[Masyarakat dan Budaya: Volume 11, Nomor 13, Juli 2020]
***
Oleh Karunia Haganta (Mahasiswa Antropologi Universitas Indonesia)
Pada tanggal 29 Juni 2020, Google menjadikan Subak (sistem irigasi khas Bali), sebagai ikon untuk Google Doodle. Hal ini disambut baik oleh warganet Indonesia. Banyak media daring yang juga turut memberitakan hal ini. Pemberitaan tersebut disertai dengan penjelasan mengenai Subak dan alasannya layak menjadi ikon Google Doodle (perubahan logo Google untuk memperingati hal tertentu).
Di Bali, Subak tidak hanya menjadi sistem pengairan untuk keperluan pertanian mereka. Ikon pariwisata yang unik seperti Subak turut menarik perhatian wisatawan untuk datang ke Bali dan melihat sendiri bentuk aslinya. Tentu para wisatawan tersebut terpengaruh oleh media yang memberitakannya. Saat menjadi ikon Google Doodle, banyak media daring memberitakan Subak dan kembali mendorong perhatian orang terhadap Subak.
Permasalahannya adalah media kerap kali tidak menempatkan pariwisata secara kritis. Di sini saya melihat bahwa media bukan hanya memotret tempat wisata tapi membentuk gambaran tempat wisata sesuai keinginan wisatawan. Citra tersebut melekat dan akhirnya membeku. Seolah-olah tempat pariwisata tersebut tidak mengalami perubahan dan tidak menyimpan masalah.
Media dan Pariwisata: Mengawetkan Tempat Wisata

Dalam media, daya tarik wisata umumnya dianggap berkah untuk perekonomian. Tapi pariwisata tidak selalu apa adanya. Pariwisata berusaha tidak hanya memanfaatkan daya alaminya, tapi juga membentuk dan menciptakan citra pariwisata yang sesuai dengan keinginan wisatawan.
Salazar (2009: 49) menyoroti bahwa orang dan tempat di berbagai belahan dunia terus menerus mengalami proses penemuan ulang, produksi, dan penciptaan ulang yang diarahkan untuk pasar pariwisata. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa kebudayaan dianggap eksotis dan menarik sehingga dapat dijadikan objek rekreasi. Misalnya wisatawan mancanegara yang datang mengunjungi masyarakat Korowai-Papua karena dianggap eksotis. Wisatawan datang juga memotret hal yang dianggap melambangkan keeksotisan Orang Korowai, seperti rumah pohon atau ketelanjangan. Rupanya wisatawan tersebut juga sudah berekspektasi menemui hal-hal itu karena telah melihat Korowai di berbagai media baik cetak maupun audiovisual (BBC, Discovery, Human Planet, National Geographic, Reader’s Digest, dan lain-lain) (Stasch, 2014: 36-37). Orang Korowai mempertahankannya dan meminta bayaran atasnya (Stasch, 2014: 44-45). Proses ini disebut oleh Salazar sebagai tourismification.
Media membentuk imajinasi tertentu (tourism imaginaries) bagi calon wisatawan terhadap suatu tempat wisata (Salazar, 2011). Imajinasi tersebut memancing wisatawan untuk datang. Wisatawan datang dengan ekspektasi sesuai imajinasi tersebut. Tempat wisata berupaya menyesuaikan dengan imajinasi itu. Dengan kata lain, imajinasi wisatawan yang memaksa tempat wisata untuk tetap berada dalam citranya yang sesuai dengan imajinasi mereka.
Tourismification ini sangat dipengaruhi oleh media. Media di sini hadir dalam berbagai macam bentuk, baik berita, film, gambar, dan berbagai jenis media lainnya yang menyematkan citra tertentu terhadap suatu tempat wisata. Termasuk Google Doodle yang mengangkat Subak sebagai ikonnya. Pemilihan ini didasarkan pada upaya menghormati salah satu warisan budaya Indonesia. Subak sendiri juga sudah terdaftar sebagai warisan budaya UNESCO sejak 2012. Ikon Google Doodle tersebut bentuknya adalah lukisan seorang petani yang duduk di gubuk di tengah sawah sambil melihat hijaunya sawah.
Bersamaan dengan itu, Kompas.com memberitakan pesona Subak yang bahkan menarik minat Barrack Obama untuk mengunjunginya. Kompas.com juga menyatakan Subak sebagai representasi keharmonisan. Pemberitaan serupa juga ditemkan di cnbcindonesia.com dan detik.com. Keduanya menggambarkan keharmonisan dan keindahan menjadi citra yang disematkan kepada Subak sebagai warisan budaya.
Permasalahannya adalah pariwisata di Bali tidak seindah yang dibayangkan. Tourismification melalui media tidak hanya menarik wisatawan untuk datang, tetapi juga menutupi kenyataan pahit di baliknya. Cole (2012) menunjukkan bahwa Bali mengalami krisis air yang hebat karena masifnya industri pariwisata. Krisis air ini berdampak pada warga sekitar, terlebih lagi yang berprofesi sebagai petani. Kesulitan mengakses air mendorong perubahan dalam pola tanam mereka dan pada akhirnya membuat mereka terdesak.

Albers dan James (1983) menunjukkan gambaran eksotis orang Indian terus bertahan melalui kartu pos. Jika media seperti kartu pos bisa berpengaruh, maka tidak heran bahkan unggahan di media sosial juga bisa berpengaruh dan jangkauannya global. Keindahan dan keharmonisan Subak menjadi daya tarik untuk dipotret dan diunggah ke media sosial. Sebaliknya krisis air di Subak justru luput dari sorotan dan tidak tersebar luas lewat media.
Subak sebagai pariwisata justru berpotensi menghancurkan Subak itu sendiri. Krisis air akibat wisata Subak justru membuat Subak tidak bisa berfungsi dengan baik karena sulitnya akses air untuk pertanian. Penekanan media terhadap filosofi keharmonisan Subak mengabaikan kerusakan akibat pengembangan pariwisata (Editor Maulida Illiyani).
Referensi
Albers, P.C. & W.R. James. (1983). Tourism and the Changing Photographic Image of the Great Lakes Indians. Annals of Tourism Research, 10: 123-148
Cahya, K.D. (2020). Subak Jatiluwih, Warisan Budaya Dunia hingga Dikunjungi Obama. Diakses dari https://travel.kompas.com/read/2020/06/29/091000327/subak-jatiluwih-warisan-budaya-dunia-hingga-dikunjungi-obama?page=all
Cole, S. (2012). A Political Ecology of Water Equity and Tourism: A Case Study from Bali. Annals of Tourism Research, 39(2): 1221-1241
Diah, F. (2020). Makna Filosofi Subak Bali yang Jadi Primadona Wisatawan untuk Foto. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5072493/makna-filosofi-subak-bali-yang-jadi-primadona-wisatawan-untuk-foto
Hasibuan, L. (2020). Apa Manfaat Subak di Bali, yang Tampil di Google Doodle? Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200629155411-37-168818/apa-manfaat-subak-di-bali-yang-tampil-di-google-doodle
Salazar, N.B. (2009). Imaged or Imagined? Cultural Representations and the “Tourismification” of Peoples and Places. Cahiers d’Etudes Africaines, 49(1-2): 49-71
Salazar, N.B. (2011). Tourism Imaginaries: A Conceptual Approach. Annals of Tourism Research: 1-20
Stasch, R. (2014). Toward Symmetric Treatment of Imaginaries: Nudity and Payment in Tourism to Papua’s ‘Treehouse People. Dalam N.B. Salazar & N.H.H. Graburn, Tourism Imaginaries: Anthropological Approaches. New York: Berghahn Books
Yusuf, O. (2020). Mengenal Subak dari Bali yang Jadi Google Doodle Hari Ini. Diakses dari https://tekno.kompas.com/read/2020/06/29/09050027/mengenal-subak-dari-bali-yang-jadi-google-doodle-hari-ini
Ilustrasi: Google Doodle Subak (Sumber: travel.detik.com)
________________________________________
Tentang Penulis

Karunia Haganta adalah Mahasiswa Antropologi UI. Tulisan lainnya dapat ditemui di berdikaribook.red, bukuprogresif.com, alif.id, islami.co, kurungbuka.com, dan detik.com. Penulis dapat dihubungi melalui email karunia.haganta@gmail.com
Diunggah oleh
Unggahan lainnya
Artikel2020.09.25Mabar Sebagai Proses Membangun Kesenangan Kolektif
Berita2020.09.16Nilai-nilai Penting, Data Penelitian Sosial dan Kemanusiaan Jadi Aset Berharga
Artikel2020.09.09COVID-19, Konspirasi, dan Ketahanan Teknososial
Artikel2020.09.04Padungku: Kultur Gotong Royong dan Persaudaraan di Tanah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una Sulawesi Tengah