membuat keputusan. Masyarakat adat memiliki dinamika sejarah yang berbeda, wilayah mereka juga beragam terdiri dari pegunungan, lembah, hingga pesisir serta pulau-pulau kecil.

Pembentukan hukum adat dan kontruksi sebuah suku tidak lepas dari peran semua pihak, baik itu pemangku kepentingan adat maupun masyarakat adat itu sendiri. Hal ini  telah berlangsung selama ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Salah satu elemen penting pembentukan kontruksi masyarakat adat itu adalah perempuan. Perempuan dianggap memiliki peran dan fungsi dalam menjaga keberlangsungan generasi baru sebagai penerus dari sekelompok masyarakat adat tertentu serta mewarisi hak-hak adat dan budaya lainnya.

Ketika berbicara tentang hak tatanan adat perempuan, Suku Moi memiliki tatanan yang berbeda dengan suku lainnya di Papua. Suku Moi yang tinggal di wilayah kepala burung provinsi Papua Barat ini memberikan keuntungan kepada kaum perempuan dengan adanya pembagian hak adat.

Seorang perempuan yang dalam bahasa Moi disebut nelagi, dibesarkan oleh ibunya sesuai ketentuan hukum adat Moi. Ketika telah dewasa, perempuan memiliki hak untuk menentukan kehidupannya (pernikahan). Keputusan tidak semata-mata berada dalam otoritas kedua orangtua karena anak perempuan pun memiliki hak untuk mengambil keputusan sendiri. Dalam kehidupan berumah tangga pun, laki-laki dan perempuan mendapatkan pembagian tugas yang seimbang.

Tidak hanya itu, perempuan Moi juga memiliki hak untuk hadir pada acara-acara adat. Dalam hak waris adat, perempuan Moi mendapatkan sebagian hak adat seperti tanah adat, dusun adat, manik-manik, dan kain timur. Alasan mengapa perempuan Moi memiliki sebagian hak waris adat adalah untuk bekal hidup dan mempermudah mendapatkan pasangan. Selain itu, pemberian hak juga dianggap sebagai bentuk kasih sayang dan keadilan dari orangtua kepada anak-anak.

Perempuan Moi dan Perjuangannya

Perjalanan untuk menyatukan persepsi dan perjuangan bersama perempuan Moi begitu panjang. Hal itu dimulai dari berbagai gejolak ekonomi sosial dan budaya yang masuk di wilayah adat suku Moi sejak dahulu. Sebagai pemilik Maladum (tanah Moi), suku Moi merasa pentingnya perubahan hidup yang dituangkan dalam perjuangan untuk memperoleh pengakuan kembali hak-hak atas tanah dan adat istiadat mereka.  Berbagai perlawanan dilakukan oleh suku Moi baik secara individual maupun kelompok dengan menggunakan berbagai konsep dan strategi.

Sumber: http://gaung.aman.or.id/2018/02/14/hutan-yang-hilang-memiskinkan-suku-moi/

Seiring berjalannya waktu, perjuangan panjang yang dilakukan oleh berbagai elemen suku Moi pada akhirnya membuahkan hasil ketika dibentuknya Lembaga Masyarakat Adat Malamoi (LMA-Malamoi) Sorong pada tahun 1998. Adapun tujuan yang melatarbelakangi pembentukan LMA ini tertuang dalam anggaran dasar organisasi Pasal 9 yaitu untuk memperjuangkan hak, menyalurkan inspirasi, dan memberdayakan masyarakat adat, suku Moi agar selalu dapat beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat majemuk. Melalui LMA ini kemudian dibentuk organisasi Kwongke Kaban Salukh Moi (organisasi perempuan Moi). Organisasi ini merupakan organisasi sayap LMA yang menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai roda penggerak perempuan Moi dalam kerja-kerja pemberdayaan, perlindungan dan peningkatan kapasitas.

Semenjak adanya organisasi Kwongke, perempuan Moi mulai aktif dan bangkit melalui berbagai pelatihan peningkatan kapasitas sumber daya manusia baik itu melalui pendidikan formal maupun kegiatan pemberdayaan lainnya. Hasilnya, perempuan Moi saat ini mampu bekerja di segala bidang baik swasta maupun pemerintahan. Ini menunjukan suatu perubahan positif yang signifikan ketika hak-hak perempuan Moi itu terpenuhi serta memiliki posisi dan porsi.

Pada tanggal, 27 September 2017 yang lalu, telah diresmikannya sekretariat Kwongke Kaban Saluk Moi oleh Bupati Kabupaten Sorong, Dr. Jhony Kamuru. Dalam pidatonya Bupati mengharapkan agar pengurus organisasi dapat bekerja secara profesional dan dapat merangkul semua perempuan Moi untuk dibina menjadi lebih baik. Ini adalah sejarah dan langkah besar yang dilakukan, patut diapresiasi karena dengan berdirinya sebuah sekretariat yang permanen dapat meningkatkan etos kerja serta semangat persatuan Kwongke Kaban saluk Moi didalam pemerintahan maupun masyarakat untuk bekerja sama dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan.

Banyak generasi muda perempuan Moi yang bergabung dalam bidang seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik. Ditambah dengan adanya kesetaraan gender dan pemberian porsi kedudukan perempuan dalam undang-undang Otonomi Khusus Papua memberikan peluang besar bagi perempuan Moi bisa berkarir lebih baik lagi kedepannya. Keberhasilan perempuan Moi saat ini bukan tanpa alasan. Semua itu terjadi karena ada kerjasama antara hak dan kewajiban seorang perempuan yang dipraktekan oleh suku Moi. Hal ini memberikan pelajaran bahwa perempuan harus ditempatkan pada porsinya bukan hanya menjadi objek kapital tradisional tetapi sudah sepatutnya sebagai agen pembangunan di era modern ini.

Meski kita tau bahwa khususnya daerah timur Papua menganut prinsip patrilineal, akan tetapi perubahan selalu terjadi seiring bersama waktu, sehingga segala sesuatu mungkin saja terjadi. Kabupaten Mappi adalah salah satu contoh daerah yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Ribka Haluk. Ia adalah Bupati perempuan pertama sepanjang sejarah kepemimpinan di tanah Papua. Tidak hanya itu, perempuan juga menempati posisi jabatan di tingkat nasional seperti Yohana Susana Yembise asal Papua yang menjabat sebagai  Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2014-2019).

Tantangan ke depan bagi generasi perempuan suku Moi adalah bagaimana melanjutkan tongkat estafet yang sudah dibangun oleh perempuan-perempuan Moi sebelumnya dan sekarang ini. Untuk menjaga eksistensi perempuan Moi dalam jangka waktu yang panjang, diperlukan kaderisasi perempuan Moi agar siap dalam sumber daya manusia dan mampu menjalankan roda organisasi serta kerja-kerja nyata dimasyarakat. (Editor Ranny Rastati)

Referensi :

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) LMA – Malamoi

http://tabloidjubi.com/artikel-5433-srikandi-papua-dipercayakan-menjabat-bupati-mappi.html (diakses pada tanggal, 2 Juli 2018)

http://www.sorong-pos.tk/2017/09/pemberdayaan-perempuan-moi  (diakses pada tanggal, 7 Juli 2018)

Gambar unggulan: http://new-indonesia.org/beranda/2016-03-25-08-28-09/berita-new-indonesia/663-didik-anak-papua-dengan-cara-papua.html

____________________________________________

Tentang Penulis

Luis Feneteruma adalah Kandidat Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK – LIPI). Ia bergabung dengan P2KK – LIPI pada tahun 2015. Menyelesaikan S1 di Universitas Muhamadiyah Sorong (UMS) Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Adat dan Keagrariaan 2012. Bidang yang ditekuni dalam penelitian adalah Hukum Adat dan Kebudayaan. Disamping itu bergabung juga dengan Kelompok Peneliti Hukum (Kelti Hukum) P2KK – LIPI. Alamat email : lfenetruma@gmail.com